Kekhawatiran akan netralitas PNS dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya apabila menjadi anggota parpol, dinilai berlebihan.
(Istimewa)
(Istimewa)
Sebelum era reformasi, PNS mendapatkan jaminan dalam peraturan perundang-undangan untuk menikmati hak politiknya, baik untuk memilih maupun untuk dipilih dalam pemilu.
Sebagai perwujudan hak politiknya, pada era Orde Lama, PNS berhak terlibat dalam parpol, baik sebagai anggota ataupun pengurus. Karena itu, PNS memiliki peluang untuk menjadi anggota legislatif, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Sementara pada masa Orde Baru, PNS dimanfaatkan menjadi anggota dan pendukung Golkar. Bahkan, untuk menduduki jabatan tertentu, penilaiannya dikaitkan dengan seberapa besar dia loyal terhadap pemerintah, yang juga diartikan loyal juga terhadap Golkar.
Berkaca pada pengalaman itu, pemerintah dan DPR kemudian menetapkan Undang-undang nomor 43/1999 tentang Perubahan UU No 8/1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
Salah satu isi yang cukup fundamentalis, PNS diharuskan bersifat netral dari pengaruh semua golongan dan parpol serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Bukan hanya UU itu, ada dua peraturan yang mewajibkan netralitas PNS. Yakni, Peraturan Kepala Kepegawaian Nasional No 10/ 2005 tentang PNS yang menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Serta, Surat Edaran Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (SE Menpan) Nomor SE/08/M.PAN/3/2005 tentang netralitas PNS dalam pemilihan kepala daerah.
Hernadi Affandi, Ketua Pusat Studi Hukum dan Good Governance Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, mengatakan, di satu sisi, pembatasan itu memiliki tujuan yang baik. Namun si sisi lain, pembatasan justru merugikan dan mengebiri hak politik PNS.
"Dengan pembatasan, PNS tidak dapat berkiprah dalam percaturan politik secara bebas. Karena tidak ada unsur PNS di DPR, nasib PNS lebih ditentukan oleh 'belas kasihan' anggota DPR," ujarnya.
Kekhawatiran akan netralitas PNS dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya apabila menjadi anggota parpol, dinilainya berlebihan. Sebab, dengan situasi dan kondisi masyarakat yang sudah demikian terbuka, tidak cukup menjadi alasan pembenar untuk membatasi hak-hak politik PNS.
Sementara Maswadi Rauf, pengamat politik Universitas Indonesia menilai, netralitas PNS masih diselimuti kekaburan. Sebab, tidak diatur secara tegas apa yang boleh dan tidak, sehingga menimbulkan banyak penafsiran yang berbeda.
Dia mencontohkan, dalam pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada Pemilu 2004, PNS yang maju harus terlebih dulu menggundurkan diri sebagai PNS.
"Tapi pada kenyataannya, banyak calon anggota DPD dari PNS yang tidak terpilih kembali aktif menjadi PNS. Ini aturan yang tidak jelas dan tegas, " paparnya kepada Inilah.com.
Lepas dari pro-kontra mengenai peran politiknya, harus diakui dengan jumlah anggota lebih dari empat juta orang, posisi PNS memang sangat strategis. Karena itu, walaupun sejumlah produk hukum telah dihasilkan untuk menjaga netralitasnya, bukan hal mustahil jika godaan masuk ke ranah politik memang sedemikian besarnya. [P1]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar