"Tak bisa dinafikan PNS terseret-seret dalam Pemilukada dalam mendukung pasangan tertentu karena belum semua betul-betul memahami UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah," kata Suhatmasyah di Padang, Senin.
Direktur III Kemendagri menyampaikan, dalam forum Work Shop "Pendidikan Politik Berbasis Jurnalistik Berorientasi Peningkatan Kesadaran Ketahanan Kembangsaan dalam Pemilukada" diselenggaran Mapilu-PWI di Padang (21/6).
Tampil sebagai pembicara yang dihadiri para wartawan dan redaktur media cetak dan elektronik di Sumbar itu, Akademisi dari Universitas Andalas (Unand), Prof. Dr. Bustanudin Agus, Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat, Tarman Azzam, Ketua Mapilu-PWI, Hendra J Kede.
"PNS juga anggota masyarakat punya hak untuk menentukan pilihan, tapi Pemilukada dalam rangka mewujudkan pimpinan pemerintah, maka PNS perlu mempunyai etika dan moral," katanya.
Terkait, dalam UU dalam pegawai negeri sipil dan UU Nomor 32 tahun sudah ditegaskan tentang netralitas PNS dalam pemilu. Namun, faktanya belum terlaksana sebagai mana mestinya.
Bahkan, pada UU pemilu sekarang pemerintah tidak bisa ikut campur dalam penyelenggaraan pemilu karena KPU lembaga yang independen.
Jadi, katanya, disanalah bentuk netralitas pemerintah karena tidak bisa mengintervensi dalam penyelenggaraan pemilu, maupun Pemilukada.
Namun, tidak dipungkiri masih ada PNS yang terseret karena kepentingan calon kepala daerah pada Pemiluka karena tak memahami memahami, apalagi memiliki UU nomor 32/2004 tentang Pemerintah Daerah.
"Andaikan dilakukan survei terhadap PNS di Sumbar, mungkin yang membaca UU tentang Pemerintah Daerah itu, hanya sekitar 20 persen dan lainnya tidak," katanya dan menambahkan, bahkan pernah dites wakil bupati, ternyata belum pernah membaca dan memahami, apalagi memilik UU 32 tersebut.
Justru itu, pada konteks pengusulan kandidat kepala daerah, dimana yang maju mereka adalah pejabat dan mantan pejabat dilingkungan provinsi Sumbar.
Dalam kompetisinya, tentu ingin mencari kemenangan dan mendapat banyak dukungan sehingga PNS yang tidak memahami kehidupan berpemerintahan ini sehingga termakan dengan iming-iming para calon.
Bahkan, kata Suhatmansyah, pernah kejadian di Surabaya, seorang calon mengancam "tak kalah saya terpilih nanti, anda akan non job" dan ini fenomena yang terjadi sekarang.
Oleh karenanya, Kemendagri sudah merencanakan ke depan bagaimana netralitasi PNS benar-benas bisa diwujudkan tetapi sekarang belum ada jaungkauan ke arah itu.
Sementara itu, diharapkan kepada Panwaslu yang pungsinya mengawasi tetapi belum mempunyai hak untuk melakukan eksekusi, bila terdapat pelanggaran dilapangan karena belum diatur dalam UU.
"Akhirnya laporan yang sampai kepada Panwaslu di tengah jalan sering terkena erosi-erosi. Panwaslu dilihat sekarang masih semacam macan ompong, bisa melihat dan tidak bisa menggigit," katanya.
Apalagi, tambahnya, kalau pimpinan PNS untuk melakukan eksekusi ada bawahannya yang terindikasi politik praktis tidaklah mudah karena regulasinya belum sampai ke sana.(Ant/K004)
"PNS juga anggota masyarakat punya hak untuk menentukan pilihan, tapi Pemilukada dalam rangka mewujudkan pimpinan pemerintah, maka PNS perlu mempunyai etika dan moral," katanya.
Terkait, dalam UU dalam pegawai negeri sipil dan UU Nomor 32 tahun sudah ditegaskan tentang netralitas PNS dalam pemilu. Namun, faktanya belum terlaksana sebagai mana mestinya.
Bahkan, pada UU pemilu sekarang pemerintah tidak bisa ikut campur dalam penyelenggaraan pemilu karena KPU lembaga yang independen.
Jadi, katanya, disanalah bentuk netralitas pemerintah karena tidak bisa mengintervensi dalam penyelenggaraan pemilu, maupun Pemilukada.
Namun, tidak dipungkiri masih ada PNS yang terseret karena kepentingan calon kepala daerah pada Pemiluka karena tak memahami memahami, apalagi memiliki UU nomor 32/2004 tentang Pemerintah Daerah.
"Andaikan dilakukan survei terhadap PNS di Sumbar, mungkin yang membaca UU tentang Pemerintah Daerah itu, hanya sekitar 20 persen dan lainnya tidak," katanya dan menambahkan, bahkan pernah dites wakil bupati, ternyata belum pernah membaca dan memahami, apalagi memilik UU 32 tersebut.
Justru itu, pada konteks pengusulan kandidat kepala daerah, dimana yang maju mereka adalah pejabat dan mantan pejabat dilingkungan provinsi Sumbar.
Dalam kompetisinya, tentu ingin mencari kemenangan dan mendapat banyak dukungan sehingga PNS yang tidak memahami kehidupan berpemerintahan ini sehingga termakan dengan iming-iming para calon.
Bahkan, kata Suhatmansyah, pernah kejadian di Surabaya, seorang calon mengancam "tak kalah saya terpilih nanti, anda akan non job" dan ini fenomena yang terjadi sekarang.
Oleh karenanya, Kemendagri sudah merencanakan ke depan bagaimana netralitasi PNS benar-benas bisa diwujudkan tetapi sekarang belum ada jaungkauan ke arah itu.
Sementara itu, diharapkan kepada Panwaslu yang pungsinya mengawasi tetapi belum mempunyai hak untuk melakukan eksekusi, bila terdapat pelanggaran dilapangan karena belum diatur dalam UU.
"Akhirnya laporan yang sampai kepada Panwaslu di tengah jalan sering terkena erosi-erosi. Panwaslu dilihat sekarang masih semacam macan ompong, bisa melihat dan tidak bisa menggigit," katanya.
Apalagi, tambahnya, kalau pimpinan PNS untuk melakukan eksekusi ada bawahannya yang terindikasi politik praktis tidaklah mudah karena regulasinya belum sampai ke sana.(Ant/K004)
Assallamu’alaikum Wr. Wb.
BalasHapusHi friend, peace yaa…
How are you? I hope you’ll be happy.
Saya punya blog dakwah juga…
If you willing visit my blog, and read my article at http://sosiologidakwah.blogspot.com
I have new post
And... if you love books, don’t forget to read The Holy Qur'an please...
The Holy Qur’an (112:1-4) had stated, that God is Allah, the One and Only. Allah is God, on whom all depend. Allah begets not, and nor begotten; and none is like Allah.