MASAMBA; Mantan Bupati Luwu Utara, HM Luthfi A. Mutty mengatakan netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam setiap pelaksanaan pemilihan kepala daerah dihadapkan pada situasi dilematis, mendukung salah tidak mendukung salah. Padahal PNS itu harus netral. Untuk menjaga netralitas itu dibutuhkan komisi kepegawaian yakni lembaga khusus yang bertugas menguji pegawai negeri yang mau didudukkan pada jabatan-jabatan strategis. “Siapa mau jadi Sekda atau kepala dinas tidak boleh lagi Bupati atau Gubernur yang menentukan, tetapi harus ditentukan oleh komisi kepegawaian yang independen sehingga walaupun pejabat politik seperti Bupati/Walikota dan Gubernur berganti, para pejabat administrasi ini tetap tenang dalam bekerja” kata Bupati Luthfi saat narasumber intervensi politik terhadap rekruitmen kepemimpinan di daerah di Lembaga Administrasi Indonesia (LAN) RI Makassar, Selasa (27/10). Selain Bupati Luthfi, hadir juga sebagai narasumber Prof DR Miftah Thoha, guru besar magister administrasi publik UGM, mantan sekretaris Menpan, Sunarno, SH SE, dan guru besar Unhas, Prof Sadly. Jangan lagi seperti sekarang ini, masih menurut Luthfi, kalau ada pemilihan kepala daerah, mereka dihadapkan pada situasi dilematis mendukung susah, tidak mendukung susah. Singkatnya, setiap terjadi penggantian pejabat politik, mereka selalu tidak tenang. “Regulasi yang ada sekarang tidak menjamin PNS dapat bersikap netral, karena masih banyak celah yang berpotensi dimanfaatkan PNS untuk terlibat secara tidak langsung dalam sebuah partai politik” ujarnya menambahkan UU No 43/1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian dan PP 37/2004 tentang Netralitas PNS, hanya mengatur larangan bagi PNS untuk tidak menjadi anggota partai politik tertentu dan melakukan kampanye. Masih menurut Alumni Diklatpim 1 LAN RI Jakarta tersebut, pemerintah sebaiknya menjabarkan dan memperjelas bentuk pelanggaran dalam regulasi posisi PNS. Hal ini dimaksudkan agar pemerintah di tingkat daerah dapat diberikan kewenangan untuk menindak tegas PNS yang jelas-jelas terbukti memberikan dukungan pada salah satu partai politik maupun calon tertentu dalam setiap pelaksanaan pemilihan. Sebab, dampak dari keberpihakan yang berlebihan sangat besar. Ada PNS yang hilang semangat kerja, bahkan tidak berkantor lagi karena jagoannya tidak terpilih. “PNS itu harus benar-benar berfungsi sebagai pelayan masyarakat 100%, dan bukan pelayan kepada pejabat, menjadi abdi negara bukan abdi pemerintah. Kepala daerah, atau presiden boleh berganti 10 kali dalam 1 tahun, tetapi birokrasi tetap harus jalan. Bupati bisa diganti besok, tapi birokrasi tidak boleh macet, tidak boleh berhenti harus jalan terus. Ini yang belum berjalan di negara kita”ungkap Luthfi. Tak dapat dipungkiri bahwa posisi PNS yang strategis selalu menjadi incaran partai politik. Pada era Orde Lama, PNS berhak terlibat dalam partai politik (parpol), baik sebagai anggota ataupun pengurus. PNS berpeluang menjadi anggota legislatif, baik di tingkat pusat maupun daerah. Pada masa Orde Baru, PNS dimanfaatkan menjadi anggota dan pendukung Golkar. Bahkan, untuk menduduki jabatan tertentu, penilaiannya dikaitkan dengan seberapa besar PNS loyal terhadap pemerintah yang berarti loyal terhadap Golkar. Namun sejak era reformasi, PNS dilarang terlibat dan melibatkan diri sebagai anggota maupun pengurus parpol. Hal ini demi menjaga netralitas PNS sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Sistem birokrasi saat ini yang belum netral sepenuhnya. Sebenarnya organisasi para PNS atau Korpri bisa mengambil peran lebih besar untuk menjaga netralitas pegawai, namun hal ini terasa sulit dan masih diperlukan waktu lama. Keberpihakan PNS, terdapat banyak faktor penyebab. Pertama, selama 30 tahun lebih kita memiliki birokrasi yang berada dalam cengkeraman politik. Terjadi apa yang disebut politisasi birokrasi. Pada masa Orba, untuk jabatan-jabatan tertentu harus ada rekomendasi politik dan pimpinan Golkar. Selain itu, masih ada juga pengaruh ketergantungan birokrasi kepada pejabat-pejabat politik. Hal ini harus diakhiri, artinya perlu dibedakan mana jabatan yang diperoleh karena ada rekomendasi politik, mana jabatan yang murni birokrasi. Selama ini terlihat tidak ada keyakinan pejabat untuk menduduki jabatan-jabatan strategis kalau dia tidak memiliki cantolan dengan pejabat-pejabat politik. Kelihatannya saling membutuhkan, pejabat politik membutuhkan birokrat, birokrat membutuhkan pejabat politik. “Saya berharap, suatu saat Komisi Kepegawaianlah yang menentukan siapa pegawai-pegawai karier yang dapat menduduki jabatan-jabatan strategis termasuk menyelenggarakan tes kompetensi, tanpa tergantung pada pejabat politik. Dengan demikian tidak ada lagi cari-cari muka ke pejabat politik kalau ingin menduduki jabatan penting melainkan hanya mengandalkan kemampuan. Karena itu sudah saatnya dibentuk Komisi Kepegawaian. Dan orang-orang yang mengisi komisi ini adalah orang-orang yang betul-betul independen dan memiliki kompetensi untuk melakukan fit and propertest” pinta Luthfi. |
Assalamu Alaikum Warahmatullahi wabarakatuh ....Salam persahabatan dan selamat berkunjung di Blog ini. Blog ini adalah media saya untuk mengisi waktu luang disaat saya jenuh dengan tugas-tugas kedinasan. Maklum profesi saya sebagai abdi negara yang selalu menghadapi rutinitas kerja yang tidak pernah selesai. Semoga Blog ini dapat bermanfaat bagi para pengunjung sekalian...Wassalam
Kamis, 16 September 2010
Luthfi; Netralitas PNS Butuh Komisi Kepegawaian
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar