Para aktivis Islam sudah tidak asing dengan nama ini. Kadungga juga kesohor di mata musuh-musuh Islam, baik di Indonesia maupun mancanegara.
Kadungga adalah menantu almarhum Kahar Mudzakkar, Panglima Hisbullah Makassar dan pemimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia.
Semasa hidupnya, Kadungga tercatat sebagai salah seorang pentolah demonstran angkatan '66. Ketika memimpin PII, gelombang aksi menentang kekuasaan Soekarno untuk menumbangkan Orde Lama bergolak. Padatnya aktivitas di dunia pergeraTerbitkan Entrikan, membuat Kadungga tidak sempat menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI).
Pria asal Masamba, Luwu Utara ini sempat disebut-sebut sebagai petinggi Jamaah Islamiyah (JI) karena ia dekat dengan Abu Bakar Ba’asyir saat masih di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 1985. Saat itu, Kadungga baru datang dari Belanda sementara Ba’asyir baru melarikan diri dari Indonesia.
Sabtu sore kemarin (12/12/2009) pukul 16.40 WIB, pendiri "Young Muslim in Europe" ini berpulang ke rahmatullah di Rumah Sakit Darma Nugraha, Rawamangun, Jakarta Timur. Innalillahi wainna ilaihi roji’un...
Nama Kadungga begitu akrab bagi media anti islam, sehingga ia sering jadi target pembentukan opini. Sebut saja Sydney Morning Herald. Harian terkemuka di Australia ini Kadungga sebagai sosok yang misterius bahkan punya hubungan langsung dengan Usamah bin Ladin. "Ia tinggal di Belanda, tapi bisa dengan mudah berbicara via telepon dengan petinggi PAS (Partai Agama Se-Malaysia) di Malaysia. Tak lama kemudian, ia bisa berbicara langsung dengan Usamah bin Ladin yang berada di pedalaman Afghanistan," tulis Sydney Morning Herald.
Beda lagi komentar International Crisis Center (ICG) lewat mulut koordinatornya, Sidney Jones. Lembaga yang berbasis di Brussel ini menuding profil yang satu ini sebagai penghubung internasional Jamaah Islamiyah. Lembaga yang disebut-sebut banyak pihak sebagai kepanjangan tangan intelijen ini mencatat namanya dibanyak medan konflik di seluruh dunia.
“Dia ada di Chechnya, Dagestan, Bosnia, Afghanistan, Indonesia....” Pendeknya, ia adalah orang penting dalam hubungan antargerakan Islam radikal di seluruh dunia, kira-kira begitu yang hendak disimpulkan oleh ICG.
Tapi ustadz yang ramah dan murah senyum ini tak menolak apapun yang dikatakan oleh Sidney Jones. “Dalam arti yang positif saya memang penghubung gerakan dakwah internasional. Saya bergerak dalam kebaikan, insya Allah. Tidak ada teror, tidak ada bom dan tidak pula kekerasan,” ungkapnya.
Meski darah biru sultan-sultan Bugis mengalir dalam tubuhnya, tapi ia terpaksa mengantongi kewarganegaraan Belanda. Sejarah politik dan kekuatan Orde Baru yang membuatnya memilih jalan pahit itu, meski hati kecilnya tidak mau jadi "Belanda hitam."
Kadungga menjadi salah satu musuh politik Orde Baru karena perjuangan dan dakwahnya bersama-sama M Natsir dan aktivis Dewan Dakwah lainnya. Ia pernah diinterograsi oleh seorang kolonel, namanya Utomo. Kolonel ini menuding Kadungga dan orang-orang Dewan Dakwah sebagai tokoh dan pemikir negara Islam di Indonesia.
Ihwal Kadungga aktif dalam dunia dakwah ketika usianya menginjak 13 tahun. Seusai tamat Sekolah Rakyat, orang tuanya mengirim Kadungga ke Makassar untuk bersekolah di Sekolah Menengah Islam. Di sekolah ini ia terkaget-kaget. Belum lagi setahun, ia sudah mengenal Mr Prawoto yang diundang untuk berceramah di sekolahnya. Lalu ada pula Mohamad Roem dan tokoh-tokoh besar zaman itu.
Di sekolah ini pula Kadungga untuk pertama kali berkenalan dengan organisasi yakni Pelajar Islam Indonesia (PII). Ia aktif berorganisasi dan menarik pelajaran yang luar biasa. Di sekolah ini ia merintis karir organisasinya sebagai Ketua Ranting PII. Setamat dari Sekolah Menengas Islam ia meneruskan pendidikan ke SMEA Negeri Makassar. Sekolah yang dimasukinya ternyata tidak sama dengan sekolah sebelumnya.
Di SMEA Negeri Makassar, organisasi siswa yang berkembang bukanlah PII melainkan Gerakan Siswa Nasionalis Indonesia (GSNI). Karenanya, Kadungga bersama teman-teman berjuang keras untuk mengubah sekolahnya menjadi salah satu motor PII di Makassar, dan akhirnya berhasil. Naiklah Kadungga menjadi Ketua PII di sekolah ini, didaulat teman-teman seangkatannya.
Pada tahun 1962, ia berangkat ke Medan mengikuti Kongres PII, dan kala itu ia sudah menjadi Pimpinan Cabang PII Makassar.
Perkenalannya dengan dakwah dan politik Islam kian kental setelah Kongres PII di Medan. Di PII inilah Kadungga dikader dengan baik. Konstelasi politik yang terus bergerak kala itu membuat PII menjadi salah satu organisasi pemuda yang berperan signifikan. Karena pasca pembubaran diri Masyumi, disusul dengan GPII, lalu HMI melunak sikapnya, maka tinggal PII saja yang terang-terangan menjadi musuh besar PKI.
Sebagai ilustrasi kerasnya konfrontasi PII dan PKI yang dialami Kadungga adalah peristiwa perayaan HUT PKI yang ke-40. PKI membawa bendera, long march dari Bali ke Jakarta. Pada saat yang sama, 4 Mei PII juga berulang tahun. Kota Surabaya menjadi merah saat itu, semua sudut ada tanda PKI. Mereka juga bikin menara dari bambu tinggi sekali dengan gambar palu arit. Tapi malamnya, Kadungga dan kader-kader PII bergerilya membersihkan semua atribut PKI.
Singkat cerita, aktivitas di PII mengantarkannya berkenalan dengan Adam Malik bahkan bekerja sebagai staf ahli di kementerian luar negeri zaman itu. Tapi itu pun tak lama ia jalani. Kadungga memutuskan untuk kembali menuntut ilmu dan Pakistan menjadi negara tujuan. Tapi setelah bermukim beberapa bulan di negera ini, aktivitas belajar belum bisa ia lakukan. Sebab, kondisi politik dalam negeri Pakistan sedang ricuh dan berimbas pada lembaga-lembaga pendidikan.
Mendapat kenyataan seperti itu, Kadungga mengalihkan pandangannya untuk belajar ke Eropa. Kini Belanda menjadi tujuannya. Di Eropa darah mudanya yang meluap membuat ia terus merintis jalan dakwah. Bahkan sampai-sampai, ia berhasil mendirikan gerakan mahasiswa Islam Indonesia yang bersaing ketat dengan organisasi mahasiswa Indonesia di Eropa. Tak hanya itu, ia juga berhasil mendirikan Young Muslim Asociation in Europe sebuah wadah yang menampung pemuda-pemuda Muslim di Eropa.
Setelah malang melintang akhirnya Kadungga kembali ke Indonesia. Saat kembali, salah satu kegiatannya adalah bekerja untuk dakwah di Dewan Dakwah Islam Indonesia. Kadungga yang sempat menjadi sekretaris pribadi M. Natsir ini memang punya sejarah unik. Tak lama ketika di Indonesia, pemerintahan Orde Baru dengan kegiatan intelijennya yang mencengkeram menjadikan Dewan Dakwah sebagai salah satu musuh utama. Kadungga tak luput dari itu semua.
