Assalamu Alaikum Warahmatullahi wabarakatuh ....Salam persahabatan dan selamat berkunjung di Blog ini. Blog ini adalah media saya untuk mengisi waktu luang disaat saya jenuh dengan tugas-tugas kedinasan. Maklum profesi saya sebagai abdi negara yang selalu menghadapi rutinitas kerja yang tidak pernah selesai. Semoga Blog ini dapat bermanfaat bagi para pengunjung sekalian...Wassalam

Rabu, 13 Oktober 2010

Visi - Misi Kabupaten Luwu Utara

Paradigma baru pembangunan memandang pertumbuhan ekonomi bukan merupakan satu-satunya tujuan, akan tetapi lebih merupakan proses untuk mencapai tujuan pembangunan daerah itu sendiri secara maksimal dengan memperhatikan potensi daerah secara obyektif serta visi kabupaten. Visi yang dicita-citakan kedepan akan bertumpu pada upaya meletakkan landasan pembangunan yaitu :

V i s i :

Mewujudkan masyarakat luwu utara yang religius, maju, sejahtera dan mandiri diatas landasan agribisnis dan ekonomi kerakyatan

M i s i :

1. Meningkatkan Pelaksanaan Fungsi-fungsi Pemerintah

a. Meningkatkan fungsi dan peran kelembagaan daerah serta tata
organisasi Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan
pembangunan secara mandiri.
b. Mewujudkan kemitraan pembangunan, dengan merajut jalinan
kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat,
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Pemerintah Kabupaten/
Kota se Provinsi dan dengan Provinsi lainnya; antara Pemerintah
Daerah dengan masyarakat, swasta/pengusaha/pebisnis,
dan LSM dalam lingkup wilayah Kabupaten Luwu Utara secara
luas dalam upaya menumbuhkan perekonomian, pemerataan
kutub-kutub ekonomi wilayah dan pertumbuhan wilayah
secara umum.
c. Meningkatkan kemandirian keuangan dan pembiayaan
pembangunan khususnya dalam meraih PAD.
d. Mewujudkan pemerintah yang bersih dan baik, sehingga
kepercayaan masyarakat akan semakin meningkat pula.
e. Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
f. Mewujudkan stabilitas kehidupan sosial politik dan sosial budaya
yang dinamis dalam mendorong partisipasi
aktif/peran serta masyarakat dalam kehidupan demokrasi.
g. Merealisasikan fungsi komunikasi yang cepat dan optimal dalam
pembangunan sebagai akses responsif terhadap masyarakat
melalui penyediaan infrastruktur teknologi informasi yang memadai.

2. Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia.

a. Meningkatkan kualitas aparatur PEMDA, masyarakat dan swasta/
pengusaha dalam sektor pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan.
b. Memiliki kecerdasan spiritual (“Spiritual Quation”), Kecerdasan
Intelektual (“Intelectual/Inteligencial Quation”), dan
Kecerdasan Emosional (“Emotional Quation”) sebagai syarat
kemampuan kepemimpinan dan managerial/pengaturan menjadi
andalan pembangunan daerah, baik ditingkat legislatif, eksekutif,
yudikatif, dan kalangan masyarakat sendiri secara luas.
c. Meningkatkan kualitas hidup kepemudaan dan keolahragaan.
d. Mengendalikan pertumbuhan penduduk dengan Program Keluarga
Berencana, pemerataan persebaran penduduk berbasis keberadaan
Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Buatan yang dapat
dikembangkan.
e. Menumbuhkembangkan kegiatan pelestarian norma dan nilai-nilai
budaya daerah yang menunjang pelaksanaan pembangunan
daerah.

3. Meningkatkan Pemanfaatan Sumber Daya Alam.

a. Mengembangkan Sistem AGRIBISNIS dengan melakukan kerjasama
dalam permodalan dan pemasaran serta membangun keunggulan
pewilayahan komoditas pertanian, perkebunan dan perhutanan.
b. Mengembangkan produksi dan pemasaran komoditas perikanan
laut maupun perikanan darat.
c. Meningkatkan eksplorasi dan eksploitasi Sumber Daya Mineral dan
Sumber Daya Energi dan bahan galian lainnya.
d. Meningkatkan pemantauan/pengendalian pengelolaan lingkungan
hidup.
e. Meningkatkan Sumber Daya Alam yang terkait dengan potensi objek-
objek dan daerah tujuan wisata, khususnya wisata alam.
f. Meningkatkan kuantitas dan kualitas perencanaan dibidang
perkebunan.
g. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pemanfaatan Sumber Daya
Hutan, khususnya hasil hutan nirkayu secara optimal dan
berwawasan lingkungan.
h. Membina kelembagaan Pemerintah dan Masyarakat dalam
pergerakan hukum pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Pelestarian Lingkungan Hidup.
i. Mengembangkan sistem pengelolaan, penanggulangan dan
mitigasi bencana alam.
j. Meningkatkan manajemen lahan kritis diareal kawasan hutan
dan perkebunan.

4. Meningkatkan Penerimaan/Pendapatan Asli Daerah (PAD)

a. Mengembangkan kerjasama tripartit kemitraan seperti telah
diuraikan sebelumnya antara Pemerintah – Businessman/
pengusaha – LSM dalam membangun Sistem Investasi.
b. Meningkatkan produktivitas dari kegiatan ON FARM – OFF FARM,
distribusi dan pemasaran dari komoditas unggulan yang dimiliki.
c. Mengembangkan industri kerajinan dan produk unggulan daerah.
d. Meningkatkan promosi dan laju investasi dengan mengutamakan
keunggulan komparatif dan kompetitif daerah.
e. Meningkatkan dan mengembangkan kualitas dan kuantitas tenaga
kerja yang trampil yang siap memasuki bursa lapangan kerja.
f. Meningkatkan intensifikasi, ekstensifikasi, eksploitasi dan
rehabilitasi kegiatan ekonomi.
g. Meningkatkan kualitas dan kuantitas perencanaan dan pembangunan
infrastruktur perhubungan yang memudahkan mobilisasi barang dan
jasa yang bernilai secara ekonomi.
h. Meningkatkan promosi dan investasi dibidang kepariwisataan.
i. Mendekatkan antara produk bahan baku dengan industri
pengolahan, sehingga dapat terjadi penyerapan tenaga kerja
dan timbulnya peluang usaha baru dipedesaan.
j. Meningkatkan kemudahan pelayanan perizinan bagi INVESTASI.
k. Mengembangkan pajak dan retribusi daerah.
l. Mendirikan Badan Usaha Milik Daerah.

IKLIM

Iklim dan Curah Hujan
Secara umum Kabupaten Luwu Utara beiklim tropis basah, terbagi atas 2 musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau.
Intensitas curah hujan Kota Masamba termasuk tinggi, hal ini berdasarkan data curah hujan yang dicatat di Sta. Baliase dan Sta. Sukamaju dengan curah hujan berkisar antara 2000 – 4000 mm pertahun. Suhu udara rata-rata berkisar antara 30,6oC-31,6oC pada musim kemarau dan antara 25oC-28oC pada musim penghujan.
Berdasarkan tipe iklim oldeman, wilayah Kabupaten Luwu Utara umumnya memiliki tipe iklim B1 dan B2, dengan perincian sebagai berikut :
Tabel 2
Sebaran Iklim dan Curah hujan Kabupaten Luwu Utara

No
Kecamatan Tipe Iklim Curah Hujan mm / Tahun Keterangan (Bulan)
1 Sabbang B1 3000 – 3500 Kering 2 Bln, Basah 7 – 9 Bln
2 Baebunta B1 3000 – 3500 Kering 2 Bln, Basah 7 – 9 Bln
3 Masamba B1 2500 – 3000 Kering 2 Bln, Basah 7 – 9 Bln
4 Mappedeceng B 2500 – 3000 Kering 2 Bln, Basah 7 – 9 Bln
5 Seko B1 2000 – 2500 Kering 2 Bln, Basah 7 – 9 Bln
6 Limbong B1-B2 2000 – 2500 Kering 2–4 Bln, Basah 7-9 Bln
7 Rampi B1 2500 – 3000 Kering 2 Bln, Basah 7 – 9 Bln
8 Malangke B1 3000 – 3500 Kering 2 Bln, Basah 7 – 9 Bln
9 Malangke Barat B1 3000 – 3500 Kering 2 Bln, Basah 7 – 9 Bln
10 Sukamaju B1 3000 – 3500 Kering 2 Bln, Basah 7 – 9 Bln
11 Bone-Bone B1 3000 – 3500 Kering 2 Bln, Basah 7 – 9 Bln
Sumber : BPS Kabupaten Luwu Utara, 2002

Kondisi Geografis Luwu Utara

Posisis geografis, Topografi, Geologi, Hidrologi dan Jenis Tanah

Posisi Geografi
Masamba sebagai Ibukota Kabupaten berjarak 430 Km kearah utara dari Kota Makassar. Letak Geografis Luwu Utara yaitu 2o30’45”–2o37’30”LS dan 119o41’15”–121o43’11”. Secara geografis berbataskan, Provinsi Sulawesi Tengah di bagian utara, sebelah timur Kabupaten Luwu Timur, selatan dengan Kabupaten Luwu dan Teluk Bone serta sebelah barat Kabupaten Mamuju dan Tator, sehingga Kabupaten Luwu Utara merupakan simpul dari Propinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan.

Topografi
Berdasarkan kondisi topografinya Kabupaten Luwu Utara terbagi dalam beberapa morfologi bentuk lahan. Kondisi ini dapat dijelaskan melalui persebaran kelas lereng Kabupaten Luwu Utara. Secara keseluruhan persebaran kelas lereng Kabupaten Luwu Utara dapat dilihat pada tabel 3 di halaman berikut :

Tabel 3
Kelas Lereng dan Ketinggan tiap Kecamatan di Kab. Luwu Utara
No
Kecamatan Kelas Lereng (%) Ketinggian (dpl) Keterangan Fisik Lahan
1 Sabbang 8 – 15 25 – 100 Bergelombang
2 Baebunta 8 – 15 25 – 100 Bergelombang
3 Masamba 3 – 15 25 – 100 Landai & Bergelombang
4 Mappedeceng 3 – 15 25 – 100 Landai & Bergelombang
5 Seko 15 – 30 > 1000 Berbukit
6 Limbong 15 – 30 500 – 1000 Berbukit
7 Rampi > 30 > 1000 Curam
8 Malangke 0 – 8 0 – 100 Landai
9 Malangke Barat 0 – 8 0 – 100 Landai
10 Sukamaju 0 – 15 25 – 100 Landai & Bergelombang
11 Bone-Bone 0 – 8 0 – 100 Landai
Sumber : BPS Kabupaten Luwu Utara, 2002


Geologi
Kondisi geologi Kabupaten Luwu Utara dapat ditelusuri dari batuannya. Secara spasial kondisi geologi dapat dilihat stratigrafi batuan yang ada di Kabupaten Luwu Utara seperti tabel berikut :
Tabel 4
Wilayah Cakupan Kondisi Geologi
No
Jenis Batuan Wilayah Cakupan Keterangan
1 Alluvium & Coastal Deposit Baebunta,Malangke, Mlk. Barat, Bone-Bone, Sukamaju Liatmarin, pasir, kerikil & terumbu karang
2 Batuan Endapan Dana Rampi, Limbong & seko Pasir, liat dan kerikil
3 Celebes Molasse Sukamaju & Bone-Bone Konglomerat, standstone, Claystone & Marl Berkapur
4 Intrusive Rock (Batuan Intrusif) Mappedeceng dan Rampi Diorit, porphyry, syenit, trachyte, gabro, adamilit, monzonit, phonolit, dolerit & kentalenit
5 Batuan Vulkanik Seko Basaltic spilitic, calc-alkaline, breccia, tuff, lava & pillow lava
Sumber : BPS Kabupaten Luwu Utara, 2002


Hidrologi
Kondisi hidrologi Kabupaten Luwu Utara sangat berkaitan dengan tipe iklim dan kondisi geologi yang ada. Kondisi hidrologi permukaan ditentukan oleh sungai – sungai yang ada yang umumnya berdebit kecil oleh karena sempitnya daerah aliran sungai sebagai wilayah tadah hujan (catchment area) dan sistem sungainya. Kondisi tersebut diatas menyebabkan banyaknya aliran sungai yang terbentuk
Air tanah bebas (watertable groundwater) dijumpai pada endapan alluvial dan endapan pantai. Kedalaman air tanah sangat bervariasi tergantung pada keadaan medan dan jenis lapisan batuan. Ada beberapa sungai utama di wilayah Kabupaten yang berfungsi sebagai catchment area, sebagaimana dijelaskan pada tabel berikut :
Tabel 5
Daftar Sungai dan Daerah Alirannya
No
Sungai Daerah Aliran Panjang (Km) Daerah Tangkapan (Km)
< 100 m > 100 m Total
1 Rongkong Sabbang, Baebunta, 85 1.245,2 423,8 1.669,0
2 Baebunta Baebunta, Masamba 48 96,8 281,1 377,9
3 Masamba Masamba 55 102,2 203,7 305,9
4 Baliase Masamba, Baliase 95 826,3 172,6 998,9
5 Lampuawa Bone-Bone 34 56,5 115,6 172,1
6 Kanjiro Bone-Bone 41 111,3 92,2 203,5
7 Bone-Bone Bone-Bone 20 64,1 57,6 121,7
8 Bungadidi Bone-Bone 20 80,9 29,0 109,9
Sumber : Map of South Sulawesi, 1981 (United Kingdom & Departement of General worker Indonesia)

Sistem aliran hidrologi di Kabupaten Luwu Utara menunjukkan bahwa pergerakan air, baik air permukaan maupun air tanah, langsung menuju arah laut. Aquifer umumnya terdapat pada lapisan pasir, kerikil dan lapisan tipis batu gamping.
Salah satu keunggulan dari sistem sungai-sungainya adalah kondisi airnya yang masih jernih dan bening sehingga sangat baik untuk dijadikan tempat rekreasi
Sumber daya air khususnya air permukaan sangat melimpah di daerah Luwu Utara. Sebagian kecil dari potensi air permukaan telah dimanfaatkan untuk pengembangan irigasi, pembangkit listrik dan budidaya perikanan. Potensi air tanah dangkal terbatas di daerah dataran rendah.


Jenis Tanah
Persebaran jenis tanah di Kabupaten Luwu Utara dipengaruhi oleh jenis batuan, iklim dan geomorfologi lokal, sehingga perkembangannya ditentukan oleh tingkat pelapukan batuan kawasan tersebut. Kualitas tanah mempunyai pengaruh besar terhadap intensitas penggunaan lahannya. Tanah-tanah yang sudah berkembang horisonnya akan semakin intensif pemanfaatannya terutama untuk kegiatan pertanian dan perkebunan. Kualitas tanah dan penyebarannya ini akan sangat berpengaruh dalam pengembangan wilayah ini, hal mana terkait dengan prinsip pemanfaatan lahan yang berdasarkan kesesuaian daya tampung dan daya dukung lahannya.


Tabel 6
Jenis – jenis tanah yang ada di Kabupaten Luwu Utara
No
Jenis Tanah Wilayah Cakupan Keterangan
1 Inceptisol Malangke, Malangke Barat, Bone-Bone, Sukamaju Liat marin
2 Ultisol Limbong & seko Liat, reaksi masam
3 Entisol Malangke, Malangke Barat & Bone-Bone Jenuh air
Sumber : BPS Kabupaten Luwu Utara, 2002

Peta Administrasi Luwu Utara


Makna Lambang



DESKRIPSI MAKNA LAMBANG LUWU UTARA

Bintang Menggambarkan Ketuhanan Yang Maha Esa masyarakat Luwu Utara yang religius
Payung Maejae Simbol Kekuasaan tertinggi raja Luwu yang (payung peroe) melambangkan kemanunggalan (masedi siri) antara pemerintah dan seluruh kornponen masyarakat Luwu Utara dan sekaligus simbol "pengayoman".
Padi dan kapas Simbol kesejahteraan bagi masyarakat Luwu Utara yang cukup sandang dan pangan.
Besi Pakkae Simbol kekuasaan raja Luwu maknanya adalah kesejahteraan egalitarian antara seluruh komponen masyarakat.
Pohon sagu Simboi kerukunan, kekokohan, ketegaran masyarakat Luwu Utara.
Wadah gambar Simbol dasar negara, wadah dalam kehidupan bersudut lima bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pita Simbol pengikat persaudaman.
Payung dan besi Menggambarkan masyarakat Luwu Utara yang pakkae bermasyarakat dan berbudaya.

SEJARAH SINGKAT TERBENTUKNYA KAB. LUWU UTARA

Pada tahun 1999, saat awal bergulirnya Reformasi di seluruh wilayah Republik Indonesia, dimana telah dikeluarkannya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan di Daerah, dan mengubah mekanisme pemerintahan yang mengarah pada Otonomi Daerah.

Tepatnya pada tanggal 10 Pebruari 1999, oleh DPRD Kabupaten Luwu mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 03/Kpts/DPRD/II/1999 tentang Usul dan Persetujuan Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu yang dibagi menjadi dua Wilayah Kabupaten dan selanjutnya Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel menindaklanjuti dengan Surat Keputusan No.136/776/OTODA tanggal 12 Pebruari 1999. Akhirnya pada tanggal 20 April 1999, terbentuklah Kabupaten Luwu Utara ditetapkan dengan UU Republik Indonesia No.13 Tahun1999.

Pada awal pembentukannya, Kabupaten Luwu Utara dengan batas Saluampak Kec. Sabbang sampai dengan batas Propinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, terdiri dari 19 Kecamatan, yaitu:

1. Kec. Sabbang
2. Kec. Pembantu Baebunta
3. Kec. Limbong
4. Kec. Pembantu Seko
5. Kec. Malangke
6. Kec. Malangkebarat
7. Kec. Masamba
8. Kec. Pembantu Mappedeceng
9. Kec. Pembantu Rampi
10. Kec. Sukamaju
11. Kec. Bone-bone
12. Kec. Pembantu Burau
13. Kec. Wotu
14. Kec. Pembantu Tomoni
15. Kec. Mangkutana
16. Kec. Pembantu Angkona
17. Kec. Malili
18. Kec. Nuha
19. Kec. Pembantu Towuti

Pada tahun 2003, di usianya yang ke-4, Kabupaten Luwu Utara dimekarkan menjadi dua kabupaten yaitu Kabupaten Luwu Timur yang disahkan dengan UU Nomor 7 Tahun 2003 pada tanggal 25 Februari 2003. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 6.944,98 km2, dengan Kecamatan masing-masing:
1. Angkona
2. Burau
3. Malili
4. Mangkutana
5. Nuha
6. Sorowako
7. Tomoni
8. Tomoni Utara
9. Towuti
10. Wotu

Dengan demikian, pasca pemekaran tersebut Kabupaten Luwu Utara terdiri dari sebelas kecamatan masing-masing Kecamatan Sabbang, Kecamatan Baebunta, Kecamatan Limbong, Kecamatan Seko, Kecamatan Masamba, Kecamatan Rampi, Kecamatan Malangke, Kecamatan Malangke Barat, Kecamatan Mappedeceng, Kecamatan Sukamaju dan Kecamatan Bone Bone

Kondisi Wilayah Luwu Utara

Kabupaten Luwu utara yang dibentuk berdasarkan UU No. 19 tahun 1999 dengan ibukota Masamba merupakan pecahan dari Kabupaten Luwu. Saat pembentukannya daerah ini memiliki luas 14.447,56 Km2 dengan jumlah penduduk 442. 472 Jiwa. Dengan terbentuknya kabupaten Luwu Timur maka saat ini luas wilayahnya adalah 7.502,58 Km2. Secara administrasi terdiri 11 kecamatan 167 desa dan 4 kelurahan. Penduduknya (2003) berjumlah 250.111 jiwa. (50.022 KK) yang sebagian besar (80,93%) bermata pencaharian sebagai petani, namun kontribusi sektor ini terhadap PDRB Kabupaten Luwu Utara pada tahun 2003 hanya 33,31% atau sebanyak 4,06 triliun.
Tabel 1
Luas dan Pembagian Daerah Administrasi Kab. Luwu Utara
Kec Luas (Km2) Persentase Jumlah Wilayah Perdesaan Jumlah Wilayah Perkotaan
Sabbang 525.08 7.00 20 0
Baebunta 295.25 3.94 20 0
Malangke 350.00 4.67 14 0
Malangke Barat 93.75 1.25 13 0
Sukamaju 255.48 3.41 25 0
Bone-Bone 277.33 3.70 20 0
Masamba 1068.85 14.25 15 4
Mappedeceng 275.50 3.67 15 0
Rampi 1565.65 20.87 6 0
Limbong 685.50 9.15 7 0
Seko 2109.19 28.11 12 0
Kab. Luwu Utara 7502.58 100.00 167 4
Sumber : BPS Kabupaten Luwu Utara, 2002

Kamis, 07 Oktober 2010

Sejarah Tana Luwu

Sejarah Tanah Luwu sudah berawal jauh sebelum masa pemerintahan Hindia Belanda bermula. Sebelumnya Luwu telah menjadi sebuah kerajaan yang mewilayahi Tanah Toraja (Makale, Rantepao) Sulawesi Selatan, Kolaka (Sulawesi Tenggara) dan Poso (Sulawesi Tengah). Hal sejarah Luwu ini dikenal pula dengan nama tanah Luwu yang dihubungkan dengan nama La Galigo dan Sawerigading.

Setelah Belanda menundukkan Luwu, mematahkan perlawanan Luwu pada pendaratan tentara Belanda yang di tantang oleh hulubalang Kerajaa Luwu Andi Tadda bersama dengan laskarnya di Ponjalae pantai Palopo pada tahun 1905. Belanda selanjutnya mebangun sarana dan prasarana untuk memenuhi keperluan pemerintah penjajah di seluruh wilayah kerajaan Luwu mulai dari Selatan, Pitumpanua ke Utara Poso. Dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) ke Barat Tator. Pada Pemerintahan Hindia Belanda, sistem pemerintahan di Luwu dibagi atas dua tingkatan pemerintahan, yaitu:

* Pemerintahan tingkat tinggi dipegang langsung oleh Pihak Belanda.
* Pemerintahan tingkat rendah dipegang oleh Pihak Swapraja.

Dengan terjadinya sistem pemerintahan dualisme dalam tata pemerintahan di Luwu pada masa itu, pemerintahan tingkat tinggi dipegang oleh Hindia Belanda, dan yang tingkat rendah dipegang oleh Swapraja tetapi tetap masih diatur oleh Belanda, namun secara de jure Pemerintahan Swapraja tetap ada. Menyusul setelah Belanda berkuasa penuh di Luwu, maka wilayah Kerajaan Luwu mulai diperkecil, dan dipecah sesuai dengan kehendak dan kepentingan Belanda, yaitu:

* Poso (yang masuk Sulawesi Tengah sekarang) yang semula termasuk daerah Kerajaan Luwu dipisahkan, dan dibentuk satu Afdeling.
* Distrik Pitumpanua (sekarang Kecamatan Pitumpanua dan Keera) dipisah dan dimasukkan kedalam wilayah kekuasaan Wajo.
* Kemudian dibentuk satu afdeling di Luwu yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Palopo.

Selanjutnya Afdeling Luwu dibagi menjadi 5 (lima) Onder Afdeling, yaitu:

* Onder Afdeling Palopo, dengan ibukotanya Palopo.
* Onder Afdeling Makale, dengan ibukotanya Makale.
* Onder Afdeling Masamba, dengan ibukotanya Masamba.
* Onder Afdeling Malili, dengan ibukotanya Malili.
* Onder Afdeling Mekongga, dengan ibukotanya Kolaka.

Selanjutnya pada masa pendudukan tentara Dai Noppong, Pemerintah Jepang tidak merubah sistem pemerintahan, yang diterapkan tentara Dai Noppon pada masa berkuasa di Luwu (Tahun 1942), pada prinsipnya hanya meneruskan sistem pemerintahan yang telah diterapkan oleh Belanda, hanya digantikan oleh pembesar-pembesar Jepang. Kedudukan Datu Luwu dalam sistem pemerintahan Sipil, sedangkan pemerintahan Militer dipegang oleh Pihak Jepang. Dalam menjalankan Pemerintahan Sipil, Datu Luwu diberi kebebasan, namun tetap diawasi secara ketat oleh pemerintahan Militer Jepang yang sewaktu-waktu siap menghukum pejabat sipil yang tidak menjalankan kehendak Jepang, dan yang menjadi pemerintahan sipil atau Datu Luwu pada masa itu ialah " Kambo Opu Tenrisompa" kemudian diganti oleh putranya "Andi Jemma" .

Pada bulan April 1950 Andi Jemma dikukuhkan kembali kedudukannya sebagai Datu/Pejuang Luwu dengan wilayah seperti sediakala. Afdeling luwu meliputi lima onder Afdeling Palopo: Masamba, Malili, Tanatoraja atau Makale, Rantepao dan Kolaka. Tahun 1953 Andi Jemma Datu Luwu diangkat menjadi Penasehat Gubernur Sulawesi, waktu itu Sudiro. Ketika Luwu dijadikan Pemerintahan Swapraja, Andi Jemma diangkat sebagai Kepala Swapraja Luwu, pada tahun 1957 hingga 1960.

Atas jasa-jasan beliau terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia, Andi Jemma telah dianugerahi Bintang Gerilya tertanggal 10 November 1958, Nomor 36.822 yang ditandatangani Presiden Soekarno. Pada masa periode kepemimpinan Andi Jemma sebagai Raja atau Datu Luwu terakhir, sekaligus menandai berakhirnya sistem pemerintahan Swatantra (Desentralisasi). Belasan tanda jasa kenegaraan Tingkat Nasional telah diberikan kepada Andi Jemma sebelum beliau wafat tanggal 23 Februari 1965 di Kota Makassar. Presiden Soekarno memerintahkan agar Datu Luwu dimakamkan secara Kenegaraan di ‘Taman Makam Pahlawan’ Panaikang Makassar, yang dipimpin langsung oleh Panglima Kodam Hasanuddin.

Selanjutnya pada masa setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, secara otomatis Kerajaan Luwu berintegrasi masuk ke dalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditandai dengan adanya pernyataan Raja Luwu pada masa itu Andi Jemma yang antara lain menyatakan "Kerajaan Luwu adalah bagian dari Wilayah Kesatuan Republik Indonesia".

Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.34/1952 tentang Pembubaran Daerah Sulawesi Selatan bentukan Belanda/Jepang termasuk Daerah yang berstatus Kerajaan. Peraturan Pemerintah No.56/1951 tentang Pembentukan Gabungan Sulawesi Selatan. Dengan demikian daerah gabungan tersebut dibubarkan dan wilayahnya dibagi menjadi 7 tujuh daerah swatantra. Satu di antaranya adalah daerah Swatantra Luwu yang mewilayahi seluruh daerah Luwu dan Tana Toraja dengan pusat Pemerintahan berada di kota Palopo.

Berselang beberapa tahun kemudian, Pemerintah Pusat menetapkan beberapa Undang-Undang Darurat, antara lain: - Undang-Undang Darurat No.2/1957 tentang Pembubaran Daerah Makassar, Jeneponto dan Takalar. - Undang-Undang Darurat No. 3/1957 tentang Pembubaran Daerah Luwu dan Pembentukan Bone, Wajo dan Soppeng. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 4/1957, maka Daerah Luwu menjadi daerah Swatantra dan terpisah dengan Tana Toraja.

Daerah Swatantra Luwu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Darurat No.3/1957 adalah meliputi:

* Kewedanaan Palopo
* Kewedanaan Masamba dan
* Kewedanaan Malili.

Kemudian pada tanggal 1 Maret 1960 ditetapkan PP Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pembentukan Propinsi Administratif Sulawesi Selatan mempunyai 23 Daerah Tingkat II, salah satu diantaranya adalah Daerah Tingkat II Luwu.

Untuk menciptakan keseragaman dan efisiensi struktur Pemerintahan Daerah, maka berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.1100/1961, dibentuk 16 Distrik di Daerah Tingkat II Luwu, yaitu: - Wara - Larompong - Suli - Bajo - Bupon - Bastem - Walenrang - Limbong - Sabbang - Malangke - Masamba - Bone-bone - Wotu - Mangkutana - Malili - Nuha

Dengan 143 Desa gaya baru. Empat bulan kemudian, terbit SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.2067/1961 tanggal 18 Desember 1961 tentang Perubahan Status Distrik di Sulawesi Selatan termasuk di Daerah Tingkat II Luwu menjadi kecamatan. Dengan berpedoman pula pada SK tersebut, maka status Distrik di Daerah Tingkat II Luwu berubah menjadi kecamatan dan nama-nama kecamatannya tetap berpedoman pada SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No. 1100/1961 tertanggal 16 Agustus 1961, dengan luas wilayah 25.149 km2.

Perkembangan dari segi Administratif Pemerintahan di Dati II Luwu, selain pemekaran kecamatan, desa dan kelurahan juga ditetapkannya Dati II Luwu sebagai salah satu Kota Administratip (KOTIP) berdasarkan SK Mendagri No.42/1986 tanggal 17 September 1986.

Dengan demikian secara Administratif Dati II Luwu terdiri dari satu Kota Administratip, tiga Pembantu Bupati, 21 Kecamatan Definitif, 13 Kecamatan Perwakilan, 408 Desa Definitif, 52 Desa Persiapan dan Kelurahan dengan luas wilayah berdasarkan data dari Subdit Tata Guna Tanah Direktorat Agraria Propinsi Sulawesi Selatan adalah 17.791,43 km2 dan dikuatkan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sulawesi Selatan Nomor 124/III/1983 tanggal 9 Maret 1983 tentang penetapan luas propinsi, kabupaten/kotamadya dan kecamatan dalam wilayah propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.

Luas Wilayah Propinsi Kabupaten/Kotamadya dan Kecamatan yang ada sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan nyata di lapangan oleh karena telah terjadi penyempurnaan batas wilayah antar propinsi di Sulawesi Selatan, maka melalui kerjasama Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sul-Sel dan Topografi Kodam VII Wirabuana, Pemerintah Propinsi Tingkat I Sulawesi Selatan telah berhasil menyusun data tentang luasn wilayah propinsi, kabupaten/ kotamadya dan kecamatan di daerah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel Nomor : SK.164/IV/1994 tanggal 4 April 1994. Total luas wilayah Kabupaten Luwu adalah 17.695,23 km2 dengan 21 kecamatan definitif dan 13 Kecamatan Pembantu.

Pada tahun 1999, saat awal bergulirnya Reformasi di seluruh wilayah Republik Indonesia, dimana telah dikeluarkannya UU No.22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan di Daerah, dan mengubah mekanisme pemerintahan yang mengarah pada Otonomi Daerah.

Tepatnya pada tanggal 10 Februari 1999, oleh DPRD Kabupaten Luwu mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 03/Kpts/DPRD/II/1999, tentang Usul dan Persetujuan Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu yang dibagi menjadi dua Wilayah Kabupaten dan selanjutnya Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel menindaklanjuti dengan Surat Keputusan No.136/776/OTODA tanggal 12 Februari 1999. Akhirnya pada tanggal 20 April 1999, terbentuklah Kabupaten Luwu Utara ditetapkan dengan UU Republik Indonesia No.13 Tahun1999.

Pemekaran Wilayah Kabupaten Dati II Luwu terbagi atas:

I. Kabupaten Dati II Luwu dengan batas Saluampak Kec. Lamasi dengan batas Kabupaten Wajo dan Kabupaten Tator, dari 16 kecamatan, yaitu: - Kec.Lamasi - Kec.Walenrang - Kec.Pembantu Telluwanua - Kec.Warautara - Kec.Wara - Kec.Pembantu Waraselatan - Kec.Bua - Kec.Pembantu Ponrang - Kec.Bupon - Kec.Bastem - Kec. Pemb. Latimojong - Kec.Bajo - Kec.Belopa - Kec.Suli - Kec.Larompong - Kec.Pembantu Larompongselatan

II. Kabupaten Luwu Utara dengan batas Saluampak Kec. Sabbang sampai dengan batas Propinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, terdiri dari 19 Kecamatan, yaitu:

1. Kec. Sabbang
2. Kec. Pembantu Baebunta
3. Kec. Limbong
4. Kec. Pembantu Seko
5. Kec. Malangke
6. Kec. Malangkebarat
7. Kec. Masamba
8. Kec. Pembantu Mappedeceng
9. Kec. Pembantu Rampi
10. Kec. Sukamaju
11. Kec. Bone-bone
12. Kec. Pembantu Burau
13. Kec. Wotu
14. Kec. Pembantu Tomoni
15. Kec. Mangkutana
16. Kec. Pembantu Angkona
17. Kec. Malili
18. Kec. Nuha
19. Kec. Pembantu Towuti

III. Kota Palopo adalah salah saatu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kota Palopo sebelumnya berstatus kota administratif yang berlaku sejak 1986 berubah menjadi kota otonom sesuai dengan UU Nomor 11 tahun 2002 tanggal 10 April 2002. Kota ini memiliki luass wilayah 155,19 Km2 dan berpenduduk sejumlah 120.748 jiwa dan dengan jumlah Kecamatan:

1. Kecamatan Bara
2. Kecamatan Cendana
3. Kematan Mungkajang
4. Kecamatan Telluwanua
5. Kecmatan Telluwarue
6. Kecamatan Wara
7. Kematan Wara Barat
8. Kecamaatan Wara Selatan
9. Kecamatan Wara Timur
10. Kecamatan Wara Utara

IV. Kabupaten Luwu Timur adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kabupaten ini berasal dari pemekaran Kabupaten Luwu Utara yang disahkan dengan UU Nomor 7 Tahun 2003 pada tanggal 25 Februari 2003. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 6.944,98 km2, dengan Kecamatan masing-masing:

1. Angkona
2. Burau
3. Malili
4. Mangkutana
5. Nuha
6. Sorowako
7. Tomoni
8. Tomoni Utara
9. Towuti
10. Wotu

Setelah Pembagian Wilayah Kabupaten Luwu dari dua Kabupaten menjadi tiga Kabupaten dan satu Kota, maka secara otomatis luas Wilayah Kabupaten ini berkurang dengan Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu Timur dan Kota Palopo berdasarkan batas yang telah ditetapkan, yaitu:

* Luas Wilayah Kabupaten Luwu adalah 3.092,58 km2
* Luas Wilayah Kabupaten Luwu Utara adalah 7.502,48 km2
* Luas Wilayah Kota Palopo menjadi 155.19 km2.
* Luas Wilayah Kabupaten Luwu Timur menjadi 6.944,98 km2.

Kisah Unik dibalik Masuknya Islam di Tana Luwu


Konon ketika Khatib Sulaiman tiba di Kerajaan Gowa Tallo pada awal abad ke-16 ia bersama Khatib Bungsu dan Khatib Tunggal yang berasal dari Minangkabau telah menyebarkan agama Islam pada penduduk setempat. Meski demikian ketiganya juga mencoba untuk mengislamkan kalangan kerajaan, utamanya raja Gowa dan Tallo. Namun mereka menemui kendala yang cukup besar. Akhirnya mereka memutuskan untuk mencari daerah atau kerajaan lain utuk menyebarkan agama Islam.

Sebelum ketiganya pergi, mereka teringat akan pesan dari raja di Pulau Kalimantan yang sempat mereka singgahi ketika menuju Pulau Celebes. Ketika itu sang raja menyarankan jika ingin menyebarkan agama Islam di jazirah Sulawesi, maka yang harus mereka lakukan terlebih dahulu adalah mengislamkan raja Luwu. Karena menurut sang raja, Luwu merupakan kerajaan yang tertua dan yang disegani di jazirah Sulawesi.

Akhirnya mereka sepakat menuju ke Luwu bersama-sama. Datu Luwu yang berkuasa saat itu adalah La Pattiware Daeng Parabung (1587-1615). Mereka pun berlabuh di sebuah desa yang bernama Lapandoso, sesampainya di sana mereka lalu dipertemukan dengan Tandi Pau (Maddika Bua saat itu). Setelah melalui perbincangan yang panjang, akhirnya Maddika Bua mau menerima agama yang dibawa oleh ketiga Khatib tersebut asalkan tidak diketahui oleh sang Datu karena ia takut durhaka bila mendahului sang Datu.

Sebelum ketiganya berangkat ke Pattimang (pusat kerajaan Luwu waktu itu), ketiganya bersama masyarakat setempat membangun sebuah masjid di desa Tana Rigella. Setelah mengislamkan penduduk Bua waktu itu, ketiganya pun diantar oleh Maddika Bua menuju Pattimang menghadap kepada sang Datu. Sesampainya di sana, mereka pun dipertemukan dengan Datu dan memberitahukan maksud kedatangannya untuk menyebarkan agama Islam. Sang Datu pun meminta penjelasan kepada ketiga Khatib tersebut mengenai agama yang mereka bawa. Mendengar penuturan tamunya, Datu hanya tersenyum, ia memang sangat tetarik dengan agama yang diperkenalkan oleh ketiga Khatib itu. Apalagi konsep ketuhanannya hampir sama dengan konsep ketuhanan masyarakat Luwu..

Namun sang Datu tidak begitu saja mempercayainya. Datu Luwu pun bermaksud menguji kemampuan Khatib Sulaiman selaku pimpinan rombongan. Ia menganggap orang yang membawa agama yang besar pastilah memiliki kekuatan yang besar pula.. Datu Pattiware pun mengemukakan keinginannya tersebut kepada Khatib Sulaiman, sang khatib pun meluluskan keinginan sang Datu. Sesuai dengan kesepakatan, apa pun yang dilakukan sang Datu juga harus dilakukan oleh Khatib Sulaiman begitupun sebaliknya. Dan apabila Khatib Sulaiman sanggup melakukan semua yang dilakukan sang Datu, maka raja dan seluruh masyarakat Luwu akan memeluk agama Islam, namun jika tidak maka keduanya harus meninggalkan Tana Luwu.

Tibalah saatnya pertarungan kekuatan dilaksanakan, masyarakat pun berbondong-bondong mendatangi lapangan dekat istana yang akan dijadikan sebagai arena pertarungan. Peralatan pertarungan pun telah disiapkan. Untuk pertarungan pertama, mereka diharuskan menyusun telur yang telah disiapkan sampai habis. Sesuai dengan kesepakatan, sang Datu lah yang terlebih dahulu maju. Dengan tenang, ia mengambil telur-telur tersebut dengan tangan kirinya dan meletakkan di tangan kanannya hingga melebihi tinggi pohon kelapa. Kini tiba giliran Khatib Sulaiman, dengan membaca basmalah ia mulai mengambil telur-telur itu dan menaruhnya di tangan kanannya seperti yang dilakukan oleh sang Datu. Rakyat Luwu yang menonton seolah tidak menyangka Khatib Sulaiman dapat melakukan hal yang sama dengan raja mereka. Bahkan sang Khatib menarik beberapa butir telur yang berada di tengah-tengah tanpa ada satupun telur yang jatuh. Melihat hal itu, sang Datu pun melakukan hal yang sama tanpa ada satu pun butir telur yang jatuh. Karena sang khatib mampu melakukan apa yang dilakukan oleh raja maka pertarungan kembali diteruskan.

Kali ini dua buah ember yang berisi air telah diletakkan di atas sebuah meja. Adu kekuatan kali ini adalah membalik ember tersebut tanpa menumpahkan isinya. Sang datu pun terlebih dahulu maju, dengan tenang ia pun membalik ember berisi air itu tanpa menumpahkan airnya sedikitpun. Tiba giliran Khatib Sulaiman untuk melakukan hal yang sama dengan terlebih dahulu meminta izin kepada sang raja. Dengan mengucapkan basmalah, ia pun dapat melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh sang Datu, bahkan ia dapat membelah air yang telah berbentuk cetakan itu dengan hati-hati. Melihat kejadian itu, sang Datu kembali maju dan melakukan hal yang sama.

Adu kekuatan diantara keduanya terus berlangsung dan seperi biasa diantara keduanya tidak ada yang kalah dan menang sampai matahari telah berada di atas kepala. Pertarungan pun dihentikan sejenak, ketiga Khatib itupun mengambil air wudhu dan melakukan shalat seraya berdoa memohon petunuk kepada Yang Maha Kuasa.

Setelah melaksanakan shalat, Khatib Sulaiman menghampiri Datu Pattiware dan mengatakan kalau kekuatan mereka seimbang, diantara mereka tidak ada yang menang maupun kalah. Sang Datu pun bertanya, hal apa lagi yang bisa membuat ia percaya dan memeluk agama Islam?

Lantas sang khatib meminjam cincin raja Pattiware, ia lalu menuju dermaga sambil membawa cincin tersebut diikuti oleh raja dan masyarakat. Setibanya di dermaga, ia lalu melemparkan cincin tersebut dengan sekuat tenaga, wajah raja pun memerah namun Khatib Sulaiman mampu meredam kemarahan sang raja dan masyarakat. Sang Khatib lalu mengatakan kepada sang raja kalau cincin yang kini berada di laut insya Allah akan kembali dalam waktu satu purnama atau bahkan bisa lebih cepat.

Mendengar ucapan sang Khatib, Datu Pattiware benar-benar bingung, hal yang dialakukan oleh sang Khatib kali ini benar-benar tak sanggup dicerna oleh nalarnya. Ia lalu berkata kalau cincin itu benar-benar kembali, maka ia dan seluruh rakyat Luwu akan memeluk dan menjadikan Islam sebagai agama kerajaan, kalau tidak kepala mereka akan dipenggal karena telah berbuat lancang. Ketiganya kemudian ditahan sampai cincin itu kembali.

Waktu terus berlalu, hingga tiba-tiba ada laporan bahwa cincin itu telah kembali dan berada dalam perut ikan yang besar. Lantas sang raja pun pergi ke dapur kerajaan untuk melihat kejadian itu. Ia sungguh tidak menyangka kalau cincinnya yang pernah dibuang Khatib Sulaiman telah kembali dan berada di dalam perut ikan. Sang raja lalu menanyakan darimana ikan itu di dapat oleh sang juru masak.

Sang juru masak mengatakan kalau tadi pagi ada seorang nelayan yang memberikan ikan tersebut kepada raja sebagai ungkapan syukur karena hasil tangkapannya banyak.

Sang Raja lalu memanggil ketiga Khatib yang ditahan tersebut dan mengatakan kesediaannya untuk memeluk agama yang mereka bawa seperti janji yang telah ia katakan sebelumnya. Ketiga khatib tersebut sujud syukur karena telah melalui tantangan terbesar dalam mengislamkan jazirah Sulawesi.

Setelah mendapat izin dari raja, ketiganya lalu berangkat mengislamkan daerah lain di jazirah Sulawesi. Setelah melaksanakan tugasnya, Khatib Sulaiman kembali ke Tana Luwu dan menetap hingga akhir hayatnya dan diberi gelar Dato’ Pattimang karena ia dikuburkan di desa Pattimang, sedangkan Khatib Bungsu menetap di Bulukumba dan diberi gelar Dato’ ri Tiro dan Khatib Tunggal menetap di kerajaan Gowa dan Tallo dan diberi gelar Dato’ ri Bandang.

Beni Sjamsuddin Toni (Admin Wija To Luwu)
Disadur dari berbagai sumber

Datuk asal Minangkabau Penyebar Islam di Tana Luwu

Bersentuhan dengan sejarah Sulawesi Selatan, maka kita tidak bisa lepas dari kisah kerajaan Luwu. Kerajaan inilah yang sampai saat ini diyakini sebagai kerajaan tertua di Sulawesi Selatan.


Eka Nugraha
Malangke


Int.
Het graf van vorst Petta Matinroë ri Malangke van Loewoe 1941

Makam Petta Matinroë ri Malangke, tahun 1941



Berbagai catatan sejarah menyebutkan bahwa kira-kira pada akhir abad XV masehi pengaruh islam mulai masuk di kerajaan Luwu. Agama islam itu diketahui masuk di daerah Luwu yang dibawa oleh seorang alim Ulamaasal Minangkabau. Ulama tersebut diketahui bernama; Datuk Sulaeman atau yang populer dikenal dengan nama Dato' Sulaiman.

Datuk Sulaeman yang berasal dari Minangkabau ini kemudian dikenal dengan nama Datuk Pattimang. Nama tersebut diberikan karena beliau wafat dan dimakamkan di sebuah desa bernama Pattimang. Cukup mudah untuk mengunjungi makamnya, letaknya di sebelah selatan kabupaten Lutra. Tepatnya di kecamatan Malangke, sekira 60 kilometer dari kota Masamba.

Saat saya berkunjung di tempat itu, Sabtu 29 Agustus, suasana kompleks pemakaman Datuk Sulaiman tampak sunyi. Suara masjid yang berada dalam kompleks sesekali memecah keheningan pemakaman keturunan para raja tersebut.

"Sekarang sedang sunyi nanti menjelang lebaran baru kuburan ini ramai dikunjungi," kata penjaga kompleks pemakaman Datuk Sulaiman, Andi Tamring Opu To Patonangi.

Tamring menyebutkan, Datuk Sulaiman diperkirakan datang ke Desa Pattimang sekira abad ke XV. Pada saat itu, kerajaan Luwu dipimpin oleh seorang raja bernama Andi Pattiware. Tamring mengisahkan, saat Datuk Sulaiman melakukan pendaratan pertamanya di tana Luwu, hal pertama yang dilakukannya adalah melakukan shalat di tepi sungai. Uniknya, saat melakukan shalat, seluruh pepohonan yang berada disekitar tempat itu juga mengikuti gerakan Datuk Sulaiman. Tempat itu sekarang diberi nama "Tappong aju dua e" ---Bahasa Luwu; tempat pendaratan---

"Nanti setelah shalat, baru Datuk bertemu dengan raja untuk menyampaikan niatnya menyebarkan ajaran islam," kata Tamring yang mengaku keturunan langsung dari raja Luwu ke-15 Andi Pattiware.

Niat Datuk untuk menyebarkan ajaran islam akhirnya diterima oleh Raja Pattiware. Oleh karena itu, raja menunjuk anak kandungnya yang belakangan di ketahui bernama Andi Abdullah untuk menjadi muslim pertama di tana Luwu. Setelah itu, raja pun ikut memeluk agama islam.

Penulis belum menemukan Informasi mengenai siapakah jati diri datuk yang berasal dari Minagkabau tersebut. Apakah ia berasal dari didikan dan santri dari Ranah Minang atau bukan? hal itu belum jelas.

Tamring hanya menjelaskan, mitos yang berkembang, beberapa hari setelah meninggalnya Datuk Sulaiman itu, sebuah suara aneh muncul. Suara itu menyebutkan kalau datuk tersebut ternyata adalah keturunan Arab Saudi. Namun, ada juga segelintir informasi kalau Datuk Sulaiman adalah salah seorang santri dari Sunan Giri.(***)

Perjuangan Opu Daeng Risaju di Sulawesi Selatan (1930-1950)

Oleh:
Salmah Gosse

Pendahuluan
Konflik dan kekerasan merupakan suatu fenomena historis yang bisa terjadi dalam hubungan antara negara (kekuasaan) dengan individu. Konflik biasa muncul manakala cita-cita individu bertentangan dengan kemauan negara. Individu biasanya akan terus memperjuangkan cita-citanya baik dalam bentuk gagasan maupun aksi. Sedangkan negara akan terus berusaha untuk menekan aktivitas individu, agar jangan sampai aktivitas individu dapat membahayakan stabilitas negara. Upaya negara untuk menekan individu dapat sampai pada tingkat bentuk tindak kekerasan.

Fenomena tersebut di atas biasa terjadi dalam sebuah kekuasaan negara yang otoriter. Dalam kekuasaan ini kebebasan individu dikekang. Negara memiliki kekuasaan yang mutlak terhadap diri individu. Individu harus tunduk pada peraturan-peraturan yang dibuat negara. Peraturan-peraturan yang dibuat biasanya dalam model kekuasaan yang seperti ini adalah peraturan yang dapat melanggengkan kekuasaan.

Dalam sejarah Indonesia beberapa kasus konflik dan kekerasan yang dilakukan oleh negara (kekuasaan) terhadap individu sudah banyak terjadi. Peristiwa-peristiwa di zaman kolonial Belanda dan Jepang, misalnya merupakan contoh, betapa pemerintah menjalankan kekuasaannya semata-mata demi kekuasaan itu sendiri atau demi kepentingan rakyat terjajah.

Makalah ini akan mengangkat salah satu bentuk pengekangan dan kekerasan yang menimpa Opu Daeng Risaju. Sebuah peristiwa yang memperlihatkan konflik dan kekerasan yang dilakukan oleh negara (pemerintah kolonial dan kerajaan Luwu) terhadap aktivitas perjuangan individu di Sulawesi Selatan. Individu yang dimaksud di sini adalah Opu Daeng Risaju yang aktif dalam organisasi pergerakan kebangsaan Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII).

Ada tiga hal yang menarik dalam peristiwa ini yang menimpa Opu Daeng Risaju itu. Pertama, Opu lahir dan dibesarkan sebagai seorang bangsawan, kedua, sangat kebetulan ia dilahirkan sebagai seorang wanita, dan ketiga, sebagai seorang anggota keluarga bangsawan, Opu ternyata sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan Barat (Sekolah Formal). Lalu, bagaimana seorang wanita bangsawan yang tidak pernah mengenyam pendidikan Barat, dipandang sebagai musuh yang berbahaya oleh pemerintah kolonial Belanda? Persoalan inilah yang coba diangkat dalam makalah ini.

Latar Belakang Kehidupan Opu Daeng Risaju
Nama kecil Opu Daeng Risaju adalah Famajjah. Ia dilahirkan di Palopo pada tahun 1880, dari hasil perkawinan antara Opu Daeng Mawellu dengan Muhammad Abdullah to Barengseng. Nama Opu menunjukkan gelar kebangsawanan di kerajaan Luwu. Dengan demikian Opu Daeng Risaju merupakan keturunan dekat dari keluarga Kerajaan Luwu.

Pendidikan yang ditanamkan sejak kecil lebih ditekankan pada persoalan yang menyangkut ajaran dan nilai-nilai moral baik yang berlandaskan budaya maupun agama. Sebagai seorang puteri bangsawan di daerah Luwu, sudah menjadi tradisi bagi keluarga bangsawan untuk mengajarkan kepada keluarga atau anak-anaknya tentang pola perilaku yang harus dimiliki oleh seorang perempuan. Pengajaran tentang tata cara kehidupan seorang bahsawan dilaksanakan baik di istana sendiri maupun di luar lingkungan istana. Materi ajaran yang diberikan misalnya bagaimana gerak-gerik diatur, tingkah laku dan cara bergaul bagi anak bangsawan. Pengajaran itu disalurkan lewat pesan-pesan, ceritera-ceritera yang bersifat dongeng dari orang tua atau inang pengasuh. Diajarkan pula tentang tata cara memimpin, bergaul, berbicara dan memerintah rakyat kebanyakan. Di samping itu, diajarkan pula keharusan senantiasa menampilkan keluhuran budi yang memupuk simpatik orang banyak[1].

Disamping belajar moral yang didasarkan pada adat kebangsawanan, Opu Daeng Risaju belajar pula peribadatan dan akidah sebagaimana yang diajarkan dalam agama Islam. Dalam tradisi di Luwu, agama dan budaya menjadi satu. Famajjah sejak kecil membaca Al Quran sampai tamat 30 juz. Setelah membaca Al Quran, ia mempelajari fiqih dari buku yang ditulis tangan sendiri oleh Khatib Sulaweman Datuk Patimang, salah seorang tokoh penyebar agama Islam di Sulawesi Selatan. Dalam pengajaran agama tersebut, Famajjah dibimbing oleh seorang ulama. Ilmu lain yang ia pelajari dalam agama yaitu nahwu, syaraf dan balagah. Dengan demikian, Opu Daeng Risaju sejak kecil tidak pernah memasuki pendidikan Barat (Sekolah Umum), walaupun ia keluarga bangsawan, sebagaimana lazimnya aktivitas pergerakan di Indonesia pada waktu itu. Boleh dikatakan, Opu Daeng Risaju adalah seorang yang “buta huruf” latin, dia dapat membaca dengan cara belajar sendiri yang dibimbing oleh saudaranya yang pernah mengikuti sekolah umum.

Setelah dewasa Famajjah kemudian dinikahkan dengan H. Muhammad Daud, seorang ulama yang pernah bermukim di Mekkah. Suami Famajjah adalah anak dari teman dagang ayahnya. Karena menikah dengan keluarga bangsawan dan memiliki pengetahuan yang luas tentang agama, H. Muhammad Daud kemudian diangkat menjadi imam masjid istana Kerajaan Luwu. Nama Famajjah bertambah gelar menjad Opu Daeng Risaju.

Aktif di PSII
Opu Daeng Risaju mulai aktif di oraganisasi Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII) melalui perkenalannya dengan H. Muhammad Yahya, seorang pedagang Asal Sulawesi Selatan yang pernah lama bermukim di Pulau Jawa. H. Muhammad Yahya sendiri mendirikan Cabang SI di Pare-Pare. Opu Daeng Risaju, ketika berada di Pare-Pare masuk menjadi anggota SI Cabang Pare-Pare bersama suaminya.

Ketika pulang ke Palopo, Opu Daeng Risaju mendirikan cabang PSII di Palopo. PSII cabang Palopo resmi dibentuk pada tanggal 14 januari 1930 melalui suatu rapat akbar yang bertempat di Pasar Lama Palopo (sekarang Jalan Landau), atas prakarsa Opu Daeng Risaju sendiri yang dikoordinasi oleh orang-orang PSII. Rapat ini dihadiri oleh aparat pemerintah Kerajaan Luwu, pengurus PSII pusat, pemuka masyarakat dan masyarakat umumnya. Hadir pengurus PSII pusat yaitu Kartosuwiryo. Ketika berada di Palopo, Kartosuwiryo menginap di rumah Opu Daeng Risaju. Kedatangan Kartosuwiryo diundang langsung oleh Opu Daeng Risaju.

Opu Daeng Risaju dalam rapat akbar tersebut terpilih sebagai ketua, sedangkan Mudehang seorang gadis yang masih saudara Opu Daeng Risaju terpilih sebagai sekretaris. Mudehang terpilih sebagai sekretaris merupakan kebutuhan organisasi karena dia seorang wanita tamatan sekolah dasar lima tahun yang tentu saja mampu membaca dan menulis.

Mendapat Tekanan
Setelah resmi PSII berdiri di Palopo, Opu Daeng Risaju kemudian menyebarkan sayap perjuangannya. Cara penyebaran yang ia lakukan yaitu melalui familinya yang terdekat kemudian kepada rakyat kebanyakan. Dalam merekrut anggota PSII di mata rakyat kebanyakan dilakukan dengan cara menyebarkan kartu anggota yang bertuliskan lafadz “Ashadu Alla Ilaaha Illallah”. Dengan menggunakan kartu tersebut aspek ideologi tertanam dalam diri anggota, siapa yang memiliki kartu tersebut (menjadi anggota PSII) berarti dia seorang muslim. Dengan cara seperti ini, perjuangan PSII yang dilakukan oleh Opu Daeng Risaju mendapatkan dukungan yang sangat besar dari rakyat. Selain itu, dukungan dari rakyat ini timbul karena status Opu Daeng Risaju sebagai seorang bangsawan yang cukup kharismatis di mata masyarakat.

Dukungan yang begitu besar terhadap perjuangan Opu Daeng Risaju menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah Belanda dan Kerajaan Luwu. Kegiatan Opu Daeng Risaju dianggap sebagai kekuatan politik yang membahayakan pemerintah Belanda. Melalui Kerajaan Luwu berupaya melakukan tekanan-tekanan terhadap kegiatan Opu Daeng Risaju.

Daerah yang pertama kali menjadi tempat pendirian ranting PSII adalah di Malangke, sebuah kota di sebelah utara Palopo. Di malangke Opu Daeng Risaju mengadakan pendaftaran anggota PSII. Selama lima belas hari Opu Daeng Risaju berada di kota ini. Masyarakat di Malangke begitu antusias menerima kedatangan Opu Daeng Risaju. Apalagi di kota ini banyak famili dekat Opu Daeng Risaju.

Kegiatan Opu Daeng Risaju didengar oleh controleur afdeling Masamba (Malangke merupakan daerah afdeling Masamba). Controleur afdeling Masamba kemudian mendatangi kediaman Opu Daeng Risaju dan menuduh Opu Daeng Risaju melakukan tindakan menghasut rakyat atau menyebarkan kebencian di kalangan rakyat untuk membangkan terhadap pemerintah. Atas tuduhan tersebut, pemerintah kolonial Belanda menjatuhkan hukuman penjara kepada Opu Daeng Risaju selama 13 bulan.

Hukuman penjara tersebut ternyata tidak membuat jera bagi Opu Daeng Risaju. Setelah keluar dari penjara Opu Daeng Risaju semakin aktif dalam menyebarkan PSII. Pada tanggal 1 Maret 1932, Opu Daeng Risaju meresmikan cabang PSII di Malili bersama suaminya Haji Muhammad Daud. Aktiftas Opu Daeng Risaju, di Malili ternyata diawasi juga oleh pemerintah kolonial Belanda. Ketika Opu Daeng Risaju tiba di distrik Patampanua, dalam perjalanannya setelah dari Malili, Opu Daeng Risaju ditangkap kembali oleh Kepada Distrik atas instruksi pemerintah kolonial Belanda. Opu Daeng Risaju, oleh pemerintah kolonial Belanda dianggap sebagai orang yang membahayakan dan perlu diawasi.

Dari distrik Patampanua Opu Daeng Risaju bersama suaminya dibawa ke Palopo melalui jalan laut dengan pengawalan yang cukup ketat. Ketika di bawa ke Palopo, Opu Daeng Risaju dan suaminya diborgol karena dianggap membahayakan. Tindakan Belanda tersebut menimbulkan protes dari salah seorang familinya yang menjadi pejabat pada pemerintahan Kerajaan Luwu, yaitu Opu Balirante. Tindakan Belanda terhadap Opu Daeng Risaju dan suaminya, menurut Opu Balirante merupakan tindakan yang menghina terhadap derajat kebangsawanan yang menempel pada diri Opu Daeng Risaju. Opu Dalirante memprotes kepada pemangku adat Kerajaan Luwu dan pemerintah kolonial Belanda dan mengancam akan mengundurkan diri. Ancaman Opu Balirante tersebut ternyata berhasil meluluhkan pihak kerajaan dan pemerintah Belanda. Opu Daeng Risaju tidak jadi dihukum[2].

Pembelaan yang dilakukan oleh Opu Balirante, ternyata tidak meluluhkan semangat perjuangan Opu Daeng Risaju dalam menyebarkan PSII. Opu Daeng Risaju semakin aktif melakukan kegiatan politiknya. Aktivitas Opu Daeng Risaju sangat tidak disenangi oleh pemerintah Kerajaan Luwu. Opu Daeng Risaju di samping ditekan oleh pemerintah kolonial Belanda, juga ditekan oleh pihak kerajaan sendiri. Dalam pandangan pihak kerajaan, Opu Daeng Risaju sebagai seorang bangsawan yang dekat dengan keluarga kerajaan tidak boleh melakukan kegiatan politik yang dapat mengganggu hubungan antara pemerintah kolonial Belanda dengan Kerajaan Luwu. Waktu itu, Kerajaan Luwu sudah terikat oleh “Korte Werklaring” dengan pemerintah kolonial Belanda. Perjanjian tersebut sesungguhnya merupakan salah satu usaha Belanda untuk mengendalikan Kerajaan Luwu, misalkan pengakatan raja harus sepengetahuan dan persetujuan dari pemerintah kolonial Belanda.

Pemerintah kerajaan Luwu kemudian memanggil Opu Daeng Risaju dan memintanya agar menghentikan kegiatan politiknya. Permintaan kerajaan Luwu tersebut ditolak oleh Opu Daeng Risaju. Bagi Opu Daeng Risaju, kegiatan di PSII merupakan kegiatan dalam rangka mengikuti perintah Tuhan, yaitu “amar ma’ruf nahyil munkar”. Akibat pernolakan tersebut, akhirnya Opu Daeng Risaju disebut gelar kebangsawanannya yaitu gelar “Opu”. Opu Daeng Risaju dipanggil menjadi “Indok” (Ibu) Saju, sebagaimana layaknya rakyat kebanyakan.

Tekanan dari pihak kerajaan bukan hanya pencabutan gelar kebangsawanan. Pihak kerajaan atas kendali Belanda meminta kepasa suami Opu Daeng Risaju yaitu H. Muhammad Daud, agar mau membujuk isterinya menghentikan kegiatannya. Bujukan suaminya ditolak oleh Opu Daeng Risaju, bahkan Opu Daeng Risaju mempersilakan suaminya untuk mancari isteri lain dan Opu siap untuk bercerai. Akibat tekanan ini, akhirnya Opu Daeng Risaju rela bercerai dengan suaminya.

Walaupun sudah mendapat tekanan yang sangat berat baik dari pihak kerajaan dan pemerintah kolonial Belanda, Opu Daeng Risaju tidak menghentikan aktivitasnya. Dia mengikuti kegiatan dan perkembangan PSII baik di daerahnya maupun di tingkat nasional. Pada tahun 1933 Opu Daeng Risaju dengan biaya sendiri berangkat ke Jawa untuk mengikuti kegiatan Kongres PSII. Dia berangkat ke Jawa dengan biaya sendiri dengan cara menjual kekayaan yang ia miliki. Bukanlah hal yang mudah untuk datang ke Jawa pada saat itu, mengingat jarak antara Pulau Jawa dengan Sulawesi sangat jauh.

Kedatangan Opu Daeng Risaju ke Jawa, ternyata menimbulkan sikap tidak senang dari pihak kerajaan. Opu Daeng Risaju kembali dipanggil oleh pihak kerajaan. Dia dianggap telah melakukan pelanggaran dengan melakukan kegiatan politik. Oleh anggota Dewan hadat yang pro-Belanda, Opu Daeng Risaju dihadapkan pada pengadilan adat dan Opu Daeng Risaju dianggap melanggar hukum (Majulakkai Pabbatang). Anggota Dewan Hadat yang pro-Belanda menuntutu agar Opu Daeng Risaju dijatuhi hukuman dibuang atau diselong. Akan tetapi Opu Balirante yang pernah membela Opu Daeng Risaju, menolak usul tersebut. Akhirnya Opu Daeng Risaju dijatuhi hukuman penjara selama empat belas bulan pada tahun 1934[3].

Sebagai orang hukuman, Opu Daeng Risaju harus bekerja di luar penjara seperti orang-orang hukuman lainnya karena tidak mempunyai lagi hak-hak istimewa sebagaimana berlaku bagi bangsawan. Haknya telah dicabut berrsamaan dengan pencopotan gelar kebangsawanannya. Selama dipenjara, Opu Daeng Risaju disuruh mendorong gerobak, bekerja membersihkan jalan di tengah-tengah kota Palopo.

Penggerak Pemberontakan dan Dipenjara NICA
Pada masa pendudukan Jepang Opu Daeng Risaju tidak banyak melakukan kegiatan di PSII. Hal ini dikarenakan adanya larangan dari pemerintah pendudukan Jepang terhadap kegiatan politik Organisasi Pergerakan Kebangsaan, termasuk di dalamnya PSII.

Opu Daeng Risaju kembali aktif pada masa revolusi. Pada masa revolusi di Luwu terjadi pemberontakan yang digerakkan oleh pemuda sebagai sikap penolakan terhadap kedatangan NICA di Sulawesi Selatan yang berkeinginan kembali menjajah Indonesia. Pemicu pemberontakan ini terjadi, ketika tentara NICA menggeledah rumah Opu Gawe untuk mencari senjata, akan tetapi tidak menemukannya. Kemudian tentara NICA menuju ke masjid dan menanyakan orang-orang di dalam masjid, di antaranya seorang Doja (penjaga measjid) yang bernama Tomanjawani. Jawaban dari Tomanjawani tidak memuaskan, sehingga tentara NICA mengobrak-abrik masjid dan menginjak Al Quran, bahkan Tomanjawani sendiri dipukuli karena mencegah tindakan tentara NICA di Masjid[4].

Tindakan tentara NICA tersebut menimbulkan kemarahan rakyat di Luwu. Mengobrak-abrik masjid dan menginjak Al Quran sudah merupakan “siri” bagi orang Sulawesi Selatan. Akhirnya para pemuda memberikan ultimatum kepada tentara NICA yang ada di Palopo agar kembali ke tangsinya, tidak berkeliaran di kota. Ultimatum tersebut tidak diindahkan oleh tentara NICA, yang kemudian berakibat timbulnya konflik senjata yang sangat besar antara tentara NICA dengan para pemuda. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 23 Januari 1946.

Peristiwa 23 Januari 1946 di Palopo kemudian merembet ke kota-kota lainnya. Di kota-kota lain timbul konflik-konflik senjata antara tentara NICA dengan para pemuda. Salah satu kota yang ikut kena imbasnya dari peristiwa 23 Januari 1946 di Palopo adalah Beloppa, kota tempat Opu Daeng Risaju tinggal[5].

Opu Daeng Risaju ketika berada di Belopa memiliki peran besar terhadap upaya perlawanan terhadap tentara NICA. Dia banyak melakukan mobilisasi terhadap pemuda dan memberikan doktrin perjuangan kepada pemuda. Tindakan Opu Daeng Risaju ini membuat NICA berupaya untuk menangkapnya.

Upaya yang dilakukan NICA terhadap Opu Daeng Risaju dengan cara mengeluarkan pengumuman yang berisi persyaratan bahwa barang siapa yang dapat menangkap Opu Daeng Risaju baik dalam keadaan hidup atau mati, akan diberikan hadiah. Akan tetapi tidak ada seorang yang melaksanakan pengumuman Belanda tersebut.

Opu Daeng Risaju melalukan persembunyian dari satu tempat ke tempat lainnya ketika NICA melakukan pengejaran. NICA dapat menangkap Opu Daeng Risaju ketika berada di Lantoro. Opu Daeng Risaju ditangkap dalam persembunyainnya. Kemudian ia dibawa ke Watampone dengan cara berjalan kaki sepanjang 40 km. Opu Daeng Risaju ditahan di penjara Bone dalam satu bulan tanpa diadili kemudian dipindahkan ke penjara Sengkang dan dari sini dibawa ke Bajo.

Ketika berada di Bajo, Opu Daeng Risaju disiksa oleh Kepala Distrik Bajo yang bernama Ladu Kalapita. Opu Daeng Risaju dibawa ke lapangan sepak bola. Dia disuruh berlari mengelilingi tanah lapangan yang diiringi dengan letusan senapan. Setelah itu Opu disuruh berdiri tegap menghadap matahari, lalu Ludo Kalapita mendekatinya dan meletakkan laras senapannya pada pundak Opu yang waktu itu sudah berusia 67 tahun. Kemudian Ludo Kalapita meletuskan senapannya. Akibatnya Opu Daeng Risaju jatuh tersungkur mencium tanah di antara kaki Luda Kalapita dan masih sempat menyepaknya. Opu Daeng Risaju kemudian dimasukkan ke “penjara” semacam tahanan darurat di bawah kolong tanah).

akibat penyiksaan yang dilakukan oleh Ludo Kalapita terhadap Opu Daeng Risaju yaitu Opu enjadi tuli seumur hidup. Seminggu kemudian Opu dikenakan tahanan luar dan beliau tinggal di rumah Daeng Matajang. Tanpa diadili Opu dibebaskan dari tahanan sesudah menjalaninya selama 11 bulan dan kembali ke Bua kemudian menetap di Belopa.

Setelah pengakuan kedahulatan RI tahun 1949, Opu Daeng Risaju pindah ke Pare-Pare mengikuti anaknya Haji Abdul Kadir Daud yang waktu itu bertugas di Pare-Pare. Sejak tahun 1950 Opu Daeng Risaju tidak aktif lagi di PSII, ia hanya menjadi sesepuh dari organisasi itu. Pada tanggal 10 Februari 1964, Opu Daeng Risaju meninggal dunia. Beliau dimakamkan di pekuburan raja-raja Lokkoe di Palopo, tanpa ada upacara kehormatan sebagaimana lazimnya seorang pahlawan yang baru meninggal.

Kesimpulan
Perjuangan Opu Daeng Risaju memiliki dasar nilai budaya yang dipegangnya. Dalam masyarakat Sulawesi Selatan ada sistem nilai budaya yang disebut Siri’ na Pesse. Secara harfiah siri’ berarti malu. Secara kultural siri’ mengandung arti pertama, ungkapan psikis yang dilandasi perasaan malu yang dalam guna berbuat sesuatu hal yang tercela serta dilarang oleh kaidah adat. Kedua, yaitu nilai harga diri yang berarti kehormatan atau disebut martabat. Pessemerupakan padanan kata siri’. Secara harfiah pesse mengandung arti pedih atau perih meresap dalam kalbu karena melihat penderitaan orang lain. Pesse berfungsi sebagai pemersatu, penggalang solidaritas, pembersamaan serta pemuliaan humanitas (‘sipakatau)[6].

Kalaulah dianalisis mengapa perjuangan Opu Daeng Risaju menimbulkan konflik dan kekerasan dengan pemerintah kolonial Belada dan Kerajaan Luwu, dapat dilihat dari sistem nilai budaya lokal yang mendasarinya. Bagi Opu Daeng Risaju aktifnya ia di PSII memiliki nilai pesse. Opu Daeng Risaju melihat penjajahan Belanda di daerahnya menimbulkan kesengsaraan bagi rakyaat. Penderitaan rakyat yang dialaminya, membuat Opu Daeng Risaju merasa terpanggil untuk membelanya dengan cara aktif di PSII.

Perjuangan yang memiliki nilai pesse tersebut ternyata tidak dihargai oleh pemerintahan kerajaan Luwu akibat tekanan dari Belanda. Sikap kerajaan Luwu dan pemerintahan kolonial Belanda dengan melakukan larangan, tekanan sampai pada penangkapan dan pemenjaraan terhadap Opu Daeng Risaju menimbulkan sikap siri’. Aktifitas dan pengangkatan Opu Daeng Risaju di PSII dalam pandangannya merupakan suatu harga diri yang dipertaruhkan.

Opu Daeng Risaju bersikukuh tetap berjuang di PSII karena ia menjunjung tinggi nilai siri’ na pesse dan pada sisi lain kerajaan Luwu dengan kendali Belanda bersikukuh melarang kegiatan Opu Daeng Risaju karena dapat membahayakan tatanan politik pemerintahan, mengakibatkan timbulnya konflik dan kekerasan. Bagi Opu Daeng Risaju perjuangan adalah kemulyaan sedangkan bagi pihak pemerintah kerajaan Luwu dan Belanda, perjuangan Opu Daeng Risaju membahayakan bagi tatanan kekuasaannya.

Daftar Pustaka

Anthon A. Pangerang, et. al. 1986. Sejarah Ringkas Perjuangan Pertahanan Keamanan Rakyat (PKR) Luwu Dalam Membela dan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Luwu: Badan Penggerak Pembina “Angkatan45” Dewan Harian Cabang Kabupaten Luwu.

Lahadjdji Patang, Sulawesi Selatan dan Pahlawan-pahlawannya, Yayasan Generasi Muda Indonesia (YKGMI).

M. Laica Marzuki. 1995. Siri, bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum), Ujung Pandang: Hasanuddin University Press.

Muhammad Arfah. 1991. Opu Daeng Risaju Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan Republik Indonesia. Ujung Pandang: Depdikbud.

Syamsul Alam, “Opu Daeng Risaju Wanta Alam yang Jadi Kaum Pergerakan”, dalam Mimbar Ulama, No. 4. tahun I September 1976.

Sanusi Daeng Mattata. 1967. Luwu Dalam Revolusi. Makassar: Bhakti Baru, hlm. 335.

Sumber:
Makalah dalam Kongres Nasional Sejarah tanggal 28-30 Oktober 2001 di Jakarta.

[1] Muhammad Arfah (1991), Opu Daeng Risaju Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan Republik Indonesia.Ujung Pandang: Depdikbud, hlm 41.

[2] Syamsul Alam, “Opu Daeng Risaju Wanita Alam yang Jadi Kaum Pergerakan”, dalam, Mimbar Ulama, No. 4. Tahun I September 1976.

[3] Lahadjidji Patang, Sulawesi Selatan dan Pahlawan-pahlawannya, Yayasan Generasi Muda Indonesia (YKGMI), hlm. 43.

[4] Sanusi Daeng Mattata. 1967. Luwu Dalam Revolusi, Makassar: Bhakti Baru, hlm. 335.

[5] Anthon A. Pangerang, et. al (1986), Sejarah Ringkas Perjuangan Pertahanan Keamanan Rakyat (PKR) Luwu Dalam Membela dan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Luwu: Badan Penggerak Pembina “Angkatan 45” Dewan Harian Cabanga Kabupaten Luwu, hlm. 1.

[6] M. Iaica Marzuki. 1995. Siri, bagian Kesadaran Hukum rakyat Bugis Makassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum), Ujung Pandang Hasanuddin University Press, hlm. 115-133.

Selasa, 05 Oktober 2010

ARSITEKTUR TRADISIONAL SULAWESI SELATAN PUSAKA WARISAN BUDAYA LOKAL INDONESIA




Kebudayaan dan Arsitektur Tradisional.

Manusia beraktifitas mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupan dimuka bumi ini, berbekal kemampuan berfikir secara ”metaforik” serta memanfaatkan seluruh indranya. Kemampuan berfikir secara “metaforik” itu terwujud dalam kreativitas penciptaan berbagai “symbol”, berisi ungkapan makna yang digunakan ketika berkomunikasi menyampaikan pesan, kesan, harapan, pengalaman, bahkan ungkapan perasaan kepada sesamanya.
Komunikasi secara simbolik itu dilakukan dengan efektif, etis dan manusiawi untuk membangun kesepahaman. Dengan menggunakan simbol-simbol yang diciptakannya, manusia dapat saling berhubungan baik secara langsung maupun tidak, hingga pergaulannya kemudian semakian luas hingga menembus batas antar personal, komunitas, etnis, nasion bahkan generasi pada suatu skala “interaksi” sosial budaya.
Ketika interaksi sosial budaya suatu masyarakat semakin luas maka kian beragam dan kompleks jaringan yang dilakoninya. Semakin tinggi intensitas interaksi sosial budaya yang dikembangkan oleh suatu komunitas lokal dalam pergaulannya dengan komunitas diluarnya, maka semakin besar pula peluang masyarakat tersebut untuk mengembangkan “kebudayaan”-nya. Sebaliknya semakin terisolir suatu komunitas dari lintasan orbitasi sosial budayanya, atau semakin mereka menutup diri dari pergaulan dengan luar komunitasnya, maka semakin kuat pula hambatan yang dihadapi dalam mengembangkan “budaya”nya.
Kini, dimasa interaksi sosial budaya masyarakat semakin luas dan terbuka, mengarahkan mereka menuju suatu keadaan imajiner, dimana masyarakat semakin mengabaikan batas geografis, etnografis, negara bahkan bangsa.
Ralp Linpton seorang antropolog kenamaan Amerika menyatakan bahwa didunia ini tidak ada lagi masyarakat yang berhak menyatakan bahwa “kebudayaannya” masih asli. Selebihnya merupakan hasil tukar menukar dan pinjam meminjam unsur kebudayaan yang diserap secara murni ataupun dimodifikasikan. Demikian pula sebagian besar pengembangan unsur kebudayaan “setempat” biasanya merupakan pengembangan yang diilhami oleh pengaruh kontak “budaya” dengan pihak luar.
Di Indonesia, perkembangan semangat demokrasi dan reformasi menjadi fenomena umum yang turut mendorong terjadinya pola interaksi sosial budaya baru. Masyarakat semakin terbuka. Suka tidak suka, perkembangan demokrasi dan reformasi tersebut telah mendorong pengaruh yang memberi dampak positif sekaligus negatif. Perkembangan positif yang telah terjadi adalah berkembangnya keterbukaan, transparansi, penegakan hukum dan hak azasi, memberi warna dan nuansa baru dalam tatanan pergaulan dan kehidupan kemasyarakatan, baik di tingkat lokal, regional maupun global. Sebaliknya, dampak negatif juga pasti terjadi, karena meningkatnya transportasi dan informasi yang mengantarkan “budaya” baru. Bila tidak ada filterisasi dan proteksi secara dini, keterbukaan dapat mengakibatkan infiltrasi kebudayaan yang membawa nilai-nilai baru yang tidak semuanya baik dan sesuai dengan nilai luhur yang dimiliki hingga dapat menimbulkan dekadensi kebudayaan. Kebudayaan lokal akan cenderung semakin terpuruk dan akhirnya porak poranda kehilangan identitas. Kondisi ini, kian diperparah karena anutan “model” pembangunan di Indonesia, sementara masih lebih bertumpu pada prioritas pembangunan ekonomi yang kapitalistis.
Dalam masyarakat kapitalistis, nilai ekonomis cenderung menjadi tujuan utama yang sangat kuat menonjol, serta mempengaruhi sendi kehidupan secara keseluruhan. Sementara disisi lain nilai-nilai non ekonomi, nilai-nilai batin dan nilai-nilai “spiritual” terus tergerogoti hingga keberadaannya merosot tajam. Ukuran keberhasilan seseorang cenderung dinilai dalam pencapaian skala materialistis -“ekonomi kebendaan” semata. Sementara nilai-nilai moral, nilai-nilai batin dan spiritual, nilai kewibawaan, keadilan dan nilai-nilai “kearifan budaya leluhur” terabaikan, bahkan nilai-nilai itu seolah menjadikan semacam komoditas eceran.
Kondisi seperti itu diperparah lagi dengan kekurangsiapan sebagian besar masyarakat Indonesia mengantisipasi kemajuan yang sangat pesat dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Teknologi komunikasi dan teknologi informasi sudah semakin canggih. Keberadaannya telah secara cepat menjadi katalisator yang sangat cepat, menarik dan mentransformasi masuknya kebudayaan mancanegara. Orang-orang ingin serba bergegas cepat. Tak heran jika yang nampak pesat berkembang kemudian adalah budaya opportunis dan hedonis yang lebih mengunggulkan rasio-“kebudayaan otak”, berbanding terbalik dengan sensitifitas “kebudayaan rasa” yang cenderung pelan karena segala sesuatu perlu proses dan pengendapan, penghayatan. Kebudayaan rasa berintikan pada proses, solidaritas dan empati bagi sesama. Suatu yang sesungguhnya memiliki tempat terhormat dalam kepribadian bangsa Indonesia sebagai wujud dari “nilai warisan” nenek moyang bangsa.
Dampak berbagai dari kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, telah menjadikan batas-batas antar bangsa sudah semakin tidak jelas, hampir semua aspek kehidupan bangsa sudah saling berinteraksi secara bebas, bercampur. Komunitas etnis atau masyarakat tradisional perlahan memudar, mereka sudah sangat sulit untuk hanya mempertahankan ciri khas “budaya” lokalnya sebagai unggulan warisan leluhur mereka saja. Keluhuran budaya lokal yang adiluhung dan bersahaja itu, kian tercemari nilai-nilai kebendaan dan pragmatisme. Kenyataannya terlihat pada apa yang terjadi didunia pendidikan, banyak orang yang mengabaikan mutu, sementara yang dikejar adalah bagaimana cara memperoleh selembar ijazah. Ukuran terhormat bagi seseorang hanya dinilai pada pencapaian prestasi sesaat, atau bagaimana memperoleh kekayaan sebanyak-banyaknya, penguasaan power kekuasaan sebesar-besarnya tetapi mengabaikan bagaimana cara atau proses mencapainya.
Padahal, masyarakat tradisional Indonesia sesungguhnya sangat percaya akan pentingnya suatu proses yang membentuk tatanan, acuan tetap, yang mengatur segala apa yang terjadi secara harmonis. Tatanan atau acuan itu bersifat “Stabil”, “Selaras” dan “kekal’” karena lahir dari proses yang panjang. Kepercayaan dan pemahaman akan tatanan dan acuan yang mengatur itu kemudian mengendap, mengkristal, menjadi landasan nilai “budaya”, menjadi sumber segala anutan, ukuran kemuliaan dan kebahagiaan manusia. Sesungguhnya, apapun yang dilakukan manusia haruslah sesuai atau selaras dalam harmoni tatanan kehidupan alam sekitarnya. Bila tidak bertentangan dengan keselarasan dan harmoni alam, niscaya hidup manusia akan tenang dan damai. Sebaliknya perbuatan manusia yang menyimpang dari tatanan dan aturan itu, akan menjadi “dosa”, penyimpangan yang bisa berakibat terjadinya sangsi, hukuman pembawa malapetaka.
Pada masyarakat tradisional Indonesia, perbuatan manusia itu selalu berdimensi dua atau “dwimatra”; yaitu “mistik” dan “simbolik”. Untuk mengungkap kepercayaan akan makna hidup, manusia menggunakan tanda – tanda atau “simbol”. Ada dua macam tanda penting, pertama : “mitos asal”, atau tafsir tentang makna hidup berdasarkan asal kejadian masa lalu. Kedua : “Ritual” berupa upacara atau perlakuan simbolis yang berfungsi atau dimaksudkan untuk memulihkan harmoni tatanan alam agar tetap selaras dengan manusia, agar manusia dapat terhindar dari malapetaka dan mendapatkan keselamatan serta kesejahteraan dalam kehidupan. Itulah dasar-dasar filosofi yang mewarnai “Budaya” masyarakat tradisional Indonesia.
Pola pemikiran masyarakat tradisional pada umumnya hidup dalam budaya “kosmologi” yang menyeluruh. Awalnya, kehidupan manusia hanya terbatas dan berpusat pada kehidupan dirinya sendiri, “Egocentrum”. Kemudian manusia mengembangkan diri melalui dorongan naluri dan nalarnya guna memenuhi kebutuhan hidupnya, maka kehidupan ”egocentrum” kemudian berubah menjadi bagian integral dari kehidupan habitat sekitarnya, yang diatur dalam sebuah tatanan “budaya” atau “kebudayaan”.
Masyarakat tradisional sering dianggap sebagai masyarakat yang hanya hidup dalam suasana kepercayaan leluhur semata yang di pengaruhi oleh “ethos budaya” lokal yang ekslusif serta mempunyai sifat-sifat khusus. Kekhususan itu ditandai dari cara mereka mempertahankan suasana hidup selaras, harmonis dan seimbang dengan kehidupan “habitat” sekitarnya. Keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan sekitarnya, menjadi pola pengendali hubungan antar manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Hubungan manusia dengan habitat sekitarnya itu didasarkan pada anggapan bahwa eksistensi hidup ada dalam rangkuman makrokosmos alam raya. Suatu tatanan yang selalu “teratur”, tersusun” dan berulang” secara “hirarkis” otomatis dalam sebuah “tatanan budaya” yang terjaga.
Ketika bicara tentang “kebudayaan” secara komprehensif, maka “arsitektur” adalah salah satu wujud hasil karya seni budaya. Keterkaitan hubungan antara kebudayaan suatu bangsa dengan arsitektur, tergambar pada telaahan masing –masing unsurnya. Telaah arsitektur pada umumnya berpijak pada unsur – unsur ”konsep”, cara “membangun”dan “wujud nyata” dari “bangunan” sebagai suatu lingkungan buatan dalam rekayasa lingkungan sekitarnya. Telaahan “kebudayaan” selalu berpijak pada unsur-unsur buah pikiran “idea”, perbuatan, sikap dan prilaku “behavior” serta hasil karya seni “artefak”.
Arsitektur sebagai hasil karya seni budaya diakui sebagai salah satu wujud kebudayaan yang dapat dijadikan cerminan dari kehidupan manusianya, dari masa ke masa. Arsitektur sebagai unsur kebudayaan, laksana salah satu bentuk bahasa “non-verbal” manusia yang bernuansa simbolik. Arsitektur adalah alat komunikasi manusia secara “non verbal” yang mempunyai nuansa sastrawi. Tidak jauh berbeda dengan sastra verbal yang metaforik. Arsitektur itu sendiri dapat dipahami melalui wacana metafor keindahan, dari sudut pandang itu akan dikenali karakteristiknya. Dalam naskah kuno sastra jawa dan kitab sastra “lontara” Bugis Makassar secara jelas dapat ditemukan relevansi antara lingkungan dan kehidupan budaya manusia, hal tersebut terwujud pada penggambaran bentuk “rumah adat” yang diciptakannya.
Sumber : Tjahjono, Ed., 1999
Gambar 1. Rumah Tradisional Nusantara
“Konsep Arsitektur Tradisional Sulawesi Selatan ”
Dalam masyarakat tradisional Sulawesi Selatan, segala sesuatu yang menyangkut kehidupan masyarakat selalu dilakukan bersendikan adat istiadat. Adat istiadat menjadi semacam pedoman dalam berpikir dan bertindak sesuai pola kehidupan masyarakatnya. Terwujud baik dalam tingkah laku, cara berinteraksi, termasuk perlakuan dalam tata cara membangun rumah di dalam lingkungan alam sekitarnya.
Adat istiadat dan kepercayaan adalah warisan nenek moyang yang mengisi inti kebudayaan. Hal tersebut dipercaya sebagai warisan yang diterima langsung dari sang pengatur tata tertib kosmos untuk menjadi pengarah jalannya lembaga-lembaga sosial. Oleh sebab itu berbagai upacara, pesta dan upacara kemasyarakatan yang berdasarkan pada adat istiadat, tetap diadakan untuk menjaga kesinambungan dan pelestarikan prosesi budaya bangsa. Termasuk tata cara atau prosesi pembuatan rumah.
Tata cara pembuatan rumah menurut konsep arsitektur tradisional Sulawesi Selatan, merujuk pada pesan atau wasiat yang bersumber dari kepercayaan dan adat istiadat yang dianut masyarakat Sulawesi Selatan; mulai dari pemilihan tempat, penentuan arah peletakan rumah, bentuk arsitektur, hingga penyelenggaraan upacara ritual ketika proses membangunnya.

Konsep Bugis Makassar
Konsep arsitektur masyarakat tradisional Bugis-Makassar bermula dari suatu pandangan hidup ontologis, bagaimana memahami alam semesta secara “universal”. Filosofi hidup masyarakat tradisional Bugis Makassar yang disebut “Sulapa Appa”, menunjukkan upaya untuk“menyempurnakan diri”. Filosofi ini menyatakan bahwa segala aspek kehidupan manusia barulah sempurna jika berbentuk “Segi Empat”.Filosofi yang bersumber dari “mitos” asal mula kejadian manusia yang diyakini terdiri dari empat unsur, yaitu : tanah, air, api, dan angin.
Bagi masyarakat tradisional Bugis-Makassar yang berfikir secara totalitas, maka rumah tradisional Bugis Makassar dipengaruhi oleh pemahaman: “Struktur kosmos” dimana alam terbagi atas tiga bagian yaitu “alam atas” , “alam tengah”, dan “alam bawah”,. Abu Hamid (1978:30-31) dalam “Bingkisan Budaya Sulawesi Selatan” menuliskan bahwa rumah tradisional orang Bugis tersusun dari tiga tingkatan yang berbentuk “segi empat”, dibentuk dan dibangun mengikuti model kosmos menurut pandangan hidup mereka, anggapannya bahwa alam raya (makrokosmos) ini tersusun dari tiga tingkatan, yaitu alam atas atau“banua atas”, alam tengah “banua tengah” dan alam bawah “banua bawah” . Benua atas adalah tempat dewa-dewa yang dipimpin oleh seorang dewa tertinggi yang disebut “Dewata Seuwae” (dewa tunggal), bersemayam di “Botting-Langik” (langit tertinggi). Benua tengah adalah bumi ini dihuni pula oleh wakil-wakil dewa tertinggi yang mengatur hubungan manusia dengan dewa tertinggi serta menggawasi jalannya tata tertib kosmos. Benua bawah disebut “Uriliyu” (tempat yang paling dalam) dianggap berada di bawah air. Semua pranata-pranata yang berkaitan dengan pembuatan atau pembangunan rumah harus berdasarkan kosmologis yang diungkap dalam bentuk makna simbolis-filosofis, yang diketahuinya secara turun-temurun dari generasi kegenerasi.
Menurut Mangunwijaya (1992:95-96), bahwa bagi orang-orang dahulu, tata wilayah dan tata bangunan alias arsitektur tidak diarahkan pertama kali demi penikmatan rasa estetika bangunan, tetapi terutama demi kelangsungan hidup secara kosmis. Artinya selaku bagian integral dari seluruh “kosmos” atau “semesta raya” yang keramat dan gaib.
Beberapa hal yang penting diketahui bahwa dalam proses mendirikan rumah pada masyarakat tradisional Bugis-Makassar, mereka selalu meminta pertimbangan dari “Panrita Bola” atau Panre bola untuk pencarian tempat, menunjukkan arah yang dianggap cocok dan baik.Panre Bola menguasai ilmu pengetahuan tentang tata cara pengerjaan rumah; dimulai dari pemilihan jenis kayu, menghitung berapa tiang(aliri), berapa pasak (pattolo) yang akan dipakai, Termasuk pengerjaan elemen-elemen atau ornamen bangunan rumah hingga akhirnya merekostruksi rumah yang diinginkan serta perlengkapannya. Dalam hal ini peranan seorang Panrita Bola sangat menentukan melalui nasehat-nasehat mereka yang akan menjadi pegangan bagi penghuni rumah; kepercayaan tentang adanya pengaruh kosmologis sudah sangat dimaklumi masyarakat Bugis-Makassar.
Beberapa wasiat yang menjadi perhatian dalam hal menentukan arah rumah pada masyarakat tradisional Bugis-Makassar misalnya: sebaiknya menghadap kearah terbitnya matahari, menghadap kedataran tinggi, atau menghadap ke salah satu arah mata angin.
Selain itu salah satu faktor pertimbangan lain yang selalu diperhitungkan adalah pemilihan waktu saat mendirikan rumah. Adapun hari ataupun bulan yang baik, biasanya ditentukan atas bantuan orang-orang yang memiliki kepandaian dalam hal memilih waktu.
Untuk pendirian rumah, biasanya didahului oleh serangkaian upacara-ritual. Pada tahap selanjutnya secara berurutan mulailah mendirikan rumah dengan mengerjakan pemancangan tiang pusat rumah yang disebut ”posi’bola” terlebih dahulu, menyusul pemasangan tiang tiang yang lain, hingga pekerjaan selesai dikerjakan secara keseluruhan.
Seperti kebanyakan rumah tradisional di indonesia, rumah Bugis Makassar juga dipengaruhi oleh adanya strata sosial penghuninya. Rumah tradisional Bugis-Makassar pada dasarnya terwujud dalam beberapa macam yaitu :
- Rumah Kaum Bangsawan “Arung” atau “Karaeng”.
Untuk rumah bangsawan “Arung” atau “Karaeng” yang memegang jabatan, pada puncak rumah induk terdiri dari tiga atau lebihsambulayang /timpalaja. Tiang kesamping dan kebelakang berjumlah 5 hingga 6 batang, sedang untuk bangsawan biasa jumlah tiang kesamping dan kebelakang 4 hingga 5 tiang.
- Rumah Orang Kebanyakan “Tosama”,
Untuk rumah “Tosama” atau orang kebanyakan/masyarakat umum terdiri dari 4 buah tiang kesamping dan kebelakang, puncaksambulayang/timpalaja hanya dua susun.
- Rumah Hamba sahaya “Ata” atau “Suro”,
Bentuk rumah “Ata” atau “Suro”- hamba sahaya berukuran yang lebih kecil, biasanya hanya terdiri dari tiga petak, dengan sambulayang/ timpalaja yang polos.
Pada umumnya rumah tradisional Bugis-Makassar berbentuk panggung dengan penyangga dari tiang yang secara vertikal terdiri atas tiga bagian yaitu :
- Rakkeang / Pammakkang, terletak pada bagian atas. Disini melekat plafond tempat atap bertumpu dan menaungi, juga berfungsi sebagai gudang penyimpanan padi sebagai lambang kehidupan/kesejahteraan pemiliknya. Selain itu dimanfaatkan menjadi tempat penyimpanan atribut adat kebesaran.
- Ale bola / kale balla, terletak pada bagian tengah. Dibagian ini ada sebuah tiang yang lebih ditonjolkan diantara tiang tiang lainnya. Ruangannya terbagi atas beberapa petak dengan masing – masing fungsinya. Biasanya ruang ini menjadi tempat pusat aktivitas interaksi penghuni rumah.
- Awaso / siring, terletak pada bagian bawah rumah. Bagian ini dimanfaatkan sebagai tempat penyimpanan alat cocok tanam, alat bertukang, pengandangan ternak, dan lain lain.
Sedang secara horisontal ruangan dalam rumah terbagi atas tiga bagian yaitu :
- “Lontang ri saliweng/padaserang dallekang”, letaknya diruang bahagian depan.
- “Lontang ri tengnga/padaserang tangnga”, terletak diruang bahagian tengah.
- “Lontang ri laleng / padaserang riboko”, terletak diruang bahagian belakang.
Selain ruang ruang tersebut, masih ada lagi tambahan dibagian belakang “Annasuang” atau “Appalluang”- ruang dapur, dan ruang samping yang memanjang pada bagian samping yang disebut “tamping”, serta ruang kecil di depan rumah yang disebut “lego-lego” atau “paladang”- tempat berbincang atau bercengkerama.
Sebagaimana diketahui dalam konsep arsitektur tradisional Bugis- Makassar, memandang kosmos terbagi atas tiga bagian, maka secara struktural rumah tradisional Bugis Makassar terbagi atas :
Struktur bagian bawah, Berdirinya tiang ditunjang oleh beberapa konstruksi sambungan yang disebut: “Pattoddo” (Makassar), “Pattolo”(Bugis), berfungsi untuk menghubungkan/menyambung antara tiang satu dengan tiang yang lainnya dengan arah melebar rumah. Bahan biasanya dari kayu jati, batang kelapa, dan lain-lain. “Palangga”(Makassar), “Arateng” (Bugis), terbuat dari balok pipih yang panjangnya lebih sedikit dari panjang rumah. Bahan yang digunakan dari bahan batang kelapa, lontar, bambu dan lain-lain. Fungsinya yaitu: Penahan berdirinya tiang-tiang rumah, dan Sebagai dasar tempat meletakkan pallangga caddi/tunabbe sebagai dasar tumpuan lantai. Pada rumah bangsawan jumlahnya biasanya 5 hingga 6 batang (sesuai petak rumah),untuk rakyat biasa 4 batang. Pondasi/ “Umpak”, tempat meletakkan tiang agar tidak bersentuhan langsung dengan tanah.

Struktur badan rumah, komponen komponen utama bagian ini adalah :
  1. Lantai, berdasarkan status penghuninya maka lantai rumah tradisional terdiri dari ; Untuk golongan bangsawan “Arung,lantai rumah biasanya tidak rata karena adanya “tamping” yang berfungsi sebagai sirkulasi, bahan lantai dari papan. Sedangkan untuk golongan rakyat biasa “Tosama” umumnya rata tanpa tamping. Golongan hamba sahaja “Ata” umumnya dari bambu.
  2. Dinding untuk bahan penutup digunakan gamacca, papan, dengan sistem konstruksi ikat dan jepit. Konstruksi balok anak,merupakan penahan lantai, dan bertumpu pada balok pallangga lompo/arateng. Jumlahnya ganjil dengan jarak rata-rata 20 hingga 50 cm.
Struktur dan konstruksi bagian atas rumah terdiri dari konstruksi kap/atap yang merupakan suatu kesatuan yang kokoh dan stabil untuk menahan gaya.
Komponennya terdiri atas : Balok makelar soddu” atau “suddu”. Terletak ditengah antara balok pengerat dan balok skor, berfungsi sebagai tempat kedudukan balok bubungan dan kaki kuda-kuda. Sistem konstruksinya dengan sistem ikat/takik pen, dengan ketinggian disesuaikan dengan status penghuninya. “Arung” = ½ lebar rumah + 1 siku + 1 jengkal telunjuk + 3 jari pemilik, Golongan “Tosama” = ½ lebar rumah + 1 telapak tangan, Golongan “Ata” = ½ lebar rumah + 1 siku + tinggi kepala + kepalan tangan pemilik.
Kaki Kuda – kuda “Pasolle”. Berfungsi sebagai tempat kedudukan balok-balok gording dan sebagai penahan bidang atap sistem konstruksinya menggunakan sistem ikat, takik, dan paku pen. Balok pasolla berbentuk pipih ± 3/12 cm. Balok bangunan “Coppo”, berfungsi sebagai tempat bertumpunya balok “suddu”, kaso, dan bahan atap. Sistem konstruksinya, balok bubungan diletakkan diatas balok makelar yang ditakik kemudian diperkuat dengan paku pen, dimensi balok ± 4/12 cm.
Balok pengerat “Pattoddo riase” atau “Pannoddo”, adalah balok yang menghubungkan ujung atas tiang dari tiap baris arah lebar rumah. Panjangnya lebih sedikit dari lebar rumah, dimensi 4 x 12,5 x 14, atau 6 x 15 cm. Sistem konstruksinya, bila tiang dari bahan bambu maka tiang dan balok pengerat ditakik ± 1/3 dari diameter, kemudian diikat. Bila segi empat, tiang dilubangi setebal penampang balok pengerat kemudian padongko di tusuk pada setiap lubang dari tiang. Bahan biasanya batang lontar, kelapa, jati, dan lain-lain. Balok blander “Bare” atau “Panjakkala”, adalah balok yang menghubungkan ujung atas tiang dalam arah memanjang. Fungsinya adalah sebagai ring balok, pendukung kaso, tempat memasang timpalaja dan tempat meletakkan balok rakkeang. Sistem konstruksinya biasanya menggunakan pen, ikat, dan diperkuat dengan pasak. “Barakapu”, sebagai tempat memakukan / mengikat papan lantai “Rakkeang” atau “Pammakkang”.
Rakkeang/Pammakkang, sebagai tempat penyimpan barang dan lain-lain, bahannya dapat berupa bambu atau papan. Sistem konstruksinya, jepit dan ikat.
Sambulayang” atau “Timpalaja”, merupakan bagian konstruksi atas yang berupa bidang segitiga dan dibuat berlapis. Sistem konstruksinya, rangka utama berpegang, bertumpu pada balok nok, pada kedua ujung bagian bawah terletak pada balok “Pattikkeng”.
Les plank “Ciring”, berupa papan yang dipasang pada ujung sisi depan dan belakang atap. Fungsinya sebagai penahan angin yang berpegang pada balok gording dengan sistem sambungan pen dan lubang, ujungnya kadang diberi hiasan “Ornamen”. Atap, bahan dari nipa, rumbia, alang alang, atau daun lontar. Bentuk pelana dengan sudut antara 30 hingga 40°.
Ragam Hias dan Ornamen
Ragam hias “Ornamen” pada rumah tradisional Bugis-Makassar merupakan salah satu bagian tersendiri dari bentuk dan corak rumah tradisional Bugis-Makassar. Selain berfungsi sebagai hiasan, juga dapat berfungsi sebagai simbol status pemilik rumah. Ragam hias umumnya memiliki pola dasar yang bersumber dari corak alam, flora dan fauna.
Ornamen corak alam; Umumnya bermotifkan kaligrafi dari kebudayaan islam.
Ornamen flora corak tumbuhan , Umumnya bermotifkan bunga/ kembang, daun yang memiliki arti rejeki yang tidak putus putusnya, seperti menjalarnya bunga itu, disamping motif yang lainnya.
Ornamen fauna corak binatang, Umumnya bentuk yang sering ditemukan adalah : Kepala kerbau yang disimbolkan sebagai bumi yang subur, penunjuk jalan, bintang tunggangan dan status sosial. Bentuk naga yang diartikan simbol wanita yang sifatnya lemah lembut, kekuatan yang dahsyat. Bentuk ayam jantan yang diartikan sebagai keuletan dan keberanian, agar kehidupan dalam rumah senantiasa dalam keadaan baik dan membawa keberuntungan.
Penempatan ragam hias ornamen tersebut utamanya padasambulayang/timpalaja, jendela, anjong, dan lain-lain. Penggunaan ragam hias tersebut menandakan bahwa derajat penghuninya tinggi.
Gambar 2. Rumah Tradisional Bugis Makassar

Konsep Mandar
Identitas Arsitektur Tradisional Mandar tergambar dalam bentuk rumah tradisional yang disebut ”boyang” . dikenal adanya dua jenis boyang,yaitu : ”boyang adaq” dan ”boyang beasa”. ”Boyang adaq” ditempati oleh keturunan bangsawan, sedangkan ”boyang beasa” ditempati oleh orang biasa. Pada ”boyang adaq” diberi penanda sebagai simbolik identitas tertentu sesuai tingkat status sosial penghuninya. Simbolik tersebut, misalnya ”tumbaq layar” yang bersusun antara 3 sampai 7 susun, semakin banyak susunannya semakin tinggi derajat kebangsawanan seseorang. Sedangkan pada boyang beasa, ”tumbag layar” nya tidak bersusun. Simbolik lain dapat dilihat pada struktur tangga. Pada boyang adaq, tangganya terdiri atas dua susun, susunan pertama yang terdiri atas tiga anak tangga, sedangkan susunan kedua terdiri atas sembilan atau sebelas anak tangga. Kedua susunan anak tangga tersebut diantarai oleh pararang . sedangkan boyang beasa,tangga tidak bersusun.
Rumah tradisional Mandar berbentuk panggung yang terdiri atas tiga bahagian, sama ”Ethos Kosmos” yang berlaku pada etnis Bugis Makassar. Bagian pertama disebut ”tapang” yang letaknya paling atas, meliputi atap dan loteng. Bagian kedua disebut ”roang boyang” , yaitu ruang yang ditempati manusia, dan bagian ketiga disebut ”naong boyang” yang letaknya paling bawah. Demikian pula bentuk pola lantainya yang segi empat, terdiri atas ”tallu lotang” (tiga petak). Petak pertama disebut”samboyang” (petak bagian depan), petak kedua disebut ”tangnga boyang” (petak bagian tengah) dan petak ketiga disebut ”bui’ lotang”(petak belakang).
Tatanan dan aturan rumah adat, tiga susun dan tiga petak menunjukkan makna pada filosofi orang Mandar yang berbunyi : ”da’dua tassasara, tallu tammallaesang” (dua tak terpisah, tiga saling membutuhkan). Adapun dua yang tak terpisahkan itu adalah aspek hukum dan demokrasi, sedangkan tiga saling membutuhkan adalah aspek ekonomi, keadilan, dan persatuan.
Struktur bangunan rumah orang mandar, terdiri dari bagian paling atas, yaitu ”ate” (atap). Atap rumah berbentuk prisma yang memanjang ke belakang menutupi seluruh bagian atas rumah.
Pada masa lalu, rumah-rumah penduduk, baik boyang adaq maupunboyang beasa menggunakan atap rumbia. Hal ini disebabkan karena bahan tersebut banyak tersedia dan mudah untuk mendapatkannya. Pada bagian depan atap terdapat ”tumbaq layar” yang memberi”identitas” tentang status penghuninya. Pada ”tumbaq layar” tersebut dipasang ornamen ukiran bunga melati. Di ujung bawah atap, baik pada bagian kanan maupun kiri diberi ornamen ukiran burung atau ayam jantan. Pada bagian atas penutup bubungan, baik di depan maupun belakang dipasang ornamen yang tegak ke atas. Ornamen itu disebut”teppang”.
Di bawah atap terdapat ruang yang diberi lantai menyerupai lantai rumah. Ruang tersebut diberi nama ”tapang”. Lantai tapang tidak menutupi seluruh bagian loteng. Pada umumnya hanya separuh bagian loteng yang letaknya di atas ruang tamu dan ruang keluarga. Tapangberfungsi sebagai gudang untuk menyimpang barang-barang. Bila ada hajatan dirumah tersebut, tapang berfungsi sebagai tempat menyimpan bahan makanan sebelum dihidangkan atau didistribusikan. Pada masa lalu, ”tapang” tersebut sebagai tempat atau kamar calon pengantin wanita. Ia ditempatkan pada kamar tersebut sebagai tindakan preventif untuk menjaga ”siriq” (harga diri). Untuk naik ke tapang, terdapat tangga yang terbuat dari balok kayu atau bambu. Tangga tersebut dirancang untuk tidak dipasang secara permanen, hanya dipasang pada saat akan digunakan.
Rumah orang Mandar, baik boyang adaq maupun boyang beasamengenal tiga petak ruangan yang disebut lotang. Ruangan tersebut terletak di bawah tapang yang menggunakan lantai yang terbuat dari papan atau bilah bambu. Adapun ketiga ”lotang” ruangan tersebut adalah : ”Samboyang”, yaitu petak paling depan. ”Tangnga boyang”, petak bagian tengah rumah. Petak ini berfungsi sebagai ruang keluarga, di mana aktivitas keluarga dan hubungan sosial antara sesama anggota rumah tangga. ”Bui boyang”, petak paling belakang. Petak ini sering ditempatkan ”songi” (kamar) untuk anak gadis atau para orang tua seperti nenek dan kakek. Penempatan songi untuk anak gadis lebih menekankan pada fungsi pengamanan dan perlindungan untuk menjaga harkat dan martabat keluarga. Sesuai kodratnya anak gadis memerlukan perlindungan yang lebih baik dan terjamin.
Ketiga petak di dalam roang boyang tersebut memiliki ukuran lebar yang berbeda. Petak yang di tengah biasanya lebih lebar dibanding dengan petak-petak yang lainnya. Sedangkan petak yang paling depan lebih lebar dibanding dengan petak yang paling belakang.
Khusus pada boyang adaq, di dalam roang boyang terdapat ruangan atau petak yang lantainya lebih rendah ”tambing” atau ”pelleteang”.Letaknya selalu dipinggir dengan deretan tiang yang kedua dari pinggir, mulai dari pintu depan ke belakang. Ruangan ini merupakan tempat lalu lalang anggota keluarga. Olehnya itu, pemasangan lantai yang terbuat dari papan agak dijarangkan agar berbagai kotoran, seperti debuh, pasir, dan sebagainya dapat lebih mudah jatuh ke tanah. Selain itu, ruang ini juga berfungsi untuk menerima tamu dari kalangan masyarakat biasa danata (budak).
Bangunan tambahan yang diletakkan di belakang bangunan induk disebut”paceko” (dapur). Bangunan tersebut biasanya dibuat secara menyilang dengan bangunan induk. Panjangnya minimal sama dengan lebar bangunan induk, dan lebarnya minimal sama dengan satu petak bangunan induk. Bangunan ini disertai ruang yang lapang, sehingga mempunyai banyak fungsi. Pada ”paceko” juga tersedia tempat buang air kecil yang disebut ”pattetemeangang”.
Bangunan tambahan yang ada di depan rumah yang disebut dengan”lego-lego” (teras). Bangunan ini biasanya lebih sempit dibanding dengan bangunan tambahan bagian belakang. Kendati demikian, bangunan tersebut tampak lebih indah dihiasi berbagai ornamen, baik yang berbentuk ukiran maupun yang berbentuk garis-garis vertikal dan horisontal. Fungsi bangunan ini adalah sebagai tempat sandaran tangga depan, tempat istirahat pada sore hari dan tempat duduk sebelum masuk rumah.
Rumah tradisional Mandar, baik ”boyang adaq” maupun boyang beasapada umumnya mempunyai dua tangga, yaitu tangga depan dan tangga belakang. Setiap tangga mempunyai anak tangga yang jumlahnya selalu ganjil. Jumlah anak tangga pada setiap tangga berkisar 7 sampai 13 buah. Jumlah tersebut disesuaikan dengan tinggi rumah. Pada umumnya,boyang adaq memiliki anak tangga yang lebih banyak, yaitu berkisar 11 sampai 13 buah. Sedangkan ”boyang beasa” sekitar 7 sampai 9 buah. Pada boyang adaq, tangga depannya bersusun dua dilengkapi dengan pasangan. Sedangkan ”boyang beasa”, tangganya tidak bersusun dan tidak dilengkapi pegangan.
Terdapat ruang di bawah lantai yang disebut ”naong boyang” (kolong rumah). Pada masa lalu, kolong rumah hanya berlantai tanah. Ditempat itu sering dibuatkan ”rambang” sebagai kandang ternak. Ada kalanya sebagai tempat manette (menenun) kain sarung bagi kaum wanita.
Bagian yang lain pada rumah adalah rinding (dinding). Dinding rumah terbuat dari kayu (papan) dan bambu (taqta dan alisi ). Pada umumnya,boyang adaq mempunyai dinding yang terbuat dari papan. Sedangkanboyang beasa selain berdinding papan, juga ada yang berdinding taqtadan alisi, rumah yang berdinding taqta dan alisi, penghuninya berasal dari golongan ata (beasa). Dinding rumah dirancang dan dibuat sedemikian rupa sesuai tinggi dan panjang setiap sisi rumah dan dilengkapi jendela pada setiap antara tiang. Hal itu dibuat secara utuh sebelum dipasang atau dilengketkan pada tiang rumah. Pembuatan dinding seperti itu dimaksudkan untuk lebih memudahkan pasangannya, demikian pula untuk membukanya jika rumah tersebut akan dibongkar atau dipindahkan.
Mendirikan rumah ”boyang” melalui suatu tahapan kegiatan yang meliputi persiapan, membangun ”boyang” dan hasil kegiatan berupa ”bangunan” atau rumah tradisional. Dalam proses persiapan ada beberapa hal yang patut diperhitungkan, yaitu bahan baku yang tersedia dari lingkungan alam sekitar (lokal) maupun dari luar (dari daerah lain), menyiapkan ”pappapia buyang” (tukang dan ahli) sesuai latar belakang sosial budaya penghuninya. Gaya arsitektur tradisional banyak dipengaruhi oleh jenis bahan baku yang tersedia disekitar lingkungan alam setempat.
Gambar 5. Boyang Adaq Mandar
Suatu bangunan rumah ”boyang” tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi memiliki nilai dan makna tersendiri sesuai dengan adat istiadat masyarakat tradisional Mandar. Olehnya itu, suatu rumah tradisional memiliki ciri khas terutama pada tipologi, interior/eksterior, dan ornamen yang ada didalamnya.
Membangun rumah tradisional mandar memerlukan beberapa rangkaian kegiatan seperti musyawarah antar sesama keluarga atau kerabat, pemilihan lokasi atau tempat mendirikan rumah, dan pengadaan bahan baku untuk tiang, lantai, atap dan sebagainya.
Bagi orang Mandar, setiap akan membangun rumah ”boyang” senantiasa didahului dengan suatu pertemuan antara seluruh keluarga atau kerabat. Dalam pertemuan tersebut dilakukan musyawarah, yang biasanya dipimpin oleh anggota keluarga yang lebih tua dan banyak tahu tentang nilai-nilai dan adat istiadat dalam masyarakat tradisionalnya. Untuk mendapatkan hasil yang baik dalam pelaksanaan musyawarah dihadirkan pula pappapia boyang (tukang ahli rumah). Musyawarah lebih diutamakan pada penilaian status sosial yang akan menempati rumah tersebut. Sebab dari status sosial yang akan menempati rumah tersebut. Dapat diketahui jenis dan bentuk rumah yang akan dibangun. Kalau yang bersangkutan berstatus bangsawan, maka jenis rumah yang akan dibangun adalah ”boyang adaq”, bila yang bersangkutan berasal dari golongan masyarakat biasa, maka rumah yang akan dibangun adalah”boyang beasa”. Dalam musyawarah tersebut penilaian dan penentuan susunan tumbaq layar juga dibicarakan.
Pemilihan waktu mendirikan ”boyang” juga sangat penting, karena terkait dengan kepercayaan masyarakat tradisionalnya. Menurut mereka, ada waktu yang baik dan ada waktu yang buruk. Waktu yang baik selalu dihubungkan dengan ”keberuntungan” dan ”keselamatan”.Pemilihan waktu. Sedangkan waktu yang buruk selalu dihubungkan dengan ”bala”, bencana dan ketidak mujuran, karena itu kegiatan awal dalam memulai mengerjakan rumah senantiasa berpedoman pada waktu-waktu baik, hari-hari baik adalah senin, kamis, dan jumat. Bulan-bulan tertentu dianggap kurang baik, seperti Muharram, Syafar, Jumadil Awal, dan Dzulkaiddah.
Pemilihan tempat mendirikan ”boyang” sangat terkait dengan kepercayaan tradisi masyarakat tentang adanya tanah yang baik dan kurang baik untuk dibanguni ”boyang”. Tanah yang baik adalah tanah yang agak keras, tidak lembek. Biasanya berada pada daerah yang relatif sedikit tinggi atau bukit. Selain itu, tanah tersebut sebaiknya ”berbau wangi”. Tanah seperti ini memberi makna keharuman, agar keluarga mereka kelak dapat memperoleh kebahagiaan, keharmonisan dalam rumah tangga.
Orientasi rumah ”boyang” yang paling baik adalah berorientasi pada arah yang mengandung makna positif, yaitu arah timur tempat matahari terbit. Arah pergerakan matahari yang menanjak naik mengandung makna kebaikan, yaitu selalu bertambah ”naik” . dalam pengertian ini, yang diharapkan selalu bertambah adalah nasib baik, terutama rezki dan amal kebijakan. Dengan arah rumah ketimur, cahaya matahari pagi dapat menyinari ruang lego-lego hingga kedalam rumah. Setelah agama Islam masuk di daerah Mandar, maka muncullah pandangan baru bahwa arah barat juga baik. Arah barat dianggap menghadap ke kiblat.
Sedangkan bahan bangunan diusahakan dan diambil dari lingkungan alam sekitar. Penebangan ayu (kayu) dan bambu biasanya disesuaikan dengan waktu baik. Waktu-waktu baik adalah sama halnya pada saat memulai membangun rumah ”boyang”. Pada saat menebang kayu, yang pertama harus ditebang adalah bahan untuk membuat possi arring (tiang pusat). Jenis kayu yang diperuntukkan untuk possi arring tidaklah sembarang, biasanya kayu ”sumaguri” dan ”cawe-cawe” . kedua jenis kayu tersebut mengandung makna simbolis. Untuk jenis sumaguri mengandung makna ”empati kepada seluruh masyarakat”. Jadi, jenis kayu tersebut banyak digunakan pada possi arriang rumah adaq. Sedangkan jenis kayu cawe-cawe mengandung makna ”semangat atau mengairahkan”. Jenis kayu tersebut pada umumnya digunakan untuk ”possi arriang” rumah biasa. Hal ini dimaksudkan agar penghuninya kelak senangtiasa bersemangat atau bergairah dalam mengarungi kehidupan dunia.
Penebangan kayu untuk ”possi arriang” harus dilakukan oleh ”sando boyang”. Sebelum melakukan penebangan, ”sando boyang” melakukan upacara ritual yang dilakukan sendiri dirumahnya. Waktu penebangan diupayakan pada hari-hari baik. Adapun hari baik menebangan kayu untuk ”possi arriang” adalah hari ke 14 terbitnya bulan, orang Mandar menyebutnya ”tarrang bulan” (terang bulan), atau pada hari ke delapan sebelum tenggelamnya bulan. Penebangan kayu dilakukan pada pagi hari sekitar jam 09.00. Penebangan kayu dapat dilakukan oleh beberapa orang, tetapi pekerjaannya harus dimulai oleh sando boyang. Ada hal yang penting untuk diperhatikan dan diperhitungkan pada saat menebangan kayu, yaitu kayu tersebut harus tumbang dan jatuh kearah matahari terbit. hal ini dimaksudkan agar cahaya matahari senantiasa menerangi rumah yang akan dibangun. Dalam pengertian ini terdapat makna simbolis, bahwa diharapkan kelak rumah yang akan dibangun itu senantiasa dalam kondisi yang terang bercahaya.
Pembangunan rumah tradisional ”boyang”, dimulai dari pembuatan tiang ”arriang”. Setiap rumah memiliki tiang minimal 20 batang. Tiang tersebut diatur dan disusun berjejer kesamping dan kebelakang. Setiap jejeran ke samping biasanya terdiri atas lima batang. Sedangkan jejeran ke belakang biasanya empat batang (tidak termasuk tiang paceko). Kelima tiang yang berjejer ke samping diupayakan memiliki lekukan dan bengkok yang sama. Dalam pembuatan ”arriang”, pekerjaan pertama yang harus dibuat adalah ”possi arriang” (tiang pusat). Setelah ”possi arriang” usai dikerjakan, maka dilanjutkanlah pekerjaan pada seluruh tiang rumah lainnya. Pekerjaan seluruh tiang tersebut harus diperhatikan ujung-pangkalnya. Semua tiang pangkalnya harus berada di bawah, tidak boleh terbalik.
Bagi rumah tradisional yang mempunyai paceko dan lego-lego, maka harus menggunakan minimal lima tiang tambahan untuk Paceko dan dua atau empat tiang untuk lego lego.
Rumah tradisional Mandar yang terdiri atas tallu lontang, jumlah pasak yang dibutuhkan sebanyak 18 buah. Pasak tersebut terdiri atas empat untuk passolor, empat untuk baeq, lima araiang diaya dan aratang naong. Selain itu, bilamana rumah tersebut mempunyai tambing, maka harus ditambah lagi aratang diaya dan aratang naong masing-masing satu buah. Bila rumah tersebut ditambah paceko, maka harus ditambah lagi passollor dan baeq sebanyak lima buah. Sedangkan aratang diayadan aratang naong masing-masing dua buah. Selain pasak, terdapat pula balok kayu yang bentuknya pipih menyerupai pasak. Kayu ini disebutpambalimbungan (tulang punggung, paling diatas tempatnya). Jumlahnya tiga buah, masing-masing satu buah untuk rumah induk,paceko dan lego-lego.
Lantai rumah tradisional Mandar terbuat dari papan (kayu) dan lattang,”Lattang” biasanya dipilih tarring (bambu) yang besar dan sudah tua.Lattang ini biasanya dipakai pada lantai paceko.
Dinding rumah tradisional Mandar pada umumnya terbuat dari papan,alisi dan taqta. Pada dinding sisi depan rumah, biasanya dilengkapi tiga”pepattuang” (jendela) dan satu ”ba’ba” (pintu). Dinding sisi depan ini biasanya dilengkapi ornamen pada bagian luar di bawah jendela. Pada dinding sisi kanan dan kiri rumah biasanya juga dilengkapi denganpepattuang sebanyak dua atau tiga buah.
Pepattuang berbentuk segi empat yang rata-rata terdiri atas dua daun jendela yang berukuran sekitar 100 x 40 cm. Daun jendela itu dapat dibuka ke kiri dan ke kanan. Letak pepattuang biasanya berada antara dua buah tiang rumah. Untuk memperindah, pepattuang ini biasanya diberi ornamen berupa ukiran dan terali dari kayu yang jumlahnya selalu ganjil. Terali-terali tersebut ada yang dipasang secara vertikal dan ada yang horisontal. Secara vertikal mempunyai makna hubungan yang harmonis dengan Tuhannya. Sedangkan secara horisontal mempunyai makna hubungan yang harmonis dengan sesama manusia. Pemasangan ornamen seperti itu hanya tampak pada jendela yang ada di bagian depan dan sisi kiri kanan rumah. Pemasangan ornamen berupa ukiran dan terali-terali juga dapat dilihat pada bangunan tambahan di depan rumah, yaitu lego-lego.
Prosesi ritual menurut kepercayaan masyarakat tradisional Mandar biasanya dimulai dari ”possi arriang”. Pada ”possi arriang” diikat lipaq(sarung) dan mukena atau kebaya. Sarung melambangkan jiwa laki-laki dan kebaya atau mukena sebagai jiwa perempuan. Kedua jiwa tersebut harus menyatu di dalam ”possi arriang” kemudian tiang ”possi arriang”disiram dengan air dari dalam cerek. Air yang tersisa di dalam cerek tadi dimasukkan dalam botol kemudian digantung pada ”possi arriang” . segala bahan kelengkapan upacara mattoddoq boyang, seperti tebu, pisang, kelapa juga digantung pada ”possi arriang” . Bahan kelengkapan upacara biasanya digantung setelah rumah berdiri.
Bilamana rumah ”boyang” akan diberi tambahan bangunan, sepertipaceko dan lego-lego, maka setelah bangunan induk berdiri tegak dilanjutkan pendirian tiang paceko. Tambahan untuk Paceko biasanya terdiri atas satu deretan tiang yang jumlahnya enam batang ditambah satu batang di dekat tangga belakang. Setelah tiang berdiri, dilanjutkan pemasangan aratang naong dan aratang diaya yang dikuatkan denganpassanna. Seluruh tiang paceko juga diberi batu arriang. Setelah pendirian tiang paceko, dilanjutkan pula pada pendirian tiang lego-lego.Untuk boyang adaq, jumlah tiang lego legonya sebanyak empat batang. Sedangkan boyang beasa jumlah tiang lego legonya sebanyak dua batang.
Ragam Hias dan Ornamen
Pada umumnya rumah tradisional, baik rumah bangsawan maupun rumah orang biasa di tana Mandar, memakai ”ragam hias ornamen”.Pada bagian atap, dinding, plafon dan sebagainya. ”Ornamen” selain berfungsi sebagai hiasan atau ornamen, juga berfungsi sebagai identitas sosial, dan makna-makna budaya dalam masyarakat. Corak “ornamen”umumnya bersumber dari alam sekitar manusia seperti flora, fauna, gambaran alam, agama dan kepercayaan namun tidak semua flora, fauna dan sebagainya dapat dijadikan corak “ornamen”.
Konsep Toraja
Etnis Toraja mendiami dataran tinggi di kawasan utara Sulawesi Selatan. Pada umumnya wilayah permukiman masyarakat Toraja terletak di pegunungan dengan ketinggian 600 hingga 2800m di atas permukaan laut. Temperatur udara kawasan permukiman masyarakat Toraja berkisar pada 150 hingga 300C. Daerah ini tidak berpantai, budayanya unik, baik dalam tari-tarian, musik, bahasa, makanan, dan kepercayaanAluktodolo yang menjiwai kehidupan masyarakatnya. Keunikan itu terlihat juga pada pola permukiman dan arsitektur tradisional rumah mereka, upacara pengantin serta ritual upacara penguburannya.
Kondisi Tana Toraja, tang dipegunungan dan berhawa dingin diduga mendasari ukuran pintu dan jendela yang relatif kecil, lantai dan dindingnya dari kayu yang tebal. Ukuran atap rumah tradisional Toraja yang terbuat dari susunan bambu sangat tebal. Wujud konstruksi ini sangat diperlukan untuk menghangatkan temperatur udara interior rumah.
Masyarakat Tradisional Tana Toraja didalam membangun rumah tradisional mengacu pada kearifan budaya lokal–Kosmologi mereka yaitu :
  • Konsep ‘pusar’ atau ‘pusat rumah’ sebagai paduan antara kosmologi dan simbolisme
  • Dalam perspektif kosmologi, rumah bagi masyarakat Toraja merupakan mikrokosmos, bagian dari lingkungan makrokosmos.
  • Pusat rumah meraga sebagai perapian di tengah rumah, ataupun atap menjulang menaungi ruang tengah rumah dimana atap menyatu dengan asap-father sky
  • Pusat rumah juga meraga sebagai tiang utama, seperti a’riri possidi Toraja, possi bola di Bugis, pocci balla di Makassar dimana tiang menyatu dengan mother earth
Pada masyarakat tradisional Toraja, dalam kehidupannya juga mengenal filosofi “Aluk A’pa Oto’na” yaitu empat dasar pandangan hidup : Kehidupan Manusia, kehidupan alam leluhur “Todolo”, kemuliaan Tuhan, adat dan kebudayaan. Keempat filosofi ini menjadi dasar terbentuknya denah rumah Toraja empat persegi panjang dengan dibatasi dinding yang melambangkan “badan” atau “Kekuasaan”. Dalam kehidupan masyarakat toraja lebih percaya akan kekuatan sendiri,“Egocentrum”. Hal ini yang tercermin pada konsep arsitektur rumah mereka dengan ruang-ruang agak tertutup dengan “bukaan” yang sempit.
Selain itu konsep arsitektur tradisional toraja, banyak dipengaruhi oleh ethos budaya “simuane tallang” atau filosofi “harmonisasi” dua belahan bambu yang saling terselungkup sebagaimana cara pemasangan belahan bambu pada atap rumah adat dan lumbung. Harmonisasi didapati dalam konsep arsitektur “Tongkonan” yang menginteraksikan secara keseluruhan komponen “tongkonan” seperti : Rumah, lumbung, sawah, kombong, rante dan liang, didalam satu sistem kehidupan dan penghidupan orang toraja didalam area tongkonan. Selain itu, makro dan mikro kosmos tetap terpelihara didalam tatanan kehidupan masyarakat tradisional toraja, dimana rumah dianggap sebagai “mikrokosmos”.
Gambar 3. Kosmologi dalam arsitektur Toraja
Sumber : Tjahjono, Ed., 1999
Gambar 4. Rumah tradisional Tongkonan Toraja
Tata letak rumah tongkonan berorientasi Utara – Selatan, bagian depan rumah harus berorientasi Utara atau arah Puang Matua “Ulunna langi’”dan bagian belakang Rumah ke Selatan atau arah tempat roh-roh “Pollo’na Langi’”. Sedangkan kedua arah mata angin lainnya mempunyai arti kehidupan dan pemeliharaan, pada arah Timur dimana para Dea “Dewata” memelihara dunia beserta isinya ciptaan “Puang Mutua”untuk memberi kehidupan bagi manusia, dan arah Barat adalah tempat bersemayam “To Membali Puang” atau tempat para leluhur “Todolo”. Atau selalu ada keseimbangan hidup di dunia dan akhirat. Kesemuanya ini diterjemahkan menjadi satu kata sederhana yaitu “keseimbangan”dan secara arsitektural “keseimbangan” selalu diaplikasikan kedalam bentuk “simetris” pada bangunan. Dari sini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa prinsip dasar Arsitektur Tradisional Toraja adalahsimetris, keterikatan dan berorientasi.

Rumah Adat Tradisional Tongkonan.
Tongkonan, rumah adat Toraja adalah merupakan bangunan yang sangat besar artinya, karena peranannya yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Toraja. “Tongkonan” dalam fungsinya terbagi menjadi 4 macam tingkatan yaitu :
- “Tongkonan Layuk”, kedudukannya sebagai rumah tempat membuat peraturan adat istiadat.
- ” Tongkonan Pokamberan/Pokaindoran”, yaitu rumah adat yang merupakan tempat melaksanakan aturan dan perintah adat dalam suatu masalah daerah.
- “Tongkonan Batu A’riri”, yaitu tongkonan yang tidak mempunyai peranan dan fungsi sebagai tempat persatuan dan pembinaan keluarga dari keturunan pertama tongkonan itu, serta tempat pembinaan warisan, jadi mempunyai arti sebagai tiang batu keluarga.
- “Tongkonan Pa’rapuan”, fungsinya sama dengan Tongkonan Batu A’riri tetapi tidak boleh diukir seperti tiga tongkonan diatas dan tidak memakai Longa.
Sedangkan fungsi dan kegunaan penataan lantai bangunan tradisional rumah adat Toraja, dibedakan atas :
- ”Banua Sang Borong” atau ”Banua Sang Lanta”, adalah rumah untuk para Pengabdi kepada Penguasa Adat, pada jaman sekarang ini banyak didapati di kebun kebun. Pada rumah ini hanya terdapat satu tiang untuk melaksanakan kegiatan sehari hari.
- ”Banua Dang Lanta’’”, adalah bangunan yang tidak mempunyai peranan adat seperti ”Tongkonan Batu A’riri” yang terdiri dari dua ruang yaitu Sumbung sebagai tempat tidur dan Sali sebagai dapur.
- ”Banua Tallung Lanta’’”, yaitu bangunan pemerintahan adat Toraja yang mempunyai tiga ruang. Ruang ruang itu adalah Sumbung, Sali dan Tangdo’ yang berfungsi sebagai tempat upacara pengucapan syukur dan tempat istirahat tamu tamu.
- ”Banua Patang Lanta’’”, yaitu bangunan tongkonan tertua dari penguasa adat yang memegang fungsi adat ”Togkonan Pasio’ aluk”.
Dalam proses pembangunan bangunan tradisional Toraja ini pengerjaannya dibagi menjadi 2 tahap yaitu :
- ”Tahap Mangraruk”, yaitu sebagai pekerjaan permulaan untuk mengumpulkan seluruh bahan bahan bangunan yang diperlukan .
- ”Tahap Ma’ Tamben” atau ”Ma’ Pabendan”, yaitu membangun suatu tempat untuk menyimpan bahan bangunan yang dinamakan “Barung” atau ”Loko Pa’ Tambenan”, dimana semua bahan bangunan diolah diukur untuk persiapan pendirian bangunan tersebut.
Setelah semua pekerjaan tersebut diatas sudah selesai, dilanjutkan dengan pengerjaan ”Ma’ Pabendan”. Pekerjaan ini adalah pekerjaan permulaan dari pembangunan karena semua bahan bangunan sudah disiapkan, melalui tahap-tahap sebagai berikut :
- ”Tahap Pabenden Leke’”, yaitu tempat membuat bangunan yang merupakan tempat mendirikan bangunan sampai selesai. Jadi bangunan rumah adat Toraja selama didirikan seolah olah tidak terkena sinar matahari dan hujan.
- ”Tahap No’ton Parandangan’”, yaitu mengatur dan menanam batu pondasi yang dipahat atau asli yang sudah cukup baik untuk menjadi batu pondasi.
- ”Tahap Ma’ Pabendan’”, yaitu mendirikan tiang tiang bangunan utama diatas batu parandangan yang sudah diatur dalam ukuran persegi panjang.
- ”Tahap Ma’ A’riri Posi’”, yaitu mendirikan satu tiang tengah bangunan yang merupakan salah satu tiang yang mempunyai arti dalam pembangunan rumah adat Toraja.
- ”Tahap Ma’ Sangkinan Rindingan”, yaitu pekerjaan memasang dinding pengosokan berjejer keliling bangunan dan kayu Sangkinan Rindingan ini sama besar dan tingginya begitu pula pada jarak pemasangannya kecuali pada bagian sudut bangunan.
- ”Tahap Ma’ Kamun Rinding”, yaitu pemasangan semua dinding yang dimasukkan dari atas ke dalam Sangkinan Rinding melalui semacam jaluran rel sebagai bingkai yang terpasang mati.
- ”Tahap Ma’ Petuo”, yaitu pemasangan 4 buah kayu Ma’ Petuo sebagai tumpuan bagi kayu bubungan.
- ”Tahap Ma’ Kayu Beke’i”, yaitu pemasangan kayu diatas kayu Ma’ Petuo sebagai tempat mengatur kayu kayu membentuk segitiga dengan badan rumah.
- ”Tahap Ma’ Paleke’ Indo Tekeran”, yaitu semua kayu yang panjangnya 3,5 m, dengan persilangan pada ujung atasnya dan ujung bawahnya disambung pada kayu Rampanan Papa’ sebagai tempat mengatur kayu kecil kecil yang bernama Tarampak.
- ”Tahap Ma’ Rampani”, yaitu tempat menumpunya kayu Rampanan yang fungsinya mengikat dan mengatr atap.
- ”Tahap Ma’ Palaka Indo’ Para”, yaitu merupakan bagian depan agak miring dari bagian atap bangunan.
- ”Tahap Ma’ Paringgi”, yaitu pemasangan kayu pamiring yang membentuk longa dan berpangkal pada kayu Rampanga Papa Longa.
- ”Tahap Ma’ Pabendan Tulak Somba”, yaitu pemasangan kayu Tulak Somba menopang bagian depan dan bagian belakang Longa.
- ”Tahap Ma’ Benglo Longa”, yaitu tangga pembantu pemasangan semua bagian dari Longa dan bila telah selesai maka Ma’ Benglo Longa dibongkar.
- ”Tahap Ma’ Papa”, yaitu merupakan pekerjaan yang sangat berat karena pemasangan Tarampak sampai ke bubungan tidak boleh berhenti.
Semua bangunan rumah adat Toraja mempunyai peranan dan fungsi tertentu, fungsi fungsi tersebut tidak akan berubah sepanjang letak dari bangunan itu tidak berubah yaitu atap menghadap keutara sebagai orientasi bangunan. Faktor inilah yang menyebabkan konstruksi dan arsitektur bangunan tetap sebagai dasar perancangan Tongkonan, karena adanya hubungan pandangan keyakinan yang kuat dan tidak dapat dipisahkan dari bangunan.
Jadi bagian bagian dari rumah adat Toraja pulalah yang menentukan struktur arsitekturnya antara lain ; rumah adat Toraja dibagi atas 2 bagian besar yaitu dengan menarik garis besar dari utara ke selatan yang dibedakan dengan nama Kale Banua Matallo dan Kale Banua Matumpu’ yaitu bagian rumah sebelah timur dan bagian rumah sebelah barat.
Sedangkan bagian luar dan dalam dibagi sebagai berikut :
Interior rumah adat Toraja.
- ”Suluk Banua”, yaitu kolong dari bangunan rumah yang dibentuk oleh tiang tiang yang dihubungkan oleh sulur yang dinamakan roroan. Peranannya sebagai tempat mengurung hewan hewan ternak pada malam hari untuk menjaga tuannya diatas rumah.
- ”Kale Banua”, yaitu bagian badan dari bangunan yang terdiri dari ruang/petak mulai utara ke selatan.
- ”Pentiroan”, yaitu jendela jendela pada seluruh badan rumah yang kelihatan pada 4 sisi. Jendela jedela itu adalah :
  • Pentiroan Tingayo”, yaitu 2 buah jendela yang terletak dibagian muka rumah menghadap ke utara. Jendela ini dapat terbuka dan tertutup setiap saat.
  • Pentiroan Matallo”, yaitu jendela yang terletak disebelah timur bangunan, pemasangannya pada tengah bangunan pada ruang tengah. Jendela ini dibuka pada pagi hari dan dibuka terus pada waktu upacara pengucapan syukur.
  • Pentiroan Mampu’ ”, yaitu jendela yang terletak disebelah barat bangunan. Jendela ini dibuka pada waktu ada upacara pemakaman orang mati.
  • Pentiroan Pollo’ Banua”, yaitu jendela yang terletak dibelakang rumah menghadap ke selatan. Jendela ini terbuka terus pada waktu upacara kematian atau bila didalamnya ada orang yang sakit.
- ”Longa” bagian menjulang dari atap bangunan di sebelah utara dan selatan. Lobang ini berjumlah 3 buah dan tidak tertutup dengan ukuran 10 x 15 cm.
- ”Rattiang” atau disebut juga loteng yaitu bagian atas dari rumah yang sebagian ditutupi atap. Berfungsi untuk menyimpan peralatan dan pakaian upacara adat.


Exterior rumah adat Toraja.
- ”Tingayo Banua” atau ”Lindo Banua”, yaitu bagian muka bangunan yang digunakan sebagai tempat melakukan upacara pengucapan syukur dan pemujaan.
- ”Matallo Banua”, yaitu bagian sebelah timur atau kanan bangunan sebagai tempat acara pemujaan kepada Deata.
- ”Matampu Banua”, yaitu bagian bangunan sebelah barat.
- ”Pollo Banua”, yaitu bagian belakang bangunan sebagai tempat pelepasan orang mati.
Ragam Hias dan Ornamen
Ragam hias “Ornamen” rumah adat Toraja adalah sebagai berikut :
- ”Kabongo”, yaitu kayu yang dibentuk seperti kepala kerbau dengan tanduk asli tanduk kerbau yang mengartikan bahwa Tongkonan ini adalah Tongkonan pemimpin masyarakat dengan kata lain tempat melaksanakan peranan dan kekuasaan adat Toraja.
- “Katik” adalah bentuk kepala aya jantan yang berkokok. Perletakan Katik ini adalah diatas kuduk dari Kabongo yang mengartikan pimpinan yang menjalankan pemerintahan pada masyarakat tertentu.
- “A’riri Posi’” yaitu tiang tengah pada bangunan rumah adat Toraja yang hampir kelihatan berdiri sendiri diantara ruang selatan dan ruang tengah.
- “Tulak Somba” yaitu tiang tinggi penopang ujung depan dan belakang bangunan adat Toraja yang dinamakan Longa. Fungsinya sebagai tiang penopang sekaligus tempat melekatnya tanduk karbau hasil pesta mendirikan rumah.
- “Passura” yaitu ukiran tradisional pada bangunan adat Toraja yang bukan hanya sebagai hiasan, tetapi melambangkan sesuatu hal atau kegiatan serta problem kehidupan masyarakat.

“Arsitektur Tradisional Sulawesi Selatan, Dari Masa Kemasa.
Perkembangan arsitektur tradisional dipengaruhi oleh banyak faktor seperti : waktu, pengaruh budaya luar, pola hidup, ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang. Dari masa lampau hingga masa kini ada 4 masa perkembangannya yang dapat ditelusuri yaitu : Masa arsitektur tradisional, Masa arsitektur klassik, Masa arsitektur modern serta Masa arsitektur post modern.
Masa arsitektur tradisional : pada masa ini budaya asli dan pola hidup masyarakat tradisional berkembang didalam masyarakat tanpa ada pengaruh luar, arsitektur tradisional merupakan pilihan satu-satunya. Secara tradisi, bangunan hanya berfungsi sebagai rumah tinggal ataupun sebagai tempat bermukim keluarga.
Arsitektur tradisional sangat dipengaruhi oleh keadaan dan potensi alam sekitarnya yang sering diambil menjadi motif utama pemberi corak. Terutama pengaruh iklim, curah hujan, tumbuh-tumbuhan yang dipakai sebagai bahan bangunan dan batu-batuan. Arsitektur tradisional Toraja misalnya, mempunyai sudut kemiringan atap yang tajam karena curah hujan di daerah ini besar. Bambu dipakai sebagai atap dan plafound karena banyak hutan bambu di Tana Toraja. Demikian pula halnya bahan kayu yang dipakai sebagai tiang dan dinding.
Perihal ragam hias ornamen arsitektur tradisional Sulawesi Selatan yang sering ditemukan dan banyak memberi warna, dipakai menghiasi dinding dan tiang sesuai tradisi masing masing etnis. Ornamen dipakai sebagai ungkapan arti simbol simbol suatu benda yang dianggap mempunyai arti khas dalam penghidupan dan kehidupan masyarakat tradisional etnis bersangkutan.
Masa Arsitektur Klassik adalah masa berkembangnya arsitektur klassik dari Eropa yang masuk ke Indonesia. Arsitektur Klassik disebut pula “Arsitektur Kolonial” karena gaya ini hadir pada zaman kolonial. Model arsitektur klasik sangat berbeda dengan arsitektur tradisional. Perbedaan itu terlihat dalam hal konsep, prinsip dasar, bentuk tata ruang, bahan bangunan, struktur dan konstruksi. Sejak masa ini, arsitektur tradisional mulai tersisihkan.
Arsitektur Klasik mencakup gaya Renaissance, Ghotic dan Barouq. Gaya arsitektur ini lebih dikenal melalui rancangan Istana Raja dan Gereja di Eropa, yang kemudian menyebar keseluruh dunia seiring penyebaran agama Katolik dan Protestan.
Gaya gaya klasik ini terlihat pada Gereja yang lebih menekankan pada konsep sakral yaitu : Manusia itu kecil dihadapan Tuhan. Para arsitektur menerjemahkannya kedalam bahasa non verbal dengan menampilkan bangunan, ruangan atau komponen bangunan yang berskala mega atau melampaui skala manusia. Misalnya, bangunan besar dengan lantai atau permukaan tanah yang ditinggikan, kolom yang besar, ruangan yang sangat luas dan plafond tinggi dan berorientasi keatas. Cara penyelesaian arsitektur seperti ini dikenal sebagai cara untuk memperoleh wibawa dan menekankan perasaan manusia yang berada di dekatnya atau didalamnya sehingga merasa lebih kecil dan tidak berarti didekat bangunan atau kolom yang besar, atau didalam ruangan yang luas dengan plafond yang tinggi itu. Disini peran proporsi dan skala dari bangunan, ruang dan komponen sangat penting.
Dimasa arsitektur klassik ini, penggunaan bahan bangunan, tata ruang, bentuk bangunan, struktur dan konstruksi menjadi lain. Bahan bangunan lokasi seperti ; kayu, bambu, dan rerumputan untuk bahan atap mulai kurang dipakai. Karena semen, batu merah, beton dan besi jauh lebih menjamin kekuatan dan keawetan bangunan. Arsitektur tradisional yang lebih mengutamakan penggunaan bahan bangunan alamiah mulai dilupakan.
Gaya arsitektur klassik terus tumbuh, berkembang dan mewarnai karakter berbagai bangunan penting, tidak hanya pada Gereja tetapi juga bangunan Pemerintah Kolonial dan perumahan mereka. Begitupun ketika pedagang Cina, masuk ke Indonesia, mereka juga membawa gaya arsitektur Cina, seperti terlihat pada rumah ibadah “Klenteng” dan perumahan didalam “Kampung Cina” yang masih dapat dilihat di beberapa kota besar di Indonesia.
Masa Arsitektur Modern : Konsep arsitektur modern menekankan faktor“fungsionalisme” dan “efesiensi” . Ilmu pengetahuan dan teknologi arsitektur modern memberi warna lain bagi perkembangan kearsitekturan, misalnya desain dan teknologi bahan bangunan. Konsep arsitektur modern pada dasarnya lebih menekankan fungsionalisme dan efesiensi yang mengutamakan kenikmatan penghuni dan keleluasaan ruang gerak manusia. Pemakaian bahan bangunan pun menjadi lebih bebas dan beragam.
Dalam perkembangan selanjutnya, arsitektur modern ini mendominasi karya-karya arsitektur di Indonesia. Ternyata arsitektur modern sebagai suatu konsep yang mengutamakan fungsionalisme dan efisiensi itu lebih mampu mewadahi aktifitas manusia moderen sampai sekarang.
Masa Arsitektur Post-Modern adalah model arsitektur masa kini. Arsitektur Post –Modern ini memunculkan kembali arsitektur tradisional. Ini juga menjadi suatu pertanda bahwa arsitektur di Indonesia sedang mencari bentuk lain seiring dengan kecenderungan masyarakat dan para arsitek memanfaatkan warisan budaya masa lampau untuk menemukan identitas baru yang dapat dipakai sebagai simbol dalam era globaliasi ini. Identitas, karakter dan ciri khas sangat penting untuk dihadirkan kembali. Pada masa ini, funsionalisme dan efisiensi menjadi tidak mengikat lagi, mulai tidak dipersoalkan.
Gaya arsitektur Post-Modern yang sedang melanda dunia kearsitekturan juga merambah masuk ke Indonesia melalui kota-kota besar. Gaya post-modern ini lebih menonjolkan simbolisme, klasik, ornamen, warna-warni dan bentuk yang unik. Nampaknya gaya ini menoleh dan menggali dan memanfaatkan keunikan arsitekturan tradisional dan seni masa lampau untuk berimajinasi ke masa depan.
Gaya arsitektur tradisional yang beranekaragam di Indonesia menjadi sumber inspirasi utama dalam pengayaan gaya post-modern ini selanjutnya. Beberapa arsitektur modern masa kini, dirancang dan dibangun dengan mengawinkannya dengan unsur-unsur arsitektur tradisional tetapi terkadang bauran dengan unsur tradisional itu sendiri, menjadi rancu akibat dari perbedaan prinsip dasar, filosofi dan konsepnya. Masalah lain akan timbul bila dua macam atau lebih arsitektur tradisional yang berbeda disatukan di dalam satu gubahan arsitektur, seperti Toraja dengan Bugis, Toraja dengan Bali, Toraja dengan Jawa, atau kombinasi lainnya. Meskipun demikian arsitektur tradisional masih memiliki dan menampilkan persamaan yaitu : unsur vertikal dan horisontal. Bahkan kedua unsur ini dapat ditemukan pada seluruh gaya arsitektur tradisional di Indonesia.
Pada arsitektur masa kini dimana modernitas dan tradisional muncul bersamaan, nampaknya ada kecenderungan untuk menjawab keinginan masyarakat tampil lebih eksis, beridentitas etnis dan menyatakan status sosial melalui arsitektur tradisional sebagai simbol agar mempunyai“nilai Aktualisasi” . Cara pernyataan diri ini menjadi lebih menarik karena tradisionalisme ditarik hadir dalam pola hidup modern. Kemudian muncullah masalah-masalah akibat benturan antara tradisional dengan modernitas. Unsur tradisional memang hadir tetapi lepas dari prinsip dasar dan norma norma khasnya.
Konsepsi Arsitektur Tradisional Sulawesi Selatan Sebagai Reinkarnasi “Karakter” Pengembangan Kawasan Budaya Dan Pariwisata Lokal.
Sulawesi Selatan secara geografis terletak pada 0012’~80 Lintang Selatan dan 116048’~122036’ Bujur Timur. Temperatur udara sekitar 26,90C, yaitu antara 22,30C ~ 34,50C. Daerah ini merupakan Jazirah Barat Daya Pulau Sulawesi, dengan daerah dataran, pegunungan dan lautan. Letaknya berada di daerah katulistiwa hingga masyarakatnya berpeluang hampir sepanjang tahun bisa bercocok-tanam. Daerah Sulawesi selatan dihuni oleh tiga etnis utama yaitu Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Masing-masing yang berbeda dalam bahasa dan sebagian budayanya. Perbedaan itu terlihat juga pada jenis makanan, pakaian, musik dan tari-tarian.
Dalam hal arsitektur rumah tradisional Bugis-Makassar secara umum sejenis, yaitu rumah panggung dengan atap pelana yang sebagian besar bahan bangunannya dari kayu. Arsitektur rumah tradisional Toraja juga berupa rumah panggung, tetapi, pola ruang, struktur dan konstruksinya sangat berbeda dibanding rumah arsitektur tradisional Bugis-Makassar.Bahan bangunan untuk atapnya adalah bambu.
Kelompok etnis yang paling besar di Sulawesi Selalatan adalah Bugis dan Makassar. Suku Makassar, Bugis dan Mandar terkenal sebagai pusat kelahiran pelaut berjiwa patriotik, baik dimasa perang maupun dimasa damai. Pada abad XVI Etnis Bugis- Makassar dan Mandar yang menghuni kawasan pantai mempunyai pelaut-pelaut ulung. Dengan perahu layar tradisionalnya mereka mengarungi lautan kepulauan Indonesia. Mereka berlayar untuk berniaga ke berbagai bandar niaga di Pulau Jawa, Sumatera, Malaka kepulauan Maluku di Kawasan Timur Indonesia, bahkan sampai ke Madagaskar (Mattulada 1998:3). Bahkan sampai kebagian utara Australia, beberapa pulau di samudera Pasifik sampai kepantai Afrika.
Dalam sistem sosial masyarakat Bugis dan Makassar ada strata sosial masyarakat yang menentukan arsitektur rumah tinggal mereka. Pola ruang, ornamen, dan besaran rumah tradisional Bugis-Makassar mempunyai korelasi positif dengan tingkat strata sosial pemiliknya. Ukuran ruang, pintu dan jendela rumah Bugis-Makassar relatif besar. Kemungkinan kondisi ini diwujudkan untuk mengeliminir temperatur udara panas terutama yang lokasinya di daerah hilir dan pantai. Rumah tradisional Toraja atapnya melengkung, ukiran yang cantik dan warna yang alami.
Latar belakang geografis, prasejarah dan sejarah Sulawesi Selatan telah melahirkan kekayaan budaya yang menarik. Seseorang dapat mengamati, menikmati berbagai pengalaman pada keunikan budayanya, itu masih dapat ditemukan di beberapa daerah misalnya pada upacara religius, upacara adat, seni tradisional, seni ukir, tenun benang kapas dan sutra serta arsitektur tradisionalnya.
Makassar merupakan salah satu kota bandar niaga terbesar di Indonesia bagian timur. Makassar dan daerah sekitarnya juga terkenal memiliki pelaut ulung yaitu orang orang yang ahli membuat kapal laut sekaligus mumpuni berlayar. Pelabuhan Paotere yang berada di utara Ujung Pandang merupakan kawasan pelabuhan kapal tradisional. Dipelabuhan ini terlihat kapal-kapal layar Phinisi khas Bugis-Makassar yang terkenal itu berlabuh.
Benteng peninggalan kolonial Fort Rotterdam dan sejumlah bangunan peninggalan kolonial lainnya seperti rumah kediaman Gubernur menjadi bukti sejarah keberadaan Belanda di kota Makassar. Benteng Rotterdam atau Fort Rotterdam merupakan salah satu bangunan peninggalan kolonial yang paling terawat di Indonesia. Benteng ini menjadi salah satu contoh terbaik dari arsitektur bangunan peninggalan Belanda yang ada di Indonesia.
Sebelum Fort Rotterdam dibangun, di tempat ini terdapat benteng yang disebut Benteng Pannyua milik kerajaan Gowa yang dibangun pada sekitar tahun 1545. Kemudian Benteng ini dikuasai Belanda ketika sukses menyerang dan menduduki daerah ini. Setelah Perjanjian Bungaya ditandatangani pada tahun 1667, Belanda kemudian memodifikasi ulang benteng itu yang selanjutnya dikenal dengan nama Fort Rotterdam. Dalam bangunan benteng ini terdapat Museum Negeri La Galigo yang memiliki koleksi antara lain peralatan makanan dan memasak dari Tana Toraja, instrument musik dan berbagai macam kostum pakaian adat.
Makassar juga merupakan kota tempat peristrahatan terakhir dua pahlawan besar Indonesia; Sultan Hasanuddin dan Pangeran Diponegoro yang di asingkan Belanda dari Jawa ke kota ini. Pahlawan nasional Pangeran Dipenogoro menjalani penahanan masa pengasingan selama 26 tahun di Fort Rotterdam. Makam Diponegoro dan sebuah monumen untuk mengenang jasa pahlawan yang gagah berani ini terdapat di jalan Diponegoro, Makassar.
Monumen Mandala di jalan. Jendral Sudirman merupakan tugu berbentuk menara yang menjadi salah satu ikon arsitektur- ciri kota Makassar. Selain itu bangunan Vihara yang bergaya arsitektur Cina juga banyak terdapat di kota ini, khususnya di jalan Sulawesi, karena masyarakat keturunan Cina banyak bermukim di jalan itu dan sekitarnya.
Sisa-sisa arsitektur kerajaan Gowa masih dapat ditemui di kawasan pinggiran, di tenggara kota Makassar. Di kawasan ini terdapat Makam Sultan Hasanuddin, salah seorang raja Gowa yang sangat terkenal, hidup antara tahun 1629 – 1670. Di luar kompleks makam Pahlawan nasional ini terdapat Batu Pelantikan yang disebut “palantikang” merupakan tempat dimana dulu Raja-raja Gowa dilantik sebagai pemangku kerajaan dan dianugerahi mahkota kerajaan. Tidak jauh dari kompleks pemakaman Sultan Hasanuddin terdapat Mesjid Katangka yang juga memiliki kompleks makam di mana di dalamnya terdapat beberapa kuburan dengan arsitektur khas.
Beberapa kilometer ke arah selatan kota Sungguminasa terdapat Museum“Balla Lompoa”. Dimasa lalu bagunan ini adalah istana Sultan Gowa. Istana ini berupa bangunan rumah kayu dengan gaya arsitektur Bugis-Makassar. Pada Museum tersimpan koleksi yang hampir sama dengan museum yang terdapat di Benteng Fort Rotterdam.
Pulau Kayangan terletak sekitar empat mil laut atau sekitar 15 menit dengan menggunakan speed boat dari Pelabuhan Laut dekat pelabuhan Soekarno-Hatta, Makassar. Pulau Kayangan adalah sebuah pulau kecil berpasir putih seluas satu hektar. Lokasi wisata ini dilengkapi fasilitas antara lain pondokan, panggung hiburan, restoran, gedung serba guna dan anjungan untuk memancing beragam jenis ikan laut. Pulau kecil yang terletak di lepas pantai kota Makassar ini ramai dikunjungi wisatawan pada hari libur. Kegiatan yang banyak dilakukan wisatawan di pulau ini selain memancing adalah snorkling. Di pulau ini tersedia beberapa penginapan kecil yang juga menyediakan fasilitas makan. Untuk menuju ke pulau ini wisatawan dapat menumpangi perahu motor milik pengelola atau menyewa speed boat. Dimasa lalu pulau ini menjadi tempat peristirahatan dan wisata petinggi kolonial Belanda. Ada beberapa bangunan peritirahatan khas Eropah yang sayangnya kini tidak ditemukan lagi
Maros merupakan salah satu Kabupaten yang berada di Sulawesi Selatan, termasuk tetangga yang berbatasan langsung dengan kota Makassar atau dikenal Kabupaten penyangga kota Makassar. Obyek-obyek wisata di Kabupaten Maros yang banyak dikunjungi wisatawan antara lain Bantimurung. Di lokasi ini terdapat Air Terjung Bantimurung yang berada di lokasi perbukitan kapur yang subur dengan aneka tumbuhan. Bantimurung terkenal karena menjadi habitat aneka jenis kupu-kupu yang cantik, di lokasi wisata ini terdapat Museum kupu-kupu. Obyek wisata andalan ini cocok untuk kegiatan wisata alam di lembah bukit kapur/karts yang curam dengan vegetasi tropis yang subur sehingga selain memiliki air terjun yang spektakuler juga menjadi habitat yang ideal berbagai spesies kupu-kupu, burung dan serangga yang langka. Selain air terjun dan kupu-kupunya, terdapat pula sebuah gua dengan stalagtit dan stalagmitnya yang menakjubkan. Dekat dari Bantimurung terdapat gua Leang Leang. Gua ini diperkirakan menjadi tempat kediaman manusia purba yang hidup di daerah ini pada masa 8000 hingga 30.000 tahun yang lalu. Terdapat lukisan tua yang dilukis pada dinding gua yang diperkirakan berusia 5000 tahun SM. Tempat yang disebut juga Taman Prasejarah Leang-Leang ini terletak pada deretan bukit kapur yang curam dan para arkeolog berpendapat bahwa beberapa gua yang terdapat disekitar kawasan tersebut pernah dihuni manusia yang ditandai dengan lukisan. Prasejarah berupa gambar babi rusa serta puluhan gambar telapak tangan yang ada pada dinding – dinding gua. Selain lukisan prasejarah, juga terdapat benda laut berupa kerang yang menandai bahwa gua tersebut juga pernah terendam dan dikelilingi oleh laut. Di kawasan Bantimurung ini pernah dibangun rumah-rumah peristirahatan dengan arsitektur khas Bugis-Makassar, namun sayangnya tempat itu musnah terbakar.
Obyek wisata Alam Gua Pattunuang di Kabupaten Maros selain kaya akan akan stalagtit dan stalagmit yang menakjubkan, juga memiliki panorama alam sekitarnya sangat menawan dan indah. Berbagai spesies flora dan fauna yang tergolong langka dapat dijumpai di tempat ini. Diperkaya lagi dengan bentangan pegunungan yang curam dan bertebing. Pada kawasan ini terdapat batu besar yang berbentuk perahu yang menyimpan legenda menarik. Menurut cerita rakyat bahwa pada zaman dahulu, pernah ada saudagar dari Cina yang datang untuk melamar guna mempersunting gadis Samangki, namun karena lamarannya ditolak akhirnya saudagar tersebut malu dan mengkaramkan perahunya yang kemudian menjelma menjadi batu. Batu tersebut kemudian dikenal masyarakat sekitar dengan julukan “Biseang Labboro” yaitu perahu terdampar. Di kawasan ini terlihat aneka ornamen yang indah.
Sejumlah obyek wisata pantai juga dapat dijumpai di Maros seperti Pantai Kuri dengan pasir putihnya. Kawasan ini merupakan salah satu pantai yang sangat ideal untuk dinikmati, terlebih dengan suasana matahari terbenamnya yang indah. Letaknya sangat strategis yaitu antara kota Maros dan Kota Makassar. Keberadaannya menjadikan kawasan yang pertama dapat dikunjungi setelah mendarat di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin. Untuk menuju Kota Makassar melalui pantai Kuri dapat ditempuh dalam waktu 15 menit dengan menelusuri pesisir pantai, sehingga selain akan memberi kenyamanan tersendiri juga terhindar dari kemacetan arus lalu lintas jalan raya. Sayangnya Bandara Internasional Sultan Hasanuddin yang megah itu kurang menyerap ornamen arsitektur tradisional Sulawesi Selatan.
Malino di Kabupaten Gowa adalah kawasan resort pegunungan yang terkenal sejak awal kemerdekaan Indonesia. Kawasan ini pernah menjadi tempat pertemuan antara para pemimpin Kalimantan dan pemimpin daerah Indonesia timur lainnya ketika mereka membentuk negara federasi Indonesia sebagai hasil perundingan dengan pemerintah belanda. Di kawasan Malino terdapat tempat-tempat peristirahatan bergaya arsitektur kolonial yang masih terjaga keberadaannya.
Kabupaten Jeneponto meski dikenal sebagai wilayah yang kering, ternayata memiliki juga panorama alam yang indah dan asri dengan pepohonan yang rindang. Tidak terlalu sulit menemukan pantainya yang landai dengan udara yang nyaman untuk melakukan berbagai aktivitas olahraga pantai.
Salah satu obyek pantainya yang terkenal adalah Birtaria Kassi di Kecamatan Tamalatea dengan pantai yang landai dan sudah tertata baik, ditunjang berbagai fasilitas kolam renang, penginapan dengan bagunan berarsitektur Bugis-Makassar. Di kawasan ini juga terdapat kolam pancing dan berbagai restoran, toko souvenir dan arena hiburan anak – anak. Air Terjun Boro, berlokasi di Desa Tompobulu, Kecamatan Kelara. Pemandangannya indah dengan pegunungan yang berada di kanan – kiri air terjun yang tingginya mencapai 20 meter. Di kawasan ini rumah-rumah dibangun berarsitektur khas Bugis –Makassar.
Kuburan Raja – Raja Binamu merupakan kuburan para Raja – Raja Binamu yang pernah memerintah di Butta Turatea Jeneponto. Kuburan ini memiliki ciri khas ornamen yang indah. Derajat yang di makamkan disana dapat dilihat dari patung yang berada di atas kuburan.
Bantaeng adalah pusat pembuatan kapal orang Bugis dengan reputasi yang terkenal selama ratusan tahun. Daerah ini kaya akan sejarah maritimnya. Pada masa lalu, Bantaeng merupakan daerah taklukan Kerajaan Majapahit. Puisi – puisi lama pada abad ke–14 pernah memuji kualitas kapal buatan daerah ini. Di utara Bantaeng terdapat sebuah air terjun yang cukup mengesankan. Di sini, wisatawan dapat melakukan kegiatan olahraga pantai, mandi atau berendam di laut atau berlayar dengan perahu. Di kota Bantaeng terdapat juga bangunan-bangunan khas gaya arsitektur kolonial. Karena daerah ini pernah menjadi salah satu pusat pemerintahan kolonial Belanda.
Di desa Kampala, Kecamatan Eremerasa, terdapat Permandian Alam Emmerasa. Di sepanjang jalan, wisatawan dapat menyaksikan rumah panggung berjejer di antara areal persawahan. Di sekitar permandian ini udaranya sejuk dengan pemandangan alam berupa perbukitan yang ditumbuhi pohon dan tanaman berwarna hijau.
Di Kelurahan Bontojaya, Kecamatan Bissappu terdapat Gua Batu Ejaya. Letaknya di atas bukit yang datar, sekitar 300 meter dari jalan raya. Di sekitar gua itu terdapat banyak pohon kapuk. Masyarakat setempat menggunakan buah pohon kapuk itu sebagai bahan baku untuk membuat kasur. Gua Batu Ejaya pernah diteliti tahun 1937 oleh Van Stein Callonfols, ilmuwan dari Belanda. Ia melakukan penggalian arkeologi dan menemukan alat – alat batu jenis calsedon berupa serpihan yang digunakan sebagai pencerut, ujung – ujung panah.
Masjid Tua Tompong juga menjadi salah satu obyek yang dikunjungi wisatawan. Masjid kuno ini memiliki atap bentuk tumpang tiga. Bangunan induknya terdiri dari penampil dan tubuh masjid. Dinding masjid di bagian Utara, Selatan dan Barat terbuat dari tembok yang mempunyai ventilasi udara dari roster porselin berwarna hijau. Dinding masjid bagian timur terdiri dari empat pilar bergaya arsitektur Eropa. Konon, masjid ini dibangun pada tahun 1887 atas prakarsa Raja Bantaeng Karaeng Panawang pada abad 12.
Makam Raja – Raja La Tenri Ruwa merupakan kompleks makam yang terletak di tengah kota Bantaeng, tepatnya di Lingkungan Lembang Cina, Kelurahan Pallantikang, Kecamatan Bantaeng. Di kompleks ini terlihat kuburan dan nisan dengan ornamen yang khas. Di sekitarnya terdapat rumah – rumah penduduk berarsitektur tradisional. La Tenri Ruwa adalah Raja Bone ke 11 yang pertama menerima ajakan dari Raja Gowa XIV Mangerangi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin untuk memeluk agama Islam. Oleh sebab itu dalam kompleks bangunan ini terdapat sekitar 159 buah bangunan makam yang menyerap gaya arsitektur Islam. Bahan baku bangunan makam itu terbuat dari batu karang, selebihnya batu cadas, batu bata dan batu kapur yang memakai bahan perekat.
Di kota Bantaeng terdapat Balla Lompoa-rumah adat khas Bugis Makassar yang dulu menjadi tempat bermukimnya raja – raja Bantaeng. Luas tanahnya sekitar 1.617 meter persegi. Bangunannya terdiri dari rumah induk dan pendopo.
Bulukumba merupakan salah satu tempat keberangkatan kapal yang menuju ke Pulau Selayar. Di kabupaten ini terdapat desa-desa orang Bugis -Makassar yang bermukim di sekitar pantai Bulukumba. Rumah-rumah mereka berarsitektur Bugis Makassar. Di arah selatan ibukota kabupaten Bulukumba terdapat desa tempat pembuatan kapal juga sejumlah obyek wisata yang dikenal dengan nama Pantai Bira, terletak di Kecamatan Bonto Bahari. Panorama alam yang indah. Pantai dengan hamparan pasir putih ini menjadi tempat yang asyik untuk menikmati sunrise dan sunset yang amat mempesona.
Pantai di tempat ini memiliki pasir yang putih. Di kawasan pantai ini, wisatan dapat berenang, snorkeling dan menyelam. Pada hari biasa, tempat ini bagus untuk bersantai namun pada hari libur selalu ramai dengan pengunjung. Pantai bira memiliki keragaman biota laut yang sangat indah. Berbagai jenis ikan hias dan terumbu karang beraneka warna. Untuk bermalam telah dibangun beberapa cottage ala arsitektur Bugis-Makassar yang dipadukan dengan pendekatan konsep arsitektur modern.
Pantai lemo-lemo, tempat pembuatan perahu tradisional dan di sekitar pesisir dijadikan kawasan cagar alam dengan aneka satwa liar yang dilindungi. Pantai Mandala Ria di Desa Ara Kecamatan Bontobahari terdapat rumah-rumah khas Bugis Makassar. Selain pesona pantai berpasir putih yang indah, juga tersedia sumber air tawar di laut disaat surut. Kerajinan masyarakat berupa sulaman dan miniatur perahu phinisi dapat dijadikan souvenir menarik dari lokasi ini.
Kajang adalah kampung adat yang menjadi pemukiman dengan rumah-rumah adat khas Kajang. Masyarakatnya masih sangat terikat dengan adat istiadat yang bersumber dari ajaran pasang/wasiat yang disebut”Pasangnga Ri Kajang” yang dikomunikasikan lewat ”Ammatoa”sebagai pemangku adat. Mereka hidup dalam kesederhanaan dengan pakaian serba hitam dan bangunan rumah mereka dominan berwarna hitam dan mereka hidup dengan melestarikan hutan sebagai warisan leluhur.
Pulau Selayar terletak di arah tenggara dari daratan semenanjung Sulawesi Selatan ini memiliki pantai berpasir dengan panorama yang indah. Pulau yang berbentuk memanjang tapi sempit ini dihuni oleh masyarakat Bugis dan Makassar. Mereka kebanyakan tinggal di kawasan pantai barat Pulau Selayar atau di Benteng yang merupakan kota utama di pulau ini. Beberapa kilometer di selatan Benteng terdapat Benteng Bontobangun. Di dekat Pulau Selayar terdapat Pulau Pasi di mana wisatawan dapat melakukan kegiatan air snorkeling. Di Selayar terdapat juga rumah adat yang berarsitektur khas. Taka Bone Rate merupakan pulau karang atol yang terletak di tenggara Pulau Selayar atau di utara Pulau Bone Rate. Pulau atol Taka Bone Rate adalah yang terbesar ketiga di dunia dengan luas sekitar 2220 km2.
Kabupaten Sinjai merupakan daerah yang terletak di pantai timur bagian selatan jazirah Sulawesi Selatan dan berada di kaki Gunung Bawakaraeng, menyimpan potensi wisata bahari maupun wisata alam berpemandangan yang tidak kalah menariknya dengan daerah lainnya. Selain itu, sebagai daerah bekas wilayah gabungan antara Kerajaan Tellulimpoe (Tondong, Bulo Bulo dan Lamatti) dengan Kerajaan Pitulimpoe (Turungeng, Manimpahoi, Terasa, Pao, Manipi, Suka dan Bala Suka), tentunya menyimpan benda – benda peninggalan sebagai tanda kejayaan kedua kerajaan tersebut di masa lalu. Hal ini merupakan potensi wisata budaya yang tiada nilainya.
Untuk wisata bahari daerah potensi pengembangan untuk wisata bahari adalah Pulau – pulau Sembilan di Kecamatan Sinjai Utara, Pantai Lasia di Kecamatan Sinjai Timur dan Desa Pattongko Kecamatan Tellulimpoe. Pulau – pulau Sembilan terdiri dari 9 buah pulau yakni Pulau Burungloe, Pulau Liang Liang, Pulau Kambuno, Pulau Kodingare, Pulau Batanglampe, Pulau Katingdoang, Pulau Kanalo 1, Pulau Kanalo 2 dan Pulau Larearea yang merupakan daerah potensial untuk dijadikan obyek wisata bahari.
Benteng Balangnipa berjarak 2 km dari pusat kota Sinjai, terletak di Kelurahan Balangnipa, Kecamatan Sinjai Utara. Pada awal dibangunnya tahun 1560, benteng ini merupakan dasar yang bahannya berupa batu gunung yang diikat oleh lumpur Sungai Tangka, tebal dinding siwali reppa -setengah depa, berbentuk segi empat dan memiliki empat buah pertahanan yang disebut bastion. Selanjutnya pada zaman penjajahan Belanda tahun 1864, direnovasi dengan model arsitektur Eropa dan selesai tahun 1868.
Bone adalah ibukota kabupaten Bone. Adalah salah satu daerah yang berada dipesisir Timur Sulawesi Selatan. Wisata budaya dan sejarahnya sangat kaya. Antara lain rumah adat Bola Soba di Kelurahan Manurungnge, Kecamatan Tanete Raittang. Rumah adat bugis yang terletak di pusat Kota Watampone ini adalah bekas istana Panglima Perang Kerajaan Bone Andi Baso Pagiling Putra Mahkota Raja Bone XXXX Lapawawoi Karaeng Sigeri. Rumah tersebut dibangun akhir abad ke 19 atau tahun 1890. keberadaan rumah panggung ini menunjukkan bahwa sejak masa lalu masyarakat Bone telah menguasai pengetahuan teknik arsitektur dan sipil yang cukup tinggi.
Museum Lapawawoi di pusat kota Watampone. Di museum ini tersimpan peninggalan Kerajaan Bone dan benda-benda peninggalan Arung Palakka seperti keris, patung, pakaian kerajaan, baju-baju adat dan foto-foto keturunan Raja-raja Bone juga sarat dengan sejarah. Pernak-pernik itu sangat indah dalam bentuk dan warnanya.
Untuk kegiatan wisata alam, Bone banyak memiliki gua-gua alam seperti Gua Mampu di Desa Labbeng, yang memiliki stalagtit dan stalagmit menyerupai bentuk makhluk sehingga muncul legenda Alleborenge Ri Mampu atau kutukan Kerajaan Mampu. Legenda tentang kerajaan yang dikutuk menjadi batu ini disampaikan secara turun temurun di tengah masyarakat setempat dan menjadi daya tarik tersendiri bagi para pecinta alam.
Sejumlah makam menjadi obbyek wisata ziarah seperti komplek pemakaman Raja Kalokkoe (Laleng Bata) sekitar 3 km dari kota Watampone dan makam Raja-raja Watang Lamuru di Desa Labalata, kompleks makam Labalata dan Kalokkoe serta makam Lapatau Matanna Tikka di Desa Nagauleng, Kecamatan Cenrana. Makam-makam ditempat ini dibuat dengan bentuk yang khas.
Bajoe yang terletak 7 km di sebelah timur Bone merupakan kota pelabuhan dan penyeberangan menuju ke Kolaka di Sulawesi Tenggara. Wisatawan dapat menyewa perahu jika berminat melihat ”desa terapung” di dekat Bajoe. Rumah-rumah masyarakat di kawasan itu dibangun dengan khas arsitektur Bugis-Makassar.
Pemandian alam Mattampa merupakan salah satu obyek wisata di Kabupaten Pangkep yang terletak di Kelurahan Samalewa, Kecamatan Bungoro sekitar 3 km dari kota Pangkajene yang berada pada poros Makassar – Pangkep. Di pemandian ini juga terdapat Gua Mattampa dan taman rekreasinya yang dilengkapi fasilitas olahraga dan pertanian terpadu dan pusat percontohan pengembangan kolam air tawar dan tempat memancing. Di beberapa gua, terdapat peninggalan purbakala berupa gambar telapak tangan, babi, rusa, perahu yang diperkirakan berusia 5000 tahun.
Di kelurahan Balloci Baru terdapat Taman Laut Pulau Kapoposan di Desa Mattiro Ujung Kecamatan Liukang Tupabiring. Kepulauan ini memiliki gugusan terumbu karang yang padat dan indah yang di sela – selanya berenang ikan – ikan hias aneka warna dari berbagai spesies. Di bagian timur pantai yang landai dan berpasir putih sudah dilengkapi dengan fasilitas akomodasi dengan bangunan rumah khas berarsitektur Bugis Makassar.
Obyek pantai lainnya adalah Pulau Langkadea, sekitar 25 menit dengan speed boat dari Pelabuhan Bining Kassi, Pangkajene. Pulau ini disebut juga Citra Mustika Langka atau Pulau Wisata Bahari Muslim karena pengunjung menghadapi sejumlah ketentuan misalnya harus berbusana muslim, laki – laki dan perempuan yang bukan muhrimnya tidak diperkenankan serumah dan tidak diperbolehkan ada judi. Sejumlah fasilitas tersedia mulai dari akomodasi, jet sky dan fasilitas olahraga lainnya.
Soppeng merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Sulawesi Selatan. Ibukotanya Watansoppeng atau disebut juga kota kalong atau kelelawar, ada sekian mitos yang berkembang bahwa keberadaan kalong ini yang jumlahnya ratusan hingga ribuan ini, bertengger di pohon – pohon taman kota dengan suara berisik yang khas. Keberadaan kalong di jantung kota Watansoppeng semakin menambah pesona kota ini karena ibukota Watansoppeng dijuluki sebagai kota kalong. Uniknya kalong ini hanya mau berdiam dan bergelantungan di pepohonan sepanjang kota Watansoppeng. Di Soppeng masih banyak ditemukan bagunan bergaya arsitektur kolonial. Salah satu diantaranya yang cukup terkenal diberi julukan ”Rumah Tinggi”
Villa Yuliana merupakan salah satu bangunan arsitektur peninggalan Belanda di Kabupaten Soppeng, bangunan ini terletak di jantung kota Watansoppeng, dibangun oleh C. A. Krosen tahun 1905 selaku Gubernur Pemerintahan Hindia Belanda di Sulawesi. Konstruksi dan arsitektur bangunan ini merupakan perpaduan gaya Eropa dan gaya Bugis. Villa ini merupakan bangunan kembar, satu di antaranya ada di Nederland, pembangunan villa ini merupakan wujud kecintaan terhadap Ratu Yuliana.
Rumah Adat Sao Mario terletak di Kelurahan Manorang Salo, Kecamatan Marioriawa. Di dalam kompleks Rumah Adat Sao Mario ini, terdapat berbagai jenis rumah adat yang bergaya Arsitektur Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, Minangkabau dan Batak. Rumah adat ini juga berfungsi sebagai museum dengan koleksi berbagai jenis barang antik yang bernilai tinggi dari berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri seperti : kursi, meja, tempat tidur, senjata tajam dan berbagai macam batu permata.
Kompleks Istana Datu Soppeng terletak di jantung kota Watansoppeng, berhadapan dengan Villa Yuliana yang dibangun sekitar tahun 1261 pada masa Pemerintahan Raja Soppeng I Latemmalala yang bergelar Petta Bekkae. Dalam kompleks tersebut terdapat bangunan, antara lain : Bola Ridie -Rumah Kuning yang berfungsi untuk menyimpan berbagai jenis atribut kerajaan, SalassaE berfungsi sebagai Istana Datu Soppeng. Menhir Latammapole sebagai tempat menjalani hukuman bgi orang yang melanggar adat dengan cara mengelilingin 7ya kali.
Makam Jera Lompoe adalah makam Datu/Raja-Raja Soppeng, Luwu dan Sidenreng dari abad XVII. Makam ini terletak di Kelurahan Bila Kecamatan Lalabata sekitar 1 km sebelah utara kota Watansoppeng. Melihat bentuk, type orintasi dan data historis makam ini dapat dikatakan bahwa Islam masuk sekitar abad XVII. Namun, dilihat dari bentuk nisannya terdapat pengaruh kebudayaan Hindu. Itu terlihat pada ornamen-ornamennya.
Pemandian Air Panas Lejja merupakan salah satu objek wisata andalan yang banyak dikunjungi oleh wisatawan domestik dan mancanegara. Pemandian ini berada dalam kawasan hutan lindung yang berbukit dengan panorama alam yang indah, sejuk, nyaman di Desa Bulue, Kecamatan Marioriawa. Di tempat ini terdapat fasilitas peristirahatan yang dibangun dengan gaya campuran tradisional dan modern.
Pemandian Alam Ompo merupakan salah satu tujuan wisata andalan pula. Pemandian yang terletak di Kelurahan Ompo, Kecamatan Lalabata ini dikenal dengan airnya yang jernih. Pada obyek wisata Ompo ini terdapat areal yang luas untuk perkemahan dan Motor Cross dan juga terdapat sebuah danau buatan yang cukup luas sebagai areal bermain perahu dan memancing ikan air tawar.
Pemandian Alam Citta terletak di Jantung Desa Citta, Kecamatan Liliriaja. Di obyek ini pengunjung dapat berenang dan menikmati keindahan panorama alam, perkampungannya masih banyak yang khas berarsitektur Bugis-Makassar dan berbagai aktivitas masyarakat sekitarnya seperti pengolahan tembakau secara tradisionil.
Kota Sengkang terletak di pinggir Danau Tempe yang memiliki panorama indah. Sengkang merupakan kota yang cukup menyenangkan untuk dikunjungi. Salah satu daya tarik kota Sengkang adalah produk kain sutera. Hasil industri tenun milik rakyat. Sengkang memang dikenal sebagai pusat industri sutera. Kain sutera banyak dijual di pasar Sengkang seperti selendang sutera. Namun, sayangnya pusat penenunan sutera milik rakyat umumnya terletak di desa-desa di sekitar Sengkang yang tidak memiliki akses angkutan umum. Untuk dapat menuju ke desa-desa ini, Anda harus menyewa angkutan umum.
Danau Tempe merupakan danau yang cukup luas namun dangkal yang menjadi habitat satwa burung. Pinggiran danau merupakan kawasan tanah lumpur yang juga menjadi tempat bermukim masyarakat setempat. Pengunjung dapat berjalan-jalan menyusuri danau dengan menggunakan perahu motor hingga ke Sungai Walanae, mengunjungi Desa Salotangah dan Desa Batu Batu yang berada di tengah danau.
Pinrang dikenal sebagai salah satu ”Lumbung Pangan” di Sulawesi Selatan sekaligus penghasil udang, ikan bandeng, kakao, kopi, kemiri dan kelapa. Sebagai daerah pertanian yang memiliki sumber daya alam yang cukup, Pinrang juga memiliki kekayaan laut yang membentang sekitar 93 km dari kota Parepare sampai ke Polewali Mamasa.
Pulau Kamarrang di Kelurahan Ujung Labuang dapat ditempuh dari Ujung Lero sekitar 30 menit dengan menggunakan perahu motor. Gugusan pulau yang menyembul dari laut ini mempunyai luas 7 hektar didominasi oleh vegetasi hutan pantai termasuk hutan bakau yang mengitari pulau – pulau bagian Barat dan Utara. Sementara pada bagian Timur terdapat pantai berbatu keras yang tahan hantaman ombak. Pada bagian tengah pulau terdapat pohon – pohon tua yang digelantungi oleh ratusan kelelawar.
Terdapat sebuah makam tua di pulau ini dan dikeramatkan oleh para peziarah untuk menyatakan dan melepas nazar bila keinginannya dikabulkan. Terdapat sebuah villa berarsitektur modern di pulau ini yang digunakan wisatawan untuk beristirahat.
Dua buah air terjun terdapat pula di Kabupaten Pinrang yaitu Air Terjun Karawa di Kelurahan Betteng. Kawasan air terjun dengan ketinggian 60 meter ini di bawahnya terdapat kolam – kolam alami dan bebatuan untuk beristirahat. Dari kolam alami ini, air mengalir melalui batu – batu gunung dan menciptakan air terjun kecil sehingga seolah bersusun – susun.
Air terjun lainnya masih di kelurahan yang sama sekitar 20 km dari kota Pinrang disebut Air Terjun Kalijodoh. Berada di kawasan seluas 2 hektar dan mempunyai empat sumber air. Panorama alam pegunungannya membuat tempat ini terasa sejuk dan nyaman sehingga menjadi tempat memadu kasih dan diyakini mereka yang datang berpasangan bisa berjodoh. Tak heran bila hari libur banyak dikunjungi wisatawan lokal setempat.
Pemandian air panas terdapat di Kelurahan Maminasse pada jalan poros Pinrang-Sidrap. Ada dua sumber air yang mendukung tempat ini yaitu sumber air panas dan sumber air dingin. Di lokasi ini telah dibangun kolam renang yang sumber airnya dari kedua mata air tersebut. Pemandian Air Panas Sulili ini sudah dilengkapi berbagai fasilitas lainnya termasuk pondok wisata sehingga banyak dikunjungi wisatawan domestik.
Pemandian air panas lainnya terdapat di Kelurahan yang sama menuju arah PLTU Bakaru, sekitar 12 km dari Pinrang. Pemandian Air Panas Lemosusu ini memiliki panorama alam yang meski failitasnya masih sederhana untuk mandi maupun berendam.
Kota Palopo adalah ibukota kabupaten Luwu Provinsi Sulawesi Selatan. Kota ini terletak di daerah pegungungan yang memiliki banyak danau. Danau-danau di wilayah ini saling berhubungan melalui banyak sekali sungai-sungai kecil. Dari kota ini bisa dilakukan perjalanan kekota pertambangan Soroako. Kota terletak di dekat Danau Matano seluas 16.400 hektar dan merupakan danau terdalam di Sulawesi. Di sebelah selatan Danau Matano terdapat Danau Towuti seluas 56.100 hektar yang merupakan danau terbesar kedua di Indonesia setelah Danau Toba. Danau ini menjadi habitat aneka flora dan satwa burung. Di Kota Palopo telah dibangun rumah adat yang cukup besar berarsitektur Bugis. Rumah adat ini sering dimanfaatkan untuk berbagai upacara baik upacara adat ataupun upacara Pemerintah Daerah.
Di Kabupaten Luwu terdapat Istana Kerajaan Luwu atau disebut juga Museum Batara Guru, misalnya, terletak di pusat kota Palopo. Istana ini didirikan pada tahun 1922 – 1924 oleh seorang arsitek Belanda bernama Obsenter Noble pada masa penjajahan Belanda di Luwu dengan bangunan bergaya Eropa.
Istana yang berfungsi sebagai museum Batara Guru ini menyimpan benda – benda pribadi dan peralatan yang pernah digunakan Rja – Raja Luwu. Di sini juga terdapat benda – benda antik seperti keramik, peralatan dan perlengkapan upacara adat dan benda pusaka.
Makam Raja – Raja Luwu ”Lokkoe” yang artinya gua tempat peristirahatan. Terletak di pusat kota Palopo dan bentuknya unik seperti bentuk piramida. Di tempat ini dimakamkan para Raja Luwu yang pernah berkuasa. Gua Liang Andulan di Desa Siteba, Kecamatan Lamasi memiliki ragam stalaktit dan stalagmit dengan warna – warna yang indah. Untuk mencapai gua, pengunjung harus melalui sekitar 480 anak tangga dan di dalam gua terdapat makam leluhur To Tana Lalong terdiri dari Liang Kabongian dan Liang Sugi Sakalikuku.
Tana Toraja merupakan daerah tujuan wisata internasional yang paling menarik dan paling terkenal di Sulawesi. Secara geografis Tana Toraja berada di pegunungan pada pangkal semenanjung Sulawesi Selatan. Di kawasan yang indah permai ini masih bisa ditemui desa-desa tradisional dengan sawah yang membentang luas, bangunan rumah tradisional Tongkonan dengan arsitektur yang unik khas kebudayaan Toraja yang sangat menarik.
Masyarakat Toraja secara etnografis dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu Toraja Barat, Timur dan Selatan, namun yang banyak dikenal orang luar khususnya wisatawan asing adalah Toraja Selatan yang dikenal juga dengan nama Toraja Sa’adan atau Saqdan. Pada umumnya mereka bermukim di sekitar Rantepao dan Makale, ibukota administrasi Tana Toraja. Kota kecil yang cantik ini dikelilingi perbukitan yang puncaknya sering ditutupi kabut dan di dekat kota terdapat sebuah danau buatan.
Rantepao merupakan kota terbesar di Tana Toraja dan juga pusat perdagangan di wilayah ini. Wisatawan yang mengunjungi Toraja umumnya berkumpul di Rantepao. Kota ini menjadi titik awal bagi wisatawan yang ingin megeksplorasi segala keunikan dan keindahan Toraja. Rantepao adalah kota hujan karena hujan hampir selalu turun sepanjang tahun dengan udara yang dingin pada malam hari. Di kota ini masih banyak terdapat rumah-rumah yang dibangun dengan arsitektur khas Toraja.
Salah satu upacara adat yang paling mengesankan di Toraja adalah upacara penguburan mayat yang sudah terkenal ke seluruh dunia. Orang Toraja percaya tanpa upacara penguburan ini, arwah orang yang mati akan memberikan kemalangan bagi keluarga yang ditinggalkan. Upacara penguburan ini, menjadi ajang ditampilkannya ornamen-ornamen khas Toraja yang sangat indah.

