Rabu, 13 Oktober 2010
Visi - Misi Kabupaten Luwu Utara
V i s i :
Mewujudkan masyarakat luwu utara yang religius, maju, sejahtera dan mandiri diatas landasan agribisnis dan ekonomi kerakyatan
M i s i :
1. Meningkatkan Pelaksanaan Fungsi-fungsi Pemerintah
a. Meningkatkan fungsi dan peran kelembagaan daerah serta tata
organisasi Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan
pembangunan secara mandiri.
b. Mewujudkan kemitraan pembangunan, dengan merajut jalinan
kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat,
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Pemerintah Kabupaten/
Kota se Provinsi dan dengan Provinsi lainnya; antara Pemerintah
Daerah dengan masyarakat, swasta/pengusaha/pebisnis,
dan LSM dalam lingkup wilayah Kabupaten Luwu Utara secara
luas dalam upaya menumbuhkan perekonomian, pemerataan
kutub-kutub ekonomi wilayah dan pertumbuhan wilayah
secara umum.
c. Meningkatkan kemandirian keuangan dan pembiayaan
pembangunan khususnya dalam meraih PAD.
d. Mewujudkan pemerintah yang bersih dan baik, sehingga
kepercayaan masyarakat akan semakin meningkat pula.
e. Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
f. Mewujudkan stabilitas kehidupan sosial politik dan sosial budaya
yang dinamis dalam mendorong partisipasi
aktif/peran serta masyarakat dalam kehidupan demokrasi.
g. Merealisasikan fungsi komunikasi yang cepat dan optimal dalam
pembangunan sebagai akses responsif terhadap masyarakat
melalui penyediaan infrastruktur teknologi informasi yang memadai.
2. Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia.
a. Meningkatkan kualitas aparatur PEMDA, masyarakat dan swasta/
pengusaha dalam sektor pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan.
b. Memiliki kecerdasan spiritual (“Spiritual Quation”), Kecerdasan
Intelektual (“Intelectual/Inteligencial Quation”), dan
Kecerdasan Emosional (“Emotional Quation”) sebagai syarat
kemampuan kepemimpinan dan managerial/pengaturan menjadi
andalan pembangunan daerah, baik ditingkat legislatif, eksekutif,
yudikatif, dan kalangan masyarakat sendiri secara luas.
c. Meningkatkan kualitas hidup kepemudaan dan keolahragaan.
d. Mengendalikan pertumbuhan penduduk dengan Program Keluarga
Berencana, pemerataan persebaran penduduk berbasis keberadaan
Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Buatan yang dapat
dikembangkan.
e. Menumbuhkembangkan kegiatan pelestarian norma dan nilai-nilai
budaya daerah yang menunjang pelaksanaan pembangunan
daerah.
3. Meningkatkan Pemanfaatan Sumber Daya Alam.
a. Mengembangkan Sistem AGRIBISNIS dengan melakukan kerjasama
dalam permodalan dan pemasaran serta membangun keunggulan
pewilayahan komoditas pertanian, perkebunan dan perhutanan.
b. Mengembangkan produksi dan pemasaran komoditas perikanan
laut maupun perikanan darat.
c. Meningkatkan eksplorasi dan eksploitasi Sumber Daya Mineral dan
Sumber Daya Energi dan bahan galian lainnya.
d. Meningkatkan pemantauan/pengendalian pengelolaan lingkungan
hidup.
e. Meningkatkan Sumber Daya Alam yang terkait dengan potensi objek-
objek dan daerah tujuan wisata, khususnya wisata alam.
f. Meningkatkan kuantitas dan kualitas perencanaan dibidang
perkebunan.
g. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pemanfaatan Sumber Daya
Hutan, khususnya hasil hutan nirkayu secara optimal dan
berwawasan lingkungan.
h. Membina kelembagaan Pemerintah dan Masyarakat dalam
pergerakan hukum pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Pelestarian Lingkungan Hidup.
i. Mengembangkan sistem pengelolaan, penanggulangan dan
mitigasi bencana alam.
j. Meningkatkan manajemen lahan kritis diareal kawasan hutan
dan perkebunan.
4. Meningkatkan Penerimaan/Pendapatan Asli Daerah (PAD)
a. Mengembangkan kerjasama tripartit kemitraan seperti telah
diuraikan sebelumnya antara Pemerintah – Businessman/
pengusaha – LSM dalam membangun Sistem Investasi.
b. Meningkatkan produktivitas dari kegiatan ON FARM – OFF FARM,
distribusi dan pemasaran dari komoditas unggulan yang dimiliki.
c. Mengembangkan industri kerajinan dan produk unggulan daerah.
d. Meningkatkan promosi dan laju investasi dengan mengutamakan
keunggulan komparatif dan kompetitif daerah.
e. Meningkatkan dan mengembangkan kualitas dan kuantitas tenaga
kerja yang trampil yang siap memasuki bursa lapangan kerja.
f. Meningkatkan intensifikasi, ekstensifikasi, eksploitasi dan
rehabilitasi kegiatan ekonomi.
g. Meningkatkan kualitas dan kuantitas perencanaan dan pembangunan
infrastruktur perhubungan yang memudahkan mobilisasi barang dan
jasa yang bernilai secara ekonomi.
h. Meningkatkan promosi dan investasi dibidang kepariwisataan.
i. Mendekatkan antara produk bahan baku dengan industri
pengolahan, sehingga dapat terjadi penyerapan tenaga kerja
dan timbulnya peluang usaha baru dipedesaan.
j. Meningkatkan kemudahan pelayanan perizinan bagi INVESTASI.
k. Mengembangkan pajak dan retribusi daerah.
l. Mendirikan Badan Usaha Milik Daerah.
IKLIM
Secara umum Kabupaten Luwu Utara beiklim tropis basah, terbagi atas 2 musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau.
Intensitas curah hujan Kota Masamba termasuk tinggi, hal ini berdasarkan data curah hujan yang dicatat di Sta. Baliase dan Sta. Sukamaju dengan curah hujan berkisar antara 2000 – 4000 mm pertahun. Suhu udara rata-rata berkisar antara 30,6oC-31,6oC pada musim kemarau dan antara 25oC-28oC pada musim penghujan.
Berdasarkan tipe iklim oldeman, wilayah Kabupaten Luwu Utara umumnya memiliki tipe iklim B1 dan B2, dengan perincian sebagai berikut :
Tabel 2
Sebaran Iklim dan Curah hujan Kabupaten Luwu Utara
No
Kecamatan Tipe Iklim Curah Hujan mm / Tahun Keterangan (Bulan)
1 Sabbang B1 3000 – 3500 Kering 2 Bln, Basah 7 – 9 Bln
2 Baebunta B1 3000 – 3500 Kering 2 Bln, Basah 7 – 9 Bln
3 Masamba B1 2500 – 3000 Kering 2 Bln, Basah 7 – 9 Bln
4 Mappedeceng B 2500 – 3000 Kering 2 Bln, Basah 7 – 9 Bln
5 Seko B1 2000 – 2500 Kering 2 Bln, Basah 7 – 9 Bln
6 Limbong B1-B2 2000 – 2500 Kering 2–4 Bln, Basah 7-9 Bln
7 Rampi B1 2500 – 3000 Kering 2 Bln, Basah 7 – 9 Bln
8 Malangke B1 3000 – 3500 Kering 2 Bln, Basah 7 – 9 Bln
9 Malangke Barat B1 3000 – 3500 Kering 2 Bln, Basah 7 – 9 Bln
10 Sukamaju B1 3000 – 3500 Kering 2 Bln, Basah 7 – 9 Bln
11 Bone-Bone B1 3000 – 3500 Kering 2 Bln, Basah 7 – 9 Bln
Sumber : BPS Kabupaten Luwu Utara, 2002
Kondisi Geografis Luwu Utara
Posisi Geografi
Masamba sebagai Ibukota Kabupaten berjarak 430 Km kearah utara dari Kota Makassar. Letak Geografis Luwu Utara yaitu 2o30’45”–2o37’30”LS dan 119o41’15”–121o43’11”. Secara geografis berbataskan, Provinsi Sulawesi Tengah di bagian utara, sebelah timur Kabupaten Luwu Timur, selatan dengan Kabupaten Luwu dan Teluk Bone serta sebelah barat Kabupaten Mamuju dan Tator, sehingga Kabupaten Luwu Utara merupakan simpul dari Propinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan.
Topografi
Berdasarkan kondisi topografinya Kabupaten Luwu Utara terbagi dalam beberapa morfologi bentuk lahan. Kondisi ini dapat dijelaskan melalui persebaran kelas lereng Kabupaten Luwu Utara. Secara keseluruhan persebaran kelas lereng Kabupaten Luwu Utara dapat dilihat pada tabel 3 di halaman berikut :
Tabel 3
Kelas Lereng dan Ketinggan tiap Kecamatan di Kab. Luwu Utara
No
Kecamatan Kelas Lereng (%) Ketinggian (dpl) Keterangan Fisik Lahan
1 Sabbang 8 – 15 25 – 100 Bergelombang
2 Baebunta 8 – 15 25 – 100 Bergelombang
3 Masamba 3 – 15 25 – 100 Landai & Bergelombang
4 Mappedeceng 3 – 15 25 – 100 Landai & Bergelombang
5 Seko 15 – 30 > 1000 Berbukit
6 Limbong 15 – 30 500 – 1000 Berbukit
7 Rampi > 30 > 1000 Curam
8 Malangke 0 – 8 0 – 100 Landai
9 Malangke Barat 0 – 8 0 – 100 Landai
10 Sukamaju 0 – 15 25 – 100 Landai & Bergelombang
11 Bone-Bone 0 – 8 0 – 100 Landai
Sumber : BPS Kabupaten Luwu Utara, 2002
Geologi
Kondisi geologi Kabupaten Luwu Utara dapat ditelusuri dari batuannya. Secara spasial kondisi geologi dapat dilihat stratigrafi batuan yang ada di Kabupaten Luwu Utara seperti tabel berikut :
Tabel 4
Wilayah Cakupan Kondisi Geologi
No
Jenis Batuan Wilayah Cakupan Keterangan
1 Alluvium & Coastal Deposit Baebunta,Malangke, Mlk. Barat, Bone-Bone, Sukamaju Liatmarin, pasir, kerikil & terumbu karang
2 Batuan Endapan Dana Rampi, Limbong & seko Pasir, liat dan kerikil
3 Celebes Molasse Sukamaju & Bone-Bone Konglomerat, standstone, Claystone & Marl Berkapur
4 Intrusive Rock (Batuan Intrusif) Mappedeceng dan Rampi Diorit, porphyry, syenit, trachyte, gabro, adamilit, monzonit, phonolit, dolerit & kentalenit
5 Batuan Vulkanik Seko Basaltic spilitic, calc-alkaline, breccia, tuff, lava & pillow lava
Sumber : BPS Kabupaten Luwu Utara, 2002
Hidrologi
Kondisi hidrologi Kabupaten Luwu Utara sangat berkaitan dengan tipe iklim dan kondisi geologi yang ada. Kondisi hidrologi permukaan ditentukan oleh sungai – sungai yang ada yang umumnya berdebit kecil oleh karena sempitnya daerah aliran sungai sebagai wilayah tadah hujan (catchment area) dan sistem sungainya. Kondisi tersebut diatas menyebabkan banyaknya aliran sungai yang terbentuk
Air tanah bebas (watertable groundwater) dijumpai pada endapan alluvial dan endapan pantai. Kedalaman air tanah sangat bervariasi tergantung pada keadaan medan dan jenis lapisan batuan. Ada beberapa sungai utama di wilayah Kabupaten yang berfungsi sebagai catchment area, sebagaimana dijelaskan pada tabel berikut :
Tabel 5
Daftar Sungai dan Daerah Alirannya
No
Sungai Daerah Aliran Panjang (Km) Daerah Tangkapan (Km)
< 100 m > 100 m Total
1 Rongkong Sabbang, Baebunta, 85 1.245,2 423,8 1.669,0
2 Baebunta Baebunta, Masamba 48 96,8 281,1 377,9
3 Masamba Masamba 55 102,2 203,7 305,9
4 Baliase Masamba, Baliase 95 826,3 172,6 998,9
5 Lampuawa Bone-Bone 34 56,5 115,6 172,1
6 Kanjiro Bone-Bone 41 111,3 92,2 203,5
7 Bone-Bone Bone-Bone 20 64,1 57,6 121,7
8 Bungadidi Bone-Bone 20 80,9 29,0 109,9
Sumber : Map of South Sulawesi, 1981 (United Kingdom & Departement of General worker Indonesia)
Sistem aliran hidrologi di Kabupaten Luwu Utara menunjukkan bahwa pergerakan air, baik air permukaan maupun air tanah, langsung menuju arah laut. Aquifer umumnya terdapat pada lapisan pasir, kerikil dan lapisan tipis batu gamping.
Salah satu keunggulan dari sistem sungai-sungainya adalah kondisi airnya yang masih jernih dan bening sehingga sangat baik untuk dijadikan tempat rekreasi
Sumber daya air khususnya air permukaan sangat melimpah di daerah Luwu Utara. Sebagian kecil dari potensi air permukaan telah dimanfaatkan untuk pengembangan irigasi, pembangkit listrik dan budidaya perikanan. Potensi air tanah dangkal terbatas di daerah dataran rendah.
Jenis Tanah
Persebaran jenis tanah di Kabupaten Luwu Utara dipengaruhi oleh jenis batuan, iklim dan geomorfologi lokal, sehingga perkembangannya ditentukan oleh tingkat pelapukan batuan kawasan tersebut. Kualitas tanah mempunyai pengaruh besar terhadap intensitas penggunaan lahannya. Tanah-tanah yang sudah berkembang horisonnya akan semakin intensif pemanfaatannya terutama untuk kegiatan pertanian dan perkebunan. Kualitas tanah dan penyebarannya ini akan sangat berpengaruh dalam pengembangan wilayah ini, hal mana terkait dengan prinsip pemanfaatan lahan yang berdasarkan kesesuaian daya tampung dan daya dukung lahannya.
Tabel 6
Jenis – jenis tanah yang ada di Kabupaten Luwu Utara
No
Jenis Tanah Wilayah Cakupan Keterangan
1 Inceptisol Malangke, Malangke Barat, Bone-Bone, Sukamaju Liat marin
2 Ultisol Limbong & seko Liat, reaksi masam
3 Entisol Malangke, Malangke Barat & Bone-Bone Jenuh air
Sumber : BPS Kabupaten Luwu Utara, 2002
Makna Lambang
DESKRIPSI MAKNA LAMBANG LUWU UTARA
Bintang Menggambarkan Ketuhanan Yang Maha Esa masyarakat Luwu Utara yang religius
Payung Maejae Simbol Kekuasaan tertinggi raja Luwu yang (payung peroe) melambangkan kemanunggalan (masedi siri) antara pemerintah dan seluruh kornponen masyarakat Luwu Utara dan sekaligus simbol "pengayoman".
Padi dan kapas Simbol kesejahteraan bagi masyarakat Luwu Utara yang cukup sandang dan pangan.
Besi Pakkae Simbol kekuasaan raja Luwu maknanya adalah kesejahteraan egalitarian antara seluruh komponen masyarakat.
Pohon sagu Simboi kerukunan, kekokohan, ketegaran masyarakat Luwu Utara.
Wadah gambar Simbol dasar negara, wadah dalam kehidupan bersudut lima bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pita Simbol pengikat persaudaman.
Payung dan besi Menggambarkan masyarakat Luwu Utara yang pakkae bermasyarakat dan berbudaya.
SEJARAH SINGKAT TERBENTUKNYA KAB. LUWU UTARA
Tepatnya pada tanggal 10 Pebruari 1999, oleh DPRD Kabupaten Luwu mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 03/Kpts/DPRD/II/1999 tentang Usul dan Persetujuan Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu yang dibagi menjadi dua Wilayah Kabupaten dan selanjutnya Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel menindaklanjuti dengan Surat Keputusan No.136/776/OTODA tanggal 12 Pebruari 1999. Akhirnya pada tanggal 20 April 1999, terbentuklah Kabupaten Luwu Utara ditetapkan dengan UU Republik Indonesia No.13 Tahun1999.