Menjelang Sidang Umum MPR pada tahun 1974 terjadi penangkapan dan penculikan massal atas aktivis Islam. Menurut Kadungga, otak tragedi ini adalah Ali Moertopo. Kadungga bersama teman-temannya yang lain ditangkap di Bogor. Para aktivis disiksa habis-habisan dalam penangkapan ini. Ada yang disiram air kencing, ada yang dipukuli bahkan sampai ada yang trauma. Untuk menguatkan perjuangan, Kadungga memberikan taushiyah kepada teman-temannya untuk meningkatkan kesabaran dan tawakal, karena Allah selalu bersama mereka.
Waktu berlalu, akhirnya penahanan dilonggarkan. Mereka hanya dikenai tahanan kota dan wajib lapor sepekan sekali. Di saat itulah Kadungga memutuskan untuk berangkat ke Belanda dan mencari suaka politik atas perlakuan Orde Baru terhadap dirinya. Dalam kurun waktu itu pula secara semena-mena pemerintahan Orde Baru mencabut paspornya sebagai bukti warga negara. Padahal pencabutan paspor itu harus melalui pengadilan. Kadungga tidak pernah diadili maupun ditanya, langsung saja dicabut paspornya.
Saat di Eropa untuk kedua kalinya ini, panggilan jihad terdengar dari Afghanistan. Kadungga terhitung orang Indonesia pertama yang datang dari Eropa untuk masuk ke Afghanistan. Di medan jihad itulah Kadungga begitu takjub, berjuang bersama-sama dengan pemuda-pemuda Islam dari seluruh dunia.
Jejak-jejak perjalanannya di Afghanistan pula kini menjadi ujian baru untuk Kadungga. Ia dituduh terlibat sebagai kaki tangan gerakan al Qaidah. Ia juga menyandang julukan penghubung internasional Jamaah Islamiyah. Tapi apakah itu semua membuatnya surut dari jalan dakwah? Tidak.
Kadungga begitu yakin atas takdir Allah. “Tidak ada satu daun pun yang jatuh dari pohon tanpa kehendak Allah. Begitu juga dengan diri saya, tidak seorang pun, bahkan Amerika, yang bisa menyentuh kita tanpa takdir Allah,” tegasnya. Karena itu langkah kaki tak bisa mundur meski setapak dari jalan dakwah.
Karena itu pula, Abdul Wahid Kadungga, meski perawakannya kecil, namanya begitu besar sampai-sampai puluhan intelijen dikerahkan saat ia datang dari Malaysia ke Kalimantan. Sampai-sampai, Amerika sendiri merasa harus melekatkan pandangannya terus menerus pada ustadz yang satu ini. Tapi Kadungga mengatakan, ia tidak akan tunduk apalagi menyerah, karena memang ia tak pernah bersalah. “Apalagi yang saya takuti hanya Allah semata,” tandasnya.
Kisah Mujahid Mungil Melawan Raksasa Media
Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba raksasa koran Indonesia, Kompas menurunkan berita, Abdul
Wahid Kadungga termasuk dalam jajaran teroris pelaku bom Bali I, pada tanggal 23/11/2005. Dalam berita berjudul ”Noordin M Top, Target Utama Penangkapan” yang dilengkapi dengan grafis sebagian pelaku teror bom, nama Abdul Wahid Kadungga tertulis dengan jelas pada sub judul ”Bom Bali 2002” bersama nama-nama Amrozi cs. Sejak itu, nama Kadungga menghiasi media massa nasional maupun internasional selama sepekan hingga tanggal 7 Januari 2005.Pria asal Masamba, Luwu Utara ini sempat disebut-sebut sebagai petinggi Jamaah Islamiyah (JI) karena ia dekat dengan Abu Bakar Ba’asyir saat masih di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 1985. Saat itu, Kadungga baru datang dari Belanda sementara Ba’asyir baru melarikan diri dari Indonesia.
Sabtu sore kemarin (12/12/2009) pukul 16.40 WIB, pendiri "Young Muslim in Europe" ini berpulang ke rahmatullah di Rumah Sakit Darma Nugraha, Rawamangun, Jakarta Timur. Innalillahi wainna ilaihi roji’un...