Arsitektur Tradisional Sulawesi Selatan Dalam Konteks Ketahanan Budaya Lokal.
Pemanfaatan model arsitektur tradisional pada bangunan masa kini, ternyata sering dianggap tidak lagi mampu sepenuhnya mengikuti dinamika kebutuhan masyarakat. Seringkali dianggap terjadi ketidakserasian antara keberadaan model arsitektur tradisional yang boleh dikatakan cenderung stagnan, dengan dinamika tuntutan kehidupan moderen yang selalu cepat berubah dengan variasi-variasinya. Pada banyak kasus, karena penerapan model arsitektur tradisional yang salah, tidak mengabaikan kaidah-kaidah sebagaimana mestinya mengakibatkan bangunan atau rumah itu bermasalah. Pemahaman seperti itulah yang mendasari pertimbangan hingga penerapan model baru pada arsitektur rumah atau bangunan masa kini dengan corak kekinian pula, tidak mau mengadopsi potensi arsitektur rumah tradisional. Kalau pun ada upaya-upaya menyerap model arsitektur rumah tradisional, maka proses adopsi itu secara umum masih belum cukup memuaskan karena hadir hanya sebagai tempelan artistik pemanis, sebatas ornamen ringan semata, bukan karena pertimbangan aktualisasi kekayaan arsitektur tradisional.
Ada pula paradigma yang menilai bahwa dalam konteks waktu, tradisional diidentikkan dengan masa lalu yang kuno dibanding dengan modern, ultra modern atau pasca modern yang sepenuhnya mencerminkan kekinian terbaru. Itu salah satunya yang menyebabkan rumah berarsitektur tradisional yang mengandung berbagai kearifan itu dinilai kuno, ketinggalan zaman hingga pelan-pelan mulai ditinggalkan pemangku kepentingan.
Padahal, sangat penting disadari bahwa transformasi model arsitektur tradisional ke arsitektur moderen sebenarnya dapat terproses secara baik dalam penataan ruang dan lingkungan dari waktu ke waktu, jika saja hal tersebut terus dilakukan dalam kesadaran tinggi. Mencari wujud arsitektur tradisional untuk rumah yang baru dengan penerapan secara bijak dan mematuhi kaidah-kaidah dengan tepat. Semakin cepat dilakukan transformasi akan semakin besar dan efektif manfaatnya bagi masyarakat. Alasan inilah yang mendasari pemikiran; pentingnya berbagi kesadaran untuk sama-sama berusaha menggali dan memahami kembali kearifan dan keunggulan yang terkandung dalam ranah arsitektur rumah tradisional. Kearifan dan keunggulan yang mulai tak diabaikan, ditinggalkan atau bahkan cenderung dilupakan itu. Ini perlu segera direvitalisasi.
Hasil penelusuran, pengkajian dan pelestarian kearifan lokal dalam yang masih dimiliki, perlu ditransformasikan untuk menjadi bekal pengetahuan dan keterampilan yang sangat diperlukan bagi pengembangan ilmu arsitektur, untuk generasi sekarang dan generasi penerus, serta bagi kelestarian alam dan lingkungan.
Penerapan wujud identitas dan karakter budaya lokal pada arsitektur rumah tradisional diberbagai kawasan wisata, seharusnya terus menerus dilakukan secara konsepsional. Agar dapat terlihat secara jelas bagaimana esensi kearifan budaya lokal yang diterapkan itu ternyata masih bisa sangat fungsional. Konsep arsitektur tradisional yang diterapkan pada kawasan wisata budaya lokal, bisa berperan menjadi transformator atas nilai yang ingin diwariskan untuk memperkokoh ketahanan budaya lokal sekaligus nasional.
Perlu pula selalu diperhitungkan, bagaimana penataan suatu kawasan wisata budaya dan sekitarnya yang menyatu dalam konsep arsitektur rumah tradisional setempat. Misalnya dengan penataan secara menyeluruh atas bangunan dan lingkungan diseputar Bola Soba dan jugaBalla Lompoa – rumah khas Bugis Makassar. Di kawasan itu, perlu dengan sengaja ditata suatu lanskap yang berorientasi pada arsitektur etnis Bugis-Makassar nan harmonis, misalnya; dengan menanam pohon lontara atau pohon pandan di tamannya sebagai salah satu cara mempertahankan aura masa lalu.
Suatu obyek arsitektur memang dapat menyandang lebih dari satu atribut kategorisasi, bergantung dari sudut pandang yang menilainya: Jika Rumah Tradisional Bugis Makassar seperti : Balla Lompoa, Bola Soba, dalam kenyataannya bahwa dibangun oleh masyarakat tradisional Bugis-Makassar berdasarkan kaidah budaya Bugis-Makassar, maka itu merupakan “Arsitektur etnis Bugis Makassar”; demikian pula bila mengingat “Balla Lompoa” tercipta berdasarkan kaidah dari bakuan teknik arsitektur yang telah diwariskan secara turun-temurun, maka itu merupakan ‘arsitektur tradisional’; Jika ditilik dari strata masyarakat bangsawan yang membangun dan menggunakannya maka Balla Lompoamasuk dalam kategori “arsitektur klasik”.
Begitu pula dengan Tongkonan ma’dandan atau batu a’riri yang merupakan “arsitektur etnis” Toraja, sekaligus merupakan “arsitektur tradisional”. Keberadaan model Tongkonan bisa dan perlu dikembangkan secara berkelanjutan sekaligus dipadukan dengan konsep arsitektur modern, apalagi mengingat Tana Toraja sebagai dareah tujuan wisata Sulawesi Selatan yang wisatawannya datang dari manca negara, tentunya mereka datang karena ingin menikmati keunikan budaya Toraja, salah satunya adalah melihat bentuk serta mengapresiasi arsitektur Tongkonan yang unik itu.
Untuk mewujudkan ketahanan budaya dan konteks pelestarian “Esensi”dan pengembangan “Substansi” arsitektur tradisional Sulawesi Selatan maka;
  • Perlu upaya memahami esensi masing-masing nilai kearifan lokal untuk dilestarikan sebagai warisan budaya.
  • Perlu upaya memahami substansi masing-masing nilai kearifan lokal untuk dikembangkan ke dimensi kekinian, seiring dengan perubahan waktu dan kemajuan teknologi yang bergerak ke masa depan.
  • Bahwa mempertahankan jatidiri dan karakter etnis lokal amatlah penting di tengah deraan arus modernisasi dan kecenderungan universalisasi. Hal tersebut dapat ikut ditransformasikan melalui kesadaran akan keunggulan budaya yang dimiliki.
  • Hidup dan kehidupan memang berhak terus berkembang seiring zamannya, namun perubahan lingkungan strategis etnis yang mengadopsi kearifan-kearifan lokal perlu pula terus ikut diperhitungkan dan dipertahankan guna menjadi roh bagi pengembangan sekaligus dan meningkatkan ketahanan arsitektur berciri tradisional.
Semakin cepat dilakukan kajian untuk menggali nilai dari kearifan arsitektur tradisional lokal dampaknya akan semakin baik, termasuk upaya-upaya transformasi, pewarisan nilai dan teknologi arsitektur tradisional dari para sesepuh, cerdik cendekia bidang budaya, sosiologi dan arsitek rumah tradisional akan sangat baik sebelum mereka terlanjur berpulang. Diharapkan dengan terwujudnya kelestarian arsitektur tradisional lokal Sulawesi Selatan dapat merajut kembali kejayaan masa lalu yang bermanfaat menjadi kebanggan masa kini. Warisan itu diwujudkan dalam explicit knowledge, yang sangat kita perlukan dalam memantapkan konsepsi ketahanan budaya lokal etnis oleh generasi masa kini dan generasi penerus dalam menghadapi tantangan masa mendatang.
BAHAN BACAAN
  • Abbas, Ibrahim (1999), Pendekatan Budaya Mandar.
  • Hamid, Abu (1986). Bingkisan Budaya Sulawesi Selatan. Makassar : Antropologi Unhas.
  • Budi Santoso (1997), Pembangunan Nasional Indonesia dengan Berbagai Persoalan Budaya dalam Masyarakat Majemuk.
  • Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Selatan (2005), Informasi dan Potensi Investasi Pariwisata Sulawesi Selatan
  • Djauhari Sumintardja (1998), Kompendium Sejarah Arsitektur
  • Djauhari Sumintardja (1988), The House in Tana Toraja (Traditional Housing in Indonesia).
  • Faisal (2007), Arsitetur Tradisional Mandar Provinsi Sulawesi Barat
  • Josef Prijotomo (1988), Pasang surut arsitektur di Indonesia
  • Koentjaraningrat (1993), Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan
  • Kostof, S. (1991), A History of Architecture. Rituals and Settings.
  • Mangunwijaya,YB, (1992) Wastu Citra, Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-sendi Filsafatnya Beserta Contoh-contoh Praktis. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
  • Mattulada (1982), Geografi Budaya Daerah Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Depdikbud
  • Nasrul Baddu (1990), Rumah tradisional Bugis Makassar
  • Ronald Arya (2005), Nilai-nilai Arsitektur Tradisional Jawa
  • Rudofsky, B. 1964. Architecture Without Architects.
  • Sampebulu, DR, Ir, M.Eng, (1990), Tradisionalisme dalam arsitektur masa kini
  • Saliya Yuswadi, Ir, M.Arch, (1992), Ragam Hias dalam arsitektur Tradisional Toraja
  • Sachary, A. (2005). Pengantar Metodologi Penelitian Budaya Rupa. Desain, Arsitektur, Seni Rupa, dan Kriya.
  • Tangdilintin, LT, (1979), Tongkonan (Rumah adat Toraja) dengan struktur seng dan konstruksinya.
  • Tjahjono, G. Editor. (2001). Indonesian Heritage. Vol. 6. Architecture.
  • Tuan, Y.F. (1974).Topophilia. A Study of Environmental Perception, Attitudes, and Values.
  • Tang, Mahmud (1998), Reaktualisasi Nilai-nilai budaya Bugis Makassar dalam Kehidupan Sosial Pada Era Revormasi.
  • Rinwar Karim, Muktahim, Adnin Sakti, (1992), Arsitektur tradisional Bugis Makassar.
  • Yudono Ananto, Prof, DR, Ir, MSc, (2008) Kearifan arsitektur tradisional rumah panggung dalam hunian modern.
Wikantari Ria, DR, Ir, M.Arch, (2008), Kearifan arsitektur lokal Kawasan Timur Indonesia : Tinjauan Ragam Lintas Etnik