Pada awal pembentukannya, Kabupaten Luwu Utara dengan batas Saluampak Kec. Sabbang sampai dengan batas Propinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, terdiri dari 19 Kecamatan, yaitu:
1. Kec. Sabbang
2. Kec. Pembantu Baebunta
3. Kec. Limbong
4. Kec. Pembantu Seko
5. Kec. Malangke
6. Kec. Malangkebarat
7. Kec. Masamba
8. Kec. Pembantu Mappedeceng
9. Kec. Pembantu Rampi
10. Kec. Sukamaju
11. Kec. Bone-bone
12. Kec. Pembantu Burau
13. Kec. Wotu
14. Kec. Pembantu Tomoni
15. Kec. Mangkutana
16. Kec. Pembantu Angkona
17. Kec. Malili
18. Kec. Nuha
19. Kec. Pembantu Towuti
Pada tahun 2003, di usianya yang ke-4, Kabupaten Luwu Utara dimekarkan menjadi dua kabupaten yaitu Kabupaten Luwu Timur yang disahkan dengan UU Nomor 7 Tahun 2003 pada tanggal 25 Februari 2003. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 6.944,98 km2, dengan Kecamatan masing-masing:
1. Angkona
2. Burau
3. Malili
4. Mangkutana
5. Nuha
6. Sorowako
7. Tomoni
8. Tomoni Utara
9. Towuti
10. Wotu
Dengan demikian, pasca pemekaran tersebut Kabupaten Luwu Utara terdiri dari sebelas kecamatan masing-masing Kecamatan Sabbang, Kecamatan Baebunta, Kecamatan Limbong, Kecamatan Seko, Kecamatan Masamba, Kecamatan Rampi, Kecamatan Malangke, Kecamatan Malangke Barat, Kecamatan Mappedeceng, Kecamatan Sukamaju dan Kecamatan Bone Bone
Kondisi Wilayah Luwu Utara
Tabel 1
Luas dan Pembagian Daerah Administrasi Kab. Luwu Utara
Kec Luas (Km2) Persentase Jumlah Wilayah Perdesaan Jumlah Wilayah Perkotaan
Sabbang 525.08 7.00 20 0
Baebunta 295.25 3.94 20 0
Malangke 350.00 4.67 14 0
Malangke Barat 93.75 1.25 13 0
Sukamaju 255.48 3.41 25 0
Bone-Bone 277.33 3.70 20 0
Masamba 1068.85 14.25 15 4
Mappedeceng 275.50 3.67 15 0
Rampi 1565.65 20.87 6 0
Limbong 685.50 9.15 7 0
Seko 2109.19 28.11 12 0
Kab. Luwu Utara 7502.58 100.00 167 4
Sumber : BPS Kabupaten Luwu Utara, 2002
Kamis, 07 Oktober 2010
Sejarah Tana Luwu
Setelah Belanda menundukkan Luwu, mematahkan perlawanan Luwu pada pendaratan tentara Belanda yang di tantang oleh hulubalang Kerajaa Luwu Andi Tadda bersama dengan laskarnya di Ponjalae pantai Palopo pada tahun 1905. Belanda selanjutnya mebangun sarana dan prasarana untuk memenuhi keperluan pemerintah penjajah di seluruh wilayah kerajaan Luwu mulai dari Selatan, Pitumpanua ke Utara Poso. Dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) ke Barat Tator. Pada Pemerintahan Hindia Belanda, sistem pemerintahan di Luwu dibagi atas dua tingkatan pemerintahan, yaitu:
* Pemerintahan tingkat tinggi dipegang langsung oleh Pihak Belanda.
* Pemerintahan tingkat rendah dipegang oleh Pihak Swapraja.
Dengan terjadinya sistem pemerintahan dualisme dalam tata pemerintahan di Luwu pada masa itu, pemerintahan tingkat tinggi dipegang oleh Hindia Belanda, dan yang tingkat rendah dipegang oleh Swapraja tetapi tetap masih diatur oleh Belanda, namun secara de jure Pemerintahan Swapraja tetap ada. Menyusul setelah Belanda berkuasa penuh di Luwu, maka wilayah Kerajaan Luwu mulai diperkecil, dan dipecah sesuai dengan kehendak dan kepentingan Belanda, yaitu:
* Poso (yang masuk Sulawesi Tengah sekarang) yang semula termasuk daerah Kerajaan Luwu dipisahkan, dan dibentuk satu Afdeling.
* Distrik Pitumpanua (sekarang Kecamatan Pitumpanua dan Keera) dipisah dan dimasukkan kedalam wilayah kekuasaan Wajo.
* Kemudian dibentuk satu afdeling di Luwu yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Palopo.
Selanjutnya Afdeling Luwu dibagi menjadi 5 (lima) Onder Afdeling, yaitu:
* Onder Afdeling Palopo, dengan ibukotanya Palopo.
* Onder Afdeling Makale, dengan ibukotanya Makale.
* Onder Afdeling Masamba, dengan ibukotanya Masamba.
* Onder Afdeling Malili, dengan ibukotanya Malili.
* Onder Afdeling Mekongga, dengan ibukotanya Kolaka.
Selanjutnya pada masa pendudukan tentara Dai Noppong, Pemerintah Jepang tidak merubah sistem pemerintahan, yang diterapkan tentara Dai Noppon pada masa berkuasa di Luwu (Tahun 1942), pada prinsipnya hanya meneruskan sistem pemerintahan yang telah diterapkan oleh Belanda, hanya digantikan oleh pembesar-pembesar Jepang. Kedudukan Datu Luwu dalam sistem pemerintahan Sipil, sedangkan pemerintahan Militer dipegang oleh Pihak Jepang. Dalam menjalankan Pemerintahan Sipil, Datu Luwu diberi kebebasan, namun tetap diawasi secara ketat oleh pemerintahan Militer Jepang yang sewaktu-waktu siap menghukum pejabat sipil yang tidak menjalankan kehendak Jepang, dan yang menjadi pemerintahan sipil atau Datu Luwu pada masa itu ialah " Kambo Opu Tenrisompa" kemudian diganti oleh putranya "Andi Jemma" .
Pada bulan April 1950 Andi Jemma dikukuhkan kembali kedudukannya sebagai Datu/Pejuang Luwu dengan wilayah seperti sediakala. Afdeling luwu meliputi lima onder Afdeling Palopo: Masamba, Malili, Tanatoraja atau Makale, Rantepao dan Kolaka. Tahun 1953 Andi Jemma Datu Luwu diangkat menjadi Penasehat Gubernur Sulawesi, waktu itu Sudiro. Ketika Luwu dijadikan Pemerintahan Swapraja, Andi Jemma diangkat sebagai Kepala Swapraja Luwu, pada tahun 1957 hingga 1960.
Atas jasa-jasan beliau terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia, Andi Jemma telah dianugerahi Bintang Gerilya tertanggal 10 November 1958, Nomor 36.822 yang ditandatangani Presiden Soekarno. Pada masa periode kepemimpinan Andi Jemma sebagai Raja atau Datu Luwu terakhir, sekaligus menandai berakhirnya sistem pemerintahan Swatantra (Desentralisasi). Belasan tanda jasa kenegaraan Tingkat Nasional telah diberikan kepada Andi Jemma sebelum beliau wafat tanggal 23 Februari 1965 di Kota Makassar. Presiden Soekarno memerintahkan agar Datu Luwu dimakamkan secara Kenegaraan di ‘Taman Makam Pahlawan’ Panaikang Makassar, yang dipimpin langsung oleh Panglima Kodam Hasanuddin.
Selanjutnya pada masa setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, secara otomatis Kerajaan Luwu berintegrasi masuk ke dalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditandai dengan adanya pernyataan Raja Luwu pada masa itu Andi Jemma yang antara lain menyatakan "Kerajaan Luwu adalah bagian dari Wilayah Kesatuan Republik Indonesia".
Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.34/1952 tentang Pembubaran Daerah Sulawesi Selatan bentukan Belanda/Jepang termasuk Daerah yang berstatus Kerajaan. Peraturan Pemerintah No.56/1951 tentang Pembentukan Gabungan Sulawesi Selatan. Dengan demikian daerah gabungan tersebut dibubarkan dan wilayahnya dibagi menjadi 7 tujuh daerah swatantra. Satu di antaranya adalah daerah Swatantra Luwu yang mewilayahi seluruh daerah Luwu dan Tana Toraja dengan pusat Pemerintahan berada di kota Palopo.
Berselang beberapa tahun kemudian, Pemerintah Pusat menetapkan beberapa Undang-Undang Darurat, antara lain: - Undang-Undang Darurat No.2/1957 tentang Pembubaran Daerah Makassar, Jeneponto dan Takalar. - Undang-Undang Darurat No. 3/1957 tentang Pembubaran Daerah Luwu dan Pembentukan Bone, Wajo dan Soppeng. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 4/1957, maka Daerah Luwu menjadi daerah Swatantra dan terpisah dengan Tana Toraja.
Daerah Swatantra Luwu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Darurat No.3/1957 adalah meliputi:
* Kewedanaan Palopo
* Kewedanaan Masamba dan
* Kewedanaan Malili.
Kemudian pada tanggal 1 Maret 1960 ditetapkan PP Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pembentukan Propinsi Administratif Sulawesi Selatan mempunyai 23 Daerah Tingkat II, salah satu diantaranya adalah Daerah Tingkat II Luwu.
Untuk menciptakan keseragaman dan efisiensi struktur Pemerintahan Daerah, maka berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.1100/1961, dibentuk 16 Distrik di Daerah Tingkat II Luwu, yaitu: - Wara - Larompong - Suli - Bajo - Bupon - Bastem - Walenrang - Limbong - Sabbang - Malangke - Masamba - Bone-bone - Wotu - Mangkutana - Malili - Nuha
Dengan 143 Desa gaya baru. Empat bulan kemudian, terbit SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.2067/1961 tanggal 18 Desember 1961 tentang Perubahan Status Distrik di Sulawesi Selatan termasuk di Daerah Tingkat II Luwu menjadi kecamatan. Dengan berpedoman pula pada SK tersebut, maka status Distrik di Daerah Tingkat II Luwu berubah menjadi kecamatan dan nama-nama kecamatannya tetap berpedoman pada SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No. 1100/1961 tertanggal 16 Agustus 1961, dengan luas wilayah 25.149 km2.
Perkembangan dari segi Administratif Pemerintahan di Dati II Luwu, selain pemekaran kecamatan, desa dan kelurahan juga ditetapkannya Dati II Luwu sebagai salah satu Kota Administratip (KOTIP) berdasarkan SK Mendagri No.42/1986 tanggal 17 September 1986.
Dengan demikian secara Administratif Dati II Luwu terdiri dari satu Kota Administratip, tiga Pembantu Bupati, 21 Kecamatan Definitif, 13 Kecamatan Perwakilan, 408 Desa Definitif, 52 Desa Persiapan dan Kelurahan dengan luas wilayah berdasarkan data dari Subdit Tata Guna Tanah Direktorat Agraria Propinsi Sulawesi Selatan adalah 17.791,43 km2 dan dikuatkan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 124/III/1983 tanggal 9 Maret 1983 tentang penetapan luas propinsi, kabupaten/kotamadya dan kecamatan dalam wilayah propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.
Luas Wilayah Propinsi Kabupaten/Kotamadya dan Kecamatan yang ada sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan nyata di lapangan oleh karena telah terjadi penyempurnaan batas wilayah antar propinsi di Sulawesi Selatan, maka melalui kerjasama Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sul-Sel dan Topografi Kodam VII Wirabuana, Pemerintah Propinsi Tingkat I Sulawesi Selatan telah berhasil menyusun data tentang luasn wilayah propinsi, kabupaten/ kotamadya dan kecamatan di daerah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel Nomor : SK.164/IV/1994 tanggal 4 April 1994. Total luas wilayah Kabupaten Luwu adalah 17.695,23 km2 dengan 21 kecamatan definitif dan 13 Kecamatan Pembantu.
Pada tahun 1999, saat awal bergulirnya Reformasi di seluruh wilayah Republik Indonesia, dimana telah dikeluarkannya UU No.22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan di Daerah, dan mengubah mekanisme pemerintahan yang mengarah pada Otonomi Daerah.
Tepatnya pada tanggal 10 Februari 1999, oleh DPRD Kabupaten Luwu mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 03/Kpts/DPRD/II/1999, tentang Usul dan Persetujuan Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu yang dibagi menjadi dua Wilayah Kabupaten dan selanjutnya Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel menindaklanjuti dengan Surat Keputusan No.136/776/OTODA tanggal 12 Februari 1999. Akhirnya pada tanggal 20 April 1999, terbentuklah Kabupaten Luwu Utara ditetapkan dengan UU Republik Indonesia No.13 Tahun1999.
Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu terbagi atas:
I. Kabupaten Dati II Luwu dengan batas Saluampak Kec. Lamasi dengan batas Kabupaten Wajo dan Kabupaten Tator, dari 16 kecamatan, yaitu: - Kec.Lamasi - Kec.Walenrang - Kec.Pembantu Telluwanua - Kec.Warautara - Kec.Wara - Kec.Pembantu Waraselatan - Kec.Bua - Kec.Pembantu Ponrang - Kec.Bupon - Kec.Bastem - Kec. Pemb. Latimojong - Kec.Bajo - Kec.Belopa - Kec.Suli - Kec.Larompong - Kec.Pembantu Larompongselatan
II. Kabupaten Luwu Utara dengan batas Saluampak Kec. Sabbang sampai dengan batas Propinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, terdiri dari 19 Kecamatan, yaitu:
1. Kec. Sabbang
2. Kec. Pembantu Baebunta
3. Kec. Limbong
4. Kec. Pembantu Seko
5. Kec. Malangke
6. Kec. Malangkebarat
7. Kec. Masamba
8. Kec. Pembantu Mappedeceng
9. Kec. Pembantu Rampi
10. Kec. Sukamaju
11. Kec. Bone-bone
12. Kec. Pembantu Burau
13. Kec. Wotu
14. Kec. Pembantu Tomoni
15. Kec. Mangkutana
16. Kec. Pembantu Angkona
17. Kec. Malili
18. Kec. Nuha
19. Kec. Pembantu Towuti
III. Kota Palopo adalah salah saatu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kota Palopo sebelumnya berstatus kota administratif yang berlaku sejak 1986 berubah menjadi kota otonom sesuai dengan UU Nomor 11 tahun 2002 tanggal 10 April 2002. Kota ini memiliki luass wilayah 155,19 Km2 dan berpenduduk sejumlah 120.748 jiwa dan dengan jumlah Kecamatan:
1. Kecamatan Bara
2. Kecamatan Cendana
3. Kematan Mungkajang
4. Kecamatan Telluwanua
5. Kecmatan Telluwarue
6. Kecamatan Wara
7. Kematan Wara Barat
8. Kecamaatan Wara Selatan
9. Kecamatan Wara Timur
10. Kecamatan Wara Utara
IV. Kabupaten Luwu Timur adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kabupaten ini berasal dari pemekaran Kabupaten Luwu Utara yang disahkan dengan UU Nomor 7 Tahun 2003 pada tanggal 25 Februari 2003. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 6.944,98 km2, dengan Kecamatan masing-masing:
1. Angkona
2. Burau
3. Malili
4. Mangkutana
5. Nuha
6. Sorowako
7. Tomoni
8. Tomoni Utara
9. Towuti
10. Wotu
Setelah Pembagian Wilayah Kabupaten Luwu dari dua Kabupaten menjadi tiga Kabupaten dan satu Kota, maka secara otomatis luas Wilayah Kabupaten ini berkurang dengan Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu Timur dan Kota Palopo berdasarkan batas yang telah ditetapkan, yaitu:
* Luas Wilayah Kabupaten Luwu adalah 3.092,58 km2
* Luas Wilayah Kabupaten Luwu Utara adalah 7.502,48 km2
* Luas Wilayah Kota Palopo menjadi 155.19 km2.
* Luas Wilayah Kabupaten Luwu Timur menjadi 6.944,98 km2.
Kisah Unik dibalik Masuknya Islam di Tana Luwu
Konon ketika Khatib Sulaiman tiba di Kerajaan Gowa Tallo pada awal abad ke-16 ia bersama Khatib Bungsu dan Khatib Tunggal yang berasal dari Minangkabau telah menyebarkan agama Islam pada penduduk setempat. Meski demikian ketiganya juga mencoba untuk mengislamkan kalangan kerajaan, utamanya raja Gowa dan Tallo. Namun mereka menemui kendala yang cukup besar. Akhirnya mereka memutuskan untuk mencari daerah atau kerajaan lain utuk menyebarkan agama Islam.
Datuk asal Minangkabau Penyebar Islam di Tana Luwu
Eka Nugraha
Malangke
Int.
Het graf van vorst Petta Matinroë ri Malangke van Loewoe 1941
Makam Petta Matinroë ri Malangke, tahun 1941
Berbagai catatan sejarah menyebutkan bahwa kira-kira pada akhir abad XV masehi pengaruh islam mulai masuk di kerajaan Luwu. Agama islam itu diketahui masuk di daerah Luwu yang dibawa oleh seorang alim Ulamaasal Minangkabau. Ulama tersebut diketahui bernama; Datuk Sulaeman atau yang populer dikenal dengan nama Dato' Sulaiman.
Datuk Sulaeman yang berasal dari Minangkabau ini kemudian dikenal dengan nama Datuk Pattimang. Nama tersebut diberikan karena beliau wafat dan dimakamkan di sebuah desa bernama Pattimang. Cukup mudah untuk mengunjungi makamnya, letaknya di sebelah selatan kabupaten Lutra. Tepatnya di kecamatan Malangke, sekira 60 kilometer dari kota Masamba.
Saat saya berkunjung di tempat itu, Sabtu 29 Agustus, suasana kompleks pemakaman Datuk Sulaiman tampak sunyi. Suara masjid yang berada dalam kompleks sesekali memecah keheningan pemakaman keturunan para raja tersebut.
"Sekarang sedang sunyi nanti menjelang lebaran baru kuburan ini ramai dikunjungi," kata penjaga kompleks pemakaman Datuk Sulaiman, Andi Tamring Opu To Patonangi.
Tamring menyebutkan, Datuk Sulaiman diperkirakan datang ke Desa Pattimang sekira abad ke XV. Pada saat itu, kerajaan Luwu dipimpin oleh seorang raja bernama Andi Pattiware. Tamring mengisahkan, saat Datuk Sulaiman melakukan pendaratan pertamanya di tana Luwu, hal pertama yang dilakukannya adalah melakukan shalat di tepi sungai. Uniknya, saat melakukan shalat, seluruh pepohonan yang berada disekitar tempat itu juga mengikuti gerakan Datuk Sulaiman. Tempat itu sekarang diberi nama "Tappong aju dua e" ---Bahasa Luwu; tempat pendaratan---
"Nanti setelah shalat, baru Datuk bertemu dengan raja untuk menyampaikan niatnya menyebarkan ajaran islam," kata Tamring yang mengaku keturunan langsung dari raja Luwu ke-15 Andi Pattiware.
Niat Datuk untuk menyebarkan ajaran islam akhirnya diterima oleh Raja Pattiware. Oleh karena itu, raja menunjuk anak kandungnya yang belakangan di ketahui bernama Andi Abdullah untuk menjadi muslim pertama di tana Luwu. Setelah itu, raja pun ikut memeluk agama islam.
Penulis belum menemukan Informasi mengenai siapakah jati diri datuk yang berasal dari Minagkabau tersebut. Apakah ia berasal dari didikan dan santri dari Ranah Minang atau bukan? hal itu belum jelas.
Tamring hanya menjelaskan, mitos yang berkembang, beberapa hari setelah meninggalnya Datuk Sulaiman itu, sebuah suara aneh muncul. Suara itu menyebutkan kalau datuk tersebut ternyata adalah keturunan Arab Saudi. Namun, ada juga segelintir informasi kalau Datuk Sulaiman adalah salah seorang santri dari Sunan Giri.(***)
Perjuangan Opu Daeng Risaju di Sulawesi Selatan (1930-1950)
Oleh:
Salmah Gosse
Pendahuluan
Konflik dan kekerasan merupakan suatu fenomena historis yang bisa terjadi dalam hubungan antara negara (kekuasaan) dengan individu. Konflik biasa muncul manakala cita-cita individu bertentangan dengan kemauan negara. Individu biasanya akan terus memperjuangkan cita-citanya baik dalam bentuk gagasan maupun aksi. Sedangkan negara akan terus berusaha untuk menekan aktivitas individu, agar jangan sampai aktivitas individu dapat membahayakan stabilitas negara. Upaya negara untuk menekan individu dapat sampai pada tingkat bentuk tindak kekerasan.
Fenomena tersebut di atas biasa terjadi dalam sebuah kekuasaan negara yang otoriter. Dalam kekuasaan ini kebebasan individu dikekang. Negara memiliki kekuasaan yang mutlak terhadap diri individu. Individu harus tunduk pada peraturan-peraturan yang dibuat negara. Peraturan-peraturan yang dibuat biasanya dalam model kekuasaan yang seperti ini adalah peraturan yang dapat melanggengkan kekuasaan.
Dalam sejarah Indonesia beberapa kasus konflik dan kekerasan yang dilakukan oleh negara (kekuasaan) terhadap individu sudah banyak terjadi. Peristiwa-peristiwa di zaman kolonial Belanda dan Jepang, misalnya merupakan contoh, betapa pemerintah menjalankan kekuasaannya semata-mata demi kekuasaan itu sendiri atau demi kepentingan rakyat terjajah.
Makalah ini akan mengangkat salah satu bentuk pengekangan dan kekerasan yang menimpa Opu Daeng Risaju. Sebuah peristiwa yang memperlihatkan konflik dan kekerasan yang dilakukan oleh negara (pemerintah kolonial dan kerajaan Luwu) terhadap aktivitas perjuangan individu di Sulawesi Selatan. Individu yang dimaksud di sini adalah Opu Daeng Risaju yang aktif dalam organisasi pergerakan kebangsaan Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII).
Ada tiga hal yang menarik dalam peristiwa ini yang menimpa Opu Daeng Risaju itu. Pertama, Opu lahir dan dibesarkan sebagai seorang bangsawan, kedua, sangat kebetulan ia dilahirkan sebagai seorang wanita, dan ketiga, sebagai seorang anggota keluarga bangsawan, Opu ternyata sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan Barat (Sekolah Formal). Lalu, bagaimana seorang wanita bangsawan yang tidak pernah mengenyam pendidikan Barat, dipandang sebagai musuh yang berbahaya oleh pemerintah kolonial Belanda? Persoalan inilah yang coba diangkat dalam makalah ini.
Latar Belakang Kehidupan Opu Daeng Risaju
Nama kecil Opu Daeng Risaju adalah Famajjah. Ia dilahirkan di Palopo pada tahun 1880, dari hasil perkawinan antara Opu Daeng Mawellu dengan Muhammad Abdullah to Barengseng. Nama Opu menunjukkan gelar kebangsawanan di kerajaan Luwu. Dengan demikian Opu Daeng Risaju merupakan keturunan dekat dari keluarga Kerajaan Luwu.
Pendidikan yang ditanamkan sejak kecil lebih ditekankan pada persoalan yang menyangkut ajaran dan nilai-nilai moral baik yang berlandaskan budaya maupun agama. Sebagai seorang puteri bangsawan di daerah Luwu, sudah menjadi tradisi bagi keluarga bangsawan untuk mengajarkan kepada keluarga atau anak-anaknya tentang pola perilaku yang harus dimiliki oleh seorang perempuan. Pengajaran tentang tata cara kehidupan seorang bahsawan dilaksanakan baik di istana sendiri maupun di luar lingkungan istana. Materi ajaran yang diberikan misalnya bagaimana gerak-gerik diatur, tingkah laku dan cara bergaul bagi anak bangsawan. Pengajaran itu disalurkan lewat pesan-pesan, ceritera-ceritera yang bersifat dongeng dari orang tua atau inang pengasuh. Diajarkan pula tentang tata cara memimpin, bergaul, berbicara dan memerintah rakyat kebanyakan. Di samping itu, diajarkan pula keharusan senantiasa menampilkan keluhuran budi yang memupuk simpatik orang banyak[1].
Disamping belajar moral yang didasarkan pada adat kebangsawanan, Opu Daeng Risaju belajar pula peribadatan dan akidah sebagaimana yang diajarkan dalam agama Islam. Dalam tradisi di Luwu, agama dan budaya menjadi satu. Famajjah sejak kecil membaca Al Quran sampai tamat 30 juz. Setelah membaca Al Quran, ia mempelajari fiqih dari buku yang ditulis tangan sendiri oleh Khatib Sulaweman Datuk Patimang, salah seorang tokoh penyebar agama Islam di Sulawesi Selatan. Dalam pengajaran agama tersebut, Famajjah dibimbing oleh seorang ulama. Ilmu lain yang ia pelajari dalam agama yaitu nahwu, syaraf dan balagah. Dengan demikian, Opu Daeng Risaju sejak kecil tidak pernah memasuki pendidikan Barat (Sekolah Umum), walaupun ia keluarga bangsawan, sebagaimana lazimnya aktivitas pergerakan di Indonesia pada waktu itu. Boleh dikatakan, Opu Daeng Risaju adalah seorang yang “buta huruf” latin, dia dapat membaca dengan cara belajar sendiri yang dibimbing oleh saudaranya yang pernah mengikuti sekolah umum.
Setelah dewasa Famajjah kemudian dinikahkan dengan H. Muhammad Daud, seorang ulama yang pernah bermukim di Mekkah. Suami Famajjah adalah anak dari teman dagang ayahnya. Karena menikah dengan keluarga bangsawan dan memiliki pengetahuan yang luas tentang agama, H. Muhammad Daud kemudian diangkat menjadi imam masjid istana Kerajaan Luwu. Nama Famajjah bertambah gelar menjad Opu Daeng Risaju.
Aktif di PSII
Opu Daeng Risaju mulai aktif di oraganisasi Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII) melalui perkenalannya dengan H. Muhammad Yahya, seorang pedagang Asal Sulawesi Selatan yang pernah lama bermukim di Pulau Jawa. H. Muhammad Yahya sendiri mendirikan Cabang SI di Pare-Pare. Opu Daeng Risaju, ketika berada di Pare-Pare masuk menjadi anggota SI Cabang Pare-Pare bersama suaminya.
Ketika pulang ke Palopo, Opu Daeng Risaju mendirikan cabang PSII di Palopo. PSII cabang Palopo resmi dibentuk pada tanggal 14 januari 1930 melalui suatu rapat akbar yang bertempat di Pasar Lama Palopo (sekarang Jalan Landau), atas prakarsa Opu Daeng Risaju sendiri yang dikoordinasi oleh orang-orang PSII. Rapat ini dihadiri oleh aparat pemerintah Kerajaan Luwu, pengurus PSII pusat, pemuka masyarakat dan masyarakat umumnya. Hadir pengurus PSII pusat yaitu Kartosuwiryo. Ketika berada di Palopo, Kartosuwiryo menginap di rumah Opu Daeng Risaju. Kedatangan Kartosuwiryo diundang langsung oleh Opu Daeng Risaju.
Opu Daeng Risaju dalam rapat akbar tersebut terpilih sebagai ketua, sedangkan Mudehang seorang gadis yang masih saudara Opu Daeng Risaju terpilih sebagai sekretaris. Mudehang terpilih sebagai sekretaris merupakan kebutuhan organisasi karena dia seorang wanita tamatan sekolah dasar lima tahun yang tentu saja mampu membaca dan menulis.
Mendapat Tekanan
Setelah resmi PSII berdiri di Palopo, Opu Daeng Risaju kemudian menyebarkan sayap perjuangannya. Cara penyebaran yang ia lakukan yaitu melalui familinya yang terdekat kemudian kepada rakyat kebanyakan. Dalam merekrut anggota PSII di mata rakyat kebanyakan dilakukan dengan cara menyebarkan kartu anggota yang bertuliskan lafadz “Ashadu Alla Ilaaha Illallah”. Dengan menggunakan kartu tersebut aspek ideologi tertanam dalam diri anggota, siapa yang memiliki kartu tersebut (menjadi anggota PSII) berarti dia seorang muslim. Dengan cara seperti ini, perjuangan PSII yang dilakukan oleh Opu Daeng Risaju mendapatkan dukungan yang sangat besar dari rakyat. Selain itu, dukungan dari rakyat ini timbul karena status Opu Daeng Risaju sebagai seorang bangsawan yang cukup kharismatis di mata masyarakat.
Dukungan yang begitu besar terhadap perjuangan Opu Daeng Risaju menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah Belanda dan Kerajaan Luwu. Kegiatan Opu Daeng Risaju dianggap sebagai kekuatan politik yang membahayakan pemerintah Belanda. Melalui Kerajaan Luwu berupaya melakukan tekanan-tekanan terhadap kegiatan Opu Daeng Risaju.
Daerah yang pertama kali menjadi tempat pendirian ranting PSII adalah di Malangke, sebuah kota di sebelah utara Palopo. Di malangke Opu Daeng Risaju mengadakan pendaftaran anggota PSII. Selama lima belas hari Opu Daeng Risaju berada di kota ini. Masyarakat di Malangke begitu antusias menerima kedatangan Opu Daeng Risaju. Apalagi di kota ini banyak famili dekat Opu Daeng Risaju.
Kegiatan Opu Daeng Risaju didengar oleh controleur afdeling Masamba (Malangke merupakan daerah afdeling Masamba). Controleur afdeling Masamba kemudian mendatangi kediaman Opu Daeng Risaju dan menuduh Opu Daeng Risaju melakukan tindakan menghasut rakyat atau menyebarkan kebencian di kalangan rakyat untuk membangkan terhadap pemerintah. Atas tuduhan tersebut, pemerintah kolonial Belanda menjatuhkan hukuman penjara kepada Opu Daeng Risaju selama 13 bulan.
Hukuman penjara tersebut ternyata tidak membuat jera bagi Opu Daeng Risaju. Setelah keluar dari penjara Opu Daeng Risaju semakin aktif dalam menyebarkan PSII. Pada tanggal 1 Maret 1932, Opu Daeng Risaju meresmikan cabang PSII di Malili bersama suaminya Haji Muhammad Daud. Aktiftas Opu Daeng Risaju, di Malili ternyata diawasi juga oleh pemerintah kolonial Belanda. Ketika Opu Daeng Risaju tiba di distrik Patampanua, dalam perjalanannya setelah dari Malili, Opu Daeng Risaju ditangkap kembali oleh Kepada Distrik atas instruksi pemerintah kolonial Belanda. Opu Daeng Risaju, oleh pemerintah kolonial Belanda dianggap sebagai orang yang membahayakan dan perlu diawasi.
Dari distrik Patampanua Opu Daeng Risaju bersama suaminya dibawa ke Palopo melalui jalan laut dengan pengawalan yang cukup ketat. Ketika di bawa ke Palopo, Opu Daeng Risaju dan suaminya diborgol karena dianggap membahayakan. Tindakan Belanda tersebut menimbulkan protes dari salah seorang familinya yang menjadi pejabat pada pemerintahan Kerajaan Luwu, yaitu Opu Balirante. Tindakan Belanda terhadap Opu Daeng Risaju dan suaminya, menurut Opu Balirante merupakan tindakan yang menghina terhadap derajat kebangsawanan yang menempel pada diri Opu Daeng Risaju. Opu Dalirante memprotes kepada pemangku adat Kerajaan Luwu dan pemerintah kolonial Belanda dan mengancam akan mengundurkan diri. Ancaman Opu Balirante tersebut ternyata berhasil meluluhkan pihak kerajaan dan pemerintah Belanda. Opu Daeng Risaju tidak jadi dihukum[2].
Pembelaan yang dilakukan oleh Opu Balirante, ternyata tidak meluluhkan semangat perjuangan Opu Daeng Risaju dalam menyebarkan PSII. Opu Daeng Risaju semakin aktif melakukan kegiatan politiknya. Aktivitas Opu Daeng Risaju sangat tidak disenangi oleh pemerintah Kerajaan Luwu. Opu Daeng Risaju di samping ditekan oleh pemerintah kolonial Belanda, juga ditekan oleh pihak kerajaan sendiri. Dalam pandangan pihak kerajaan, Opu Daeng Risaju sebagai seorang bangsawan yang dekat dengan keluarga kerajaan tidak boleh melakukan kegiatan politik yang dapat mengganggu hubungan antara pemerintah kolonial Belanda dengan Kerajaan Luwu. Waktu itu, Kerajaan Luwu sudah terikat oleh “Korte Werklaring” dengan pemerintah kolonial Belanda. Perjanjian tersebut sesungguhnya merupakan salah satu usaha Belanda untuk mengendalikan Kerajaan Luwu, misalkan pengakatan raja harus sepengetahuan dan persetujuan dari pemerintah kolonial Belanda.
Pemerintah kerajaan Luwu kemudian memanggil Opu Daeng Risaju dan memintanya agar menghentikan kegiatan politiknya. Permintaan kerajaan Luwu tersebut ditolak oleh Opu Daeng Risaju. Bagi Opu Daeng Risaju, kegiatan di PSII merupakan kegiatan dalam rangka mengikuti perintah Tuhan, yaitu “amar ma’ruf nahyil munkar”. Akibat pernolakan tersebut, akhirnya Opu Daeng Risaju disebut gelar kebangsawanannya yaitu gelar “Opu”. Opu Daeng Risaju dipanggil menjadi “Indok” (Ibu) Saju, sebagaimana layaknya rakyat kebanyakan.
Tekanan dari pihak kerajaan bukan hanya pencabutan gelar kebangsawanan. Pihak kerajaan atas kendali Belanda meminta kepasa suami Opu Daeng Risaju yaitu H. Muhammad Daud, agar mau membujuk isterinya menghentikan kegiatannya. Bujukan suaminya ditolak oleh Opu Daeng Risaju, bahkan Opu Daeng Risaju mempersilakan suaminya untuk mancari isteri lain dan Opu siap untuk bercerai. Akibat tekanan ini, akhirnya Opu Daeng Risaju rela bercerai dengan suaminya.
Walaupun sudah mendapat tekanan yang sangat berat baik dari pihak kerajaan dan pemerintah kolonial Belanda, Opu Daeng Risaju tidak menghentikan aktivitasnya. Dia mengikuti kegiatan dan perkembangan PSII baik di daerahnya maupun di tingkat nasional. Pada tahun 1933 Opu Daeng Risaju dengan biaya sendiri berangkat ke Jawa untuk mengikuti kegiatan Kongres PSII. Dia berangkat ke Jawa dengan biaya sendiri dengan cara menjual kekayaan yang ia miliki. Bukanlah hal yang mudah untuk datang ke Jawa pada saat itu, mengingat jarak antara Pulau Jawa dengan Sulawesi sangat jauh.
Kedatangan Opu Daeng Risaju ke Jawa, ternyata menimbulkan sikap tidak senang dari pihak kerajaan. Opu Daeng Risaju kembali dipanggil oleh pihak kerajaan. Dia dianggap telah melakukan pelanggaran dengan melakukan kegiatan politik. Oleh anggota Dewan hadat yang pro-Belanda, Opu Daeng Risaju dihadapkan pada pengadilan adat dan Opu Daeng Risaju dianggap melanggar hukum (Majulakkai Pabbatang). Anggota Dewan Hadat yang pro-Belanda menuntutu agar Opu Daeng Risaju dijatuhi hukuman dibuang atau diselong. Akan tetapi Opu Balirante yang pernah membela Opu Daeng Risaju, menolak usul tersebut. Akhirnya Opu Daeng Risaju dijatuhi hukuman penjara selama empat belas bulan pada tahun 1934[3].
Sebagai orang hukuman, Opu Daeng Risaju harus bekerja di luar penjara seperti orang-orang hukuman lainnya karena tidak mempunyai lagi hak-hak istimewa sebagaimana berlaku bagi bangsawan. Haknya telah dicabut berrsamaan dengan pencopotan gelar kebangsawanannya. Selama dipenjara, Opu Daeng Risaju disuruh mendorong gerobak, bekerja membersihkan jalan di tengah-tengah kota Palopo.
Penggerak Pemberontakan dan Dipenjara NICA
Pada masa pendudukan Jepang Opu Daeng Risaju tidak banyak melakukan kegiatan di PSII. Hal ini dikarenakan adanya larangan dari pemerintah pendudukan Jepang terhadap kegiatan politik Organisasi Pergerakan Kebangsaan, termasuk di dalamnya PSII.
Opu Daeng Risaju kembali aktif pada masa revolusi. Pada masa revolusi di Luwu terjadi pemberontakan yang digerakkan oleh pemuda sebagai sikap penolakan terhadap kedatangan NICA di Sulawesi Selatan yang berkeinginan kembali menjajah Indonesia. Pemicu pemberontakan ini terjadi, ketika tentara NICA menggeledah rumah Opu Gawe untuk mencari senjata, akan tetapi tidak menemukannya. Kemudian tentara NICA menuju ke masjid dan menanyakan orang-orang di dalam masjid, di antaranya seorang Doja (penjaga measjid) yang bernama Tomanjawani. Jawaban dari Tomanjawani tidak memuaskan, sehingga tentara NICA mengobrak-abrik masjid dan menginjak Al Quran, bahkan Tomanjawani sendiri dipukuli karena mencegah tindakan tentara NICA di Masjid[4].
Tindakan tentara NICA tersebut menimbulkan kemarahan rakyat di Luwu. Mengobrak-abrik masjid dan menginjak Al Quran sudah merupakan “siri” bagi orang Sulawesi Selatan. Akhirnya para pemuda memberikan ultimatum kepada tentara NICA yang ada di Palopo agar kembali ke tangsinya, tidak berkeliaran di kota. Ultimatum tersebut tidak diindahkan oleh tentara NICA, yang kemudian berakibat timbulnya konflik senjata yang sangat besar antara tentara NICA dengan para pemuda. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 23 Januari 1946.
Peristiwa 23 Januari 1946 di Palopo kemudian merembet ke kota-kota lainnya. Di kota-kota lain timbul konflik-konflik senjata antara tentara NICA dengan para pemuda. Salah satu kota yang ikut kena imbasnya dari peristiwa 23 Januari 1946 di Palopo adalah Beloppa, kota tempat Opu Daeng Risaju tinggal[5].
Opu Daeng Risaju ketika berada di Belopa memiliki peran besar terhadap upaya perlawanan terhadap tentara NICA. Dia banyak melakukan mobilisasi terhadap pemuda dan memberikan doktrin perjuangan kepada pemuda. Tindakan Opu Daeng Risaju ini membuat NICA berupaya untuk menangkapnya.
Upaya yang dilakukan NICA terhadap Opu Daeng Risaju dengan cara mengeluarkan pengumuman yang berisi persyaratan bahwa barang siapa yang dapat menangkap Opu Daeng Risaju baik dalam keadaan hidup atau mati, akan diberikan hadiah. Akan tetapi tidak ada seorang yang melaksanakan pengumuman Belanda tersebut.
Opu Daeng Risaju melalukan persembunyian dari satu tempat ke tempat lainnya ketika NICA melakukan pengejaran. NICA dapat menangkap Opu Daeng Risaju ketika berada di Lantoro. Opu Daeng Risaju ditangkap dalam persembunyainnya. Kemudian ia dibawa ke Watampone dengan cara berjalan kaki sepanjang 40 km. Opu Daeng Risaju ditahan di penjara Bone dalam satu bulan tanpa diadili kemudian dipindahkan ke penjara Sengkang dan dari sini dibawa ke Bajo.
Ketika berada di Bajo, Opu Daeng Risaju disiksa oleh Kepala Distrik Bajo yang bernama Ladu Kalapita. Opu Daeng Risaju dibawa ke lapangan sepak bola. Dia disuruh berlari mengelilingi tanah lapangan yang diiringi dengan letusan senapan. Setelah itu Opu disuruh berdiri tegap menghadap matahari, lalu Ludo Kalapita mendekatinya dan meletakkan laras senapannya pada pundak Opu yang waktu itu sudah berusia 67 tahun. Kemudian Ludo Kalapita meletuskan senapannya. Akibatnya Opu Daeng Risaju jatuh tersungkur mencium tanah di antara kaki Luda Kalapita dan masih sempat menyepaknya. Opu Daeng Risaju kemudian dimasukkan ke “penjara” semacam tahanan darurat di bawah kolong tanah).
akibat penyiksaan yang dilakukan oleh Ludo Kalapita terhadap Opu Daeng Risaju yaitu Opu enjadi tuli seumur hidup. Seminggu kemudian Opu dikenakan tahanan luar dan beliau tinggal di rumah Daeng Matajang. Tanpa diadili Opu dibebaskan dari tahanan sesudah menjalaninya selama 11 bulan dan kembali ke Bua kemudian menetap di Belopa.
Setelah pengakuan kedahulatan RI tahun 1949, Opu Daeng Risaju pindah ke Pare-Pare mengikuti anaknya Haji Abdul Kadir Daud yang waktu itu bertugas di Pare-Pare. Sejak tahun 1950 Opu Daeng Risaju tidak aktif lagi di PSII, ia hanya menjadi sesepuh dari organisasi itu. Pada tanggal 10 Februari 1964, Opu Daeng Risaju meninggal dunia. Beliau dimakamkan di pekuburan raja-raja Lokkoe di Palopo, tanpa ada upacara kehormatan sebagaimana lazimnya seorang pahlawan yang baru meninggal.
Kesimpulan
Perjuangan Opu Daeng Risaju memiliki dasar nilai budaya yang dipegangnya. Dalam masyarakat Sulawesi Selatan ada sistem nilai budaya yang disebut Siri’ na Pesse. Secara harfiah siri’ berarti malu. Secara kultural siri’ mengandung arti pertama, ungkapan psikis yang dilandasi perasaan malu yang dalam guna berbuat sesuatu hal yang tercela serta dilarang oleh kaidah adat. Kedua, yaitu nilai harga diri yang berarti kehormatan atau disebut martabat. Pessemerupakan padanan kata siri’. Secara harfiah pesse mengandung arti pedih atau perih meresap dalam kalbu karena melihat penderitaan orang lain. Pesse berfungsi sebagai pemersatu, penggalang solidaritas, pembersamaan serta pemuliaan humanitas (‘sipakatau)[6].
Kalaulah dianalisis mengapa perjuangan Opu Daeng Risaju menimbulkan konflik dan kekerasan dengan pemerintah kolonial Belada dan Kerajaan Luwu, dapat dilihat dari sistem nilai budaya lokal yang mendasarinya. Bagi Opu Daeng Risaju aktifnya ia di PSII memiliki nilai pesse. Opu Daeng Risaju melihat penjajahan Belanda di daerahnya menimbulkan kesengsaraan bagi rakyaat. Penderitaan rakyat yang dialaminya, membuat Opu Daeng Risaju merasa terpanggil untuk membelanya dengan cara aktif di PSII.
Perjuangan yang memiliki nilai pesse tersebut ternyata tidak dihargai oleh pemerintahan kerajaan Luwu akibat tekanan dari Belanda. Sikap kerajaan Luwu dan pemerintahan kolonial Belanda dengan melakukan larangan, tekanan sampai pada penangkapan dan pemenjaraan terhadap Opu Daeng Risaju menimbulkan sikap siri’. Aktifitas dan pengangkatan Opu Daeng Risaju di PSII dalam pandangannya merupakan suatu harga diri yang dipertaruhkan.
