Oleh Prof Dr Syofyan Saad MPd
PEGAWAI negeri sipil (PNS), belakangan ini, kian gamblang digoda politik. Dalam perspektif dunia poltik semakin terang PNS direbutkan bagai kua lezat. Sejumlah strategi politik dari pelbagai partai politik (Parpol) menggodanya, bila tak ingin dikatakan menyeret-nyeret. Sungguh sangat kita sayangkan keberadaan para pelayan masyarakat itu yang seharusnya sama-sama kita jaga kenetralannya, justru demi kepentingan politik sesaat diporak-porandakan netralitasnya.
Harus kita tegaskan dengan pekik lantang, bahwa pegawai negeri tidak boleh memiliki afiliasi politik tertentu. Pegawai negeri pun tidak boleh diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat; sebaliknya, pegawai negeri harus memiliki keberpihakan terhadap nasib dan kepentingan masyarakat secara kesuluruhan serta kepedulian bagi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Masih kita ingat ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajak pelbagai pihak bersama-sama harus menjaga netralitas organisasi PNS, agar tidak mudah terpengaruh oleh kepentingan-kepentingan politik dari kekuatan politik tertentu. Presiden SBY juga mengingatkan bahwa Anggaran Dasar Korpri yang telah disempurnakan dan telah beliau tetapkan dengan keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 2005 pada tanggal 8 Juni 2005, dapat dijadikan haluan untuk mengarahkan organisasi Korpri sebagai organisasi yang profesional dan netral.
Tetapi belakangan ini, hal semacam itu sangat boleh jadi mulai memudar. Ditengarai belakangan ini PNS bukan lagi melayani publik dengan sepenuh hati, tetapi PNS menjadi semacam jembatan untuk menjadi peserta politik. Sejumlah pegawai negeri sipil dapat masuk dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Kekaryaan suatu partai politik besar, sebagaimana ramai diberitakan mass media. Hal ini tentu dapat mengurangi netralitas PNS dalam memberikan pelayanan publik. Padahal, PNS menganut asas netralitas yang harus dipatuhi semua PNS, yaitu mereka tidak boleh ikut Parpol, apalagi sebagai pengurus parpol.
Jika mereka menjadi anggota partai, mereka harus berhenti menjadi PNS. Mereka juga harus menjelaskan untuk apa mereka direkrut partai terkait, apakah mereka dimintai pendapat sebagai ahli atau menjadi anggota aktif. Untuk itu, kita sejalan bahwa Badan Kepegawaian Negara akan mengirimkan surat kepada sejumlah pegawai negeri sipil yang masuk dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Kekaryaan Parpol yang bersangkutan. Surat itu untuk menanyakan apakah mereka tetap menjadi PNS atau masuk ke partai politik.
Akan tetapi, menurut Ketua Umum Partai Golkar M Jusuf Kalla, pembentukan Balitbang Kekaryaan di Partai Golkar itu dikarenakan keterbatasan kader yang memahami sejumlah pokok permasalahan bangsa. Menurut Jusuf Kalla, yang juga menjabat Wakil Presiden, Balitbang itu oleh pihaknya bakal dibuat semacam badan independen. “Siapa saja boleh masuk secara pribadi, keanggotaannya sukarela. Grup studi tentang persoalan bangsa, yang diberi nama Balitbang Kekaryaan itu,” lanjut Kalla sebagaimana dikutip pers belum lama ini, “dibentuk cendekiawan sendiri, bukan Partai Golkar.”
Menurut dia, Golkar punya sistem yang memiliki badan independen berupa grup studi, yang anggotanya boleh bukan anggota partai. Badan ini akan melihat masalah ekonomi, sosial, pangan, dan masalah lainnya untuk dijadikan masukan kepada Partai Golkar. Tapi bagi pengamat politik Maswadi Rauf, sebagaimana disiarkan pers, menilai bahwa hal yang dilakukan Partai Golkar itu keliru. “Jelas yang dilakukan adalah merekrut PNS dan pejabat publik untuk kepentingannya. Balitbang itu adalah lembaga Golkar,” tegas pengamat yang analisisnya tajam dan terpercaya ini.
Pada sisi besamaan kita ingin menyampaikan pengertian bahwa untuk semua penyelenggara negara telah mempunyai tugas yang harus dijalankan dengan sebaik-baiknya. Begitu juga dengan PNS. PNS hendaknya menjadi pelayan publik yang dapat diandalkan. Jangan menjadikan jabatan PNS sebagai kesempatan untuk ikut-ikutan menjadi anggota partai politik yang pada akhirnya melalaikan tugas sebagai PNS. Bila ingin menjadi anggota partai politik, PNS harus sportif dan harus berhenti menjadi pegawai negeri sipil. Jangan menggandakan profesi, berikanlah kesempatan kepada orang lain yang memiliki potensi karena nantinya, bangsa juga yang merasakan keuntungannya bila semua abdinya ahli dalam bidangnya masing-masing.
Sejalan dengan itu kita juga mencermati bahwa pada sejumlah daerah di Republik tercinta ini, sebagaimana diberitakan pers, terdapat sejumlah aparatur pemerintahan daerah yang mengalami kegamangan posisi ketika terjadi pergantian Kepala Daerah. Kegamangan itu sesungguhnya tidak perlu terjadi jika PNS menempatkan diri dalam posisi netral pada setiap pemilihan Kepala Daerah. Oleh karena itu kita meminta agar seluruh anggota Korpri, yang juga para PNS, dapat menempatkan diri secara profesional di tengah berlangsungnya proses demokrasi di daerah.
Kepada para politisi maupun sejumlah Parpol, sebaiknya marilah kita dorong agar para PNS meningkatkan budaya kerja yang efektif, efisien, dan profesional dalam melayani kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Mari kita bersama harus memahami bahwa dinamika kehidupan kenegaraan, kebangsaan, dan kemasyarakatan sekarang ini menuntut setiap aparatur pemerintahan untuk mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi.
Begitu pula halnya kepada para PNS, mereka haruslah mampu menunjukkan kinerja yang optimal dalam melaksanakan tugas seari-hari, terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hapuskan kesan bahwa aparatur negara sering lamban dalam memberikan pelayanan publik. Sebab kesan lamban, memberikan citra yang tidak menguntungkan bagi birokrasi pemerintahan. Persoalan menadasar ada di situ, ketimbang repot-repot dan ribut-ribut terjun ke dunia politik praktis, apalagi sampai mendua.
Setujulah kita apa yang pernah diperkatakan Presiden SBY, bahwa marilah kita perbaiki prosedur pelayanan yang lamban. “Marilah kita perbaiki kinerja pegawai negeri dalam setiap lingkup organisasi pemerintahan. Dengan cara itu, kita dapat meningkatkan kemampuan aparatur agar lebih sigap dalam melayani kepentingan masyarakat,” ajar Presiden SBY sebagaimana diberitakan MADINA edisi 112
Tidak ada komentar:
Posting Komentar