Opu Daeng Risaju bersikukuh tetap berjuang di PSII karena ia menjunjung tinggi nilai siri’ na pesse dan pada sisi lain kerajaan Luwu dengan kendali Belanda bersikukuh melarang kegiatan Opu Daeng Risaju karena dapat membahayakan tatanan politik pemerintahan, mengakibatkan timbulnya konflik dan kekerasan. Bagi Opu Daeng Risaju perjuangan adalah kemulyaan sedangkan bagi pihak pemerintah kerajaan Luwu dan Belanda, perjuangan Opu Daeng Risaju membahayakan bagi tatanan kekuasaannya.
Daftar Pustaka
Anthon A. Pangerang, et. al. 1986. Sejarah Ringkas Perjuangan Pertahanan Keamanan Rakyat (PKR) Luwu Dalam Membela dan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Luwu: Badan Penggerak Pembina “Angkatan45” Dewan Harian Cabang Kabupaten Luwu.
Lahadjdji Patang, Sulawesi Selatan dan Pahlawan-pahlawannya, Yayasan Generasi Muda Indonesia (YKGMI).
M. Laica Marzuki. 1995. Siri, bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum), Ujung Pandang: Hasanuddin University Press.
Muhammad Arfah. 1991. Opu Daeng Risaju Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan Republik Indonesia. Ujung Pandang: Depdikbud.
Syamsul Alam, “Opu Daeng Risaju Wanta Alam yang Jadi Kaum Pergerakan”, dalam Mimbar Ulama, No. 4. tahun I September 1976.
Sanusi Daeng Mattata. 1967. Luwu Dalam Revolusi. Makassar: Bhakti Baru, hlm. 335.
Sumber:
Makalah dalam Kongres Nasional Sejarah tanggal 28-30 Oktober 2001 di Jakarta.
[1] Muhammad Arfah (1991), Opu Daeng Risaju Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan Republik
[2] Syamsul Alam, “Opu Daeng Risaju Wanita Alam yang Jadi Kaum Pergerakan”, dalam, Mimbar Ulama, No. 4. Tahun I September 1976.
[3] Lahadjidji Patang, Sulawesi Selatan dan Pahlawan-pahlawannya, Yayasan Generasi Muda Indonesia (YKGMI), hlm. 43.
[4] Sanusi Daeng Mattata. 1967. Luwu Dalam Revolusi, Makassar: Bhakti Baru, hlm. 335.
[5] Anthon A. Pangerang, et. al (1986), Sejarah Ringkas Perjuangan Pertahanan Keamanan Rakyat (PKR) Luwu Dalam Membela dan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Luwu: Badan Penggerak Pembina “Angkatan 45” Dewan Harian Cabanga Kabupaten Luwu, hlm. 1.
[6] M. Iaica Marzuki. 1995. Siri, bagian Kesadaran Hukum rakyat Bugis Makassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum), Ujung Pandang Hasanuddin University Press, hlm. 115-133.
Selasa, 05 Oktober 2010
ARSITEKTUR TRADISIONAL SULAWESI SELATAN PUSAKA WARISAN BUDAYA LOKAL INDONESIA
Kebudayaan dan Arsitektur Tradisional.
- Lantai, berdasarkan status penghuninya maka lantai rumah tradisional terdiri dari ; Untuk golongan bangsawan “Arung”,lantai rumah biasanya tidak rata karena adanya “tamping” yang berfungsi sebagai sirkulasi, bahan lantai dari papan. Sedangkan untuk golongan rakyat biasa “Tosama” umumnya rata tanpa tamping. Golongan hamba sahaja “Ata” umumnya dari bambu.
- Dinding untuk bahan penutup digunakan gamacca, papan, dengan sistem konstruksi ikat dan jepit. Konstruksi balok anak,merupakan penahan lantai, dan bertumpu pada balok pallangga lompo/arateng. Jumlahnya ganjil dengan jarak rata-rata 20 hingga 50 cm.
Konsep Mandar
- Konsep ‘pusar’ atau ‘pusat rumah’ sebagai paduan antara kosmologi dan simbolisme
- Dalam perspektif kosmologi, rumah bagi masyarakat Toraja merupakan mikrokosmos, bagian dari lingkungan makrokosmos.
- Pusat rumah meraga sebagai perapian di tengah rumah, ataupun atap menjulang menaungi ruang tengah rumah dimana atap menyatu dengan asap-father sky
- Pusat rumah juga meraga sebagai tiang utama, seperti a’riri possidi Toraja, possi bola di Bugis, pocci balla di Makassar dimana tiang menyatu dengan mother earth
Sumber : Tjahjono, Ed., 1999
- ”Pentiroan Tingayo”, yaitu 2 buah jendela yang terletak dibagian muka rumah menghadap ke utara. Jendela ini dapat terbuka dan tertutup setiap saat.
- ”Pentiroan Matallo”, yaitu jendela yang terletak disebelah timur bangunan, pemasangannya pada tengah bangunan pada ruang tengah. Jendela ini dibuka pada pagi hari dan dibuka terus pada waktu upacara pengucapan syukur.
- ”Pentiroan Mampu’ ”, yaitu jendela yang terletak disebelah barat bangunan. Jendela ini dibuka pada waktu ada upacara pemakaman orang mati.
- ”Pentiroan Pollo’ Banua”, yaitu jendela yang terletak dibelakang rumah menghadap ke selatan. Jendela ini terbuka terus pada waktu upacara kematian atau bila didalamnya ada orang yang sakit.
- Perlu upaya memahami esensi masing-masing nilai kearifan lokal untuk dilestarikan sebagai warisan budaya.
- Perlu upaya memahami substansi masing-masing nilai kearifan lokal untuk dikembangkan ke dimensi kekinian, seiring dengan perubahan waktu dan kemajuan teknologi yang bergerak ke masa depan.
- Bahwa mempertahankan jatidiri dan karakter etnis lokal amatlah penting di tengah deraan arus modernisasi dan kecenderungan universalisasi. Hal tersebut dapat ikut ditransformasikan melalui kesadaran akan keunggulan budaya yang dimiliki.
- Hidup dan kehidupan memang berhak terus berkembang seiring zamannya, namun perubahan lingkungan strategis etnis yang mengadopsi kearifan-kearifan lokal perlu pula terus ikut diperhitungkan dan dipertahankan guna menjadi roh bagi pengembangan sekaligus dan meningkatkan ketahanan arsitektur berciri tradisional.
- Abbas, Ibrahim (1999), Pendekatan Budaya Mandar.
- Hamid, Abu (1986). Bingkisan Budaya Sulawesi Selatan. Makassar : Antropologi Unhas.
- Budi Santoso (1997), Pembangunan Nasional Indonesia dengan Berbagai Persoalan Budaya dalam Masyarakat Majemuk.
- Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Selatan (2005), Informasi dan Potensi Investasi Pariwisata Sulawesi Selatan
- Djauhari Sumintardja (1998), Kompendium Sejarah Arsitektur
- Djauhari Sumintardja (1988), The House in Tana Toraja (Traditional Housing in Indonesia).
- Faisal (2007), Arsitetur Tradisional Mandar Provinsi Sulawesi Barat
- Josef Prijotomo (1988), Pasang surut arsitektur di Indonesia
- Koentjaraningrat (1993), Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan
- Kostof, S. (1991), A History of Architecture. Rituals and Settings.
- Mangunwijaya,YB, (1992) Wastu Citra, Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-sendi Filsafatnya Beserta Contoh-contoh Praktis. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
- Mattulada (1982), Geografi Budaya Daerah Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Depdikbud
- Nasrul Baddu (1990), Rumah tradisional Bugis Makassar
- Ronald Arya (2005), Nilai-nilai Arsitektur Tradisional Jawa
- Rudofsky, B. 1964. Architecture Without Architects.
- Sampebulu, DR, Ir, M.Eng, (1990), Tradisionalisme dalam arsitektur masa kini
- Saliya Yuswadi, Ir, M.Arch, (1992), Ragam Hias dalam arsitektur Tradisional Toraja
- Sachary, A. (2005). Pengantar Metodologi Penelitian Budaya Rupa. Desain, Arsitektur, Seni Rupa, dan Kriya.
- Tangdilintin, LT, (1979), Tongkonan (Rumah adat Toraja) dengan struktur seng dan konstruksinya.
- Tjahjono, G. Editor. (2001). Indonesian Heritage. Vol. 6. Architecture.
- Tuan, Y.F. (1974).Topophilia. A Study of Environmental Perception, Attitudes, and Values.
- Tang, Mahmud (1998), Reaktualisasi Nilai-nilai budaya Bugis Makassar dalam Kehidupan Sosial Pada Era Revormasi.
- Rinwar Karim, Muktahim, Adnin Sakti, (1992), Arsitektur tradisional Bugis Makassar.
- Yudono Ananto, Prof, DR, Ir, MSc, (2008) Kearifan arsitektur tradisional rumah panggung dalam hunian modern.