Nama Kadungga begitu akrab bagi media anti islam, sehingga ia sering jadi target pembentukan opini. Sebut saja Sydney Morning Herald. Harian terkemuka di Australia ini Kadungga sebagai sosok yang misterius bahkan punya hubungan langsung dengan Usamah bin Ladin. "Ia tinggal di Belanda, tapi bisa dengan mudah berbicara via telepon dengan petinggi PAS (Partai Agama Se-Malaysia) di Malaysia. Tak lama kemudian, ia bisa berbicara langsung dengan Usamah bin Ladin yang berada di pedalaman Afghanistan," tulis Sydney Morning Herald.
Beda lagi komentar International Crisis Center (ICG) lewat mulut koordinatornya, Sidney Jones. Lembaga yang berbasis di Brussel ini menuding profil yang satu ini sebagai penghubung internasional Jamaah Islamiyah. Lembaga yang disebut-sebut banyak pihak sebagai kepanjangan tangan intelijen ini mencatat namanya dibanyak medan konflik di seluruh dunia.
“Dia ada di Chechnya, Dagestan, Bosnia, Afghanistan, Indonesia....” Pendeknya, ia adalah orang penting dalam hubungan antargerakan Islam radikal di seluruh dunia, kira-kira begitu yang hendak disimpulkan oleh ICG.
Tapi ustadz yang ramah dan murah senyum ini tak menolak apapun yang dikatakan oleh Sidney Jones. “Dalam arti yang positif saya memang penghubung gerakan dakwah internasional. Saya bergerak dalam kebaikan, insya Allah. Tidak ada teror, tidak ada bom dan tidak pula kekerasan,” ungkapnya.
Meski darah biru sultan-sultan Bugis mengalir dalam tubuhnya, tapi ia terpaksa mengantongi kewarganegaraan Belanda. Sejarah politik dan kekuatan Orde Baru yang membuatnya memilih jalan pahit itu, meski hati kecilnya tidak mau jadi "Belanda hitam."
Kadungga menjadi salah satu musuh politik Orde Baru karena perjuangan dan dakwahnya bersama-sama M Natsir dan aktivis Dewan Dakwah lainnya. Ia pernah diinterograsi oleh seorang kolonel, namanya Utomo. Kolonel ini menuding Kadungga dan orang-orang Dewan Dakwah sebagai tokoh dan pemikir negara Islam di Indonesia.
Ihwal Kadungga aktif dalam dunia dakwah ketika usianya menginjak 13 tahun. Seusai tamat Sekolah Rakyat, orang tuanya mengirim Kadungga ke Makassar untuk bersekolah di Sekolah Menengah Islam. Di sekolah ini ia terkaget-kaget. Belum lagi setahun, ia sudah mengenal Mr Prawoto yang diundang untuk berceramah di sekolahnya. Lalu ada pula Mohamad Roem dan tokoh-tokoh besar zaman itu.
Di sekolah ini pula Kadungga untuk pertama kali berkenalan dengan organisasi yakni Pelajar Islam Indonesia (PII). Ia aktif berorganisasi dan menarik pelajaran yang luar biasa. Di sekolah ini ia merintis karir organisasinya sebagai Ketua Ranting PII. Setamat dari Sekolah Menengas Islam ia meneruskan pendidikan ke SMEA Negeri Makassar. Sekolah yang dimasukinya ternyata tidak sama dengan sekolah sebelumnya.
Di SMEA Negeri Makassar, organisasi siswa yang berkembang bukanlah PII melainkan Gerakan Siswa Nasionalis Indonesia (GSNI). Karenanya, Kadungga bersama teman-teman berjuang keras untuk mengubah sekolahnya menjadi salah satu motor PII di Makassar, dan akhirnya berhasil. Naiklah Kadungga menjadi Ketua PII di sekolah ini, didaulat teman-teman seangkatannya.
Pada tahun 1962, ia berangkat ke Medan mengikuti Kongres PII, dan kala itu ia sudah menjadi Pimpinan Cabang PII Makassar.
Perkenalannya dengan dakwah dan politik Islam kian kental setelah Kongres PII di Medan. Di PII inilah Kadungga dikader dengan baik. Konstelasi politik yang terus bergerak kala itu membuat PII menjadi salah satu organisasi pemuda yang berperan signifikan. Karena pasca pembubaran diri Masyumi, disusul dengan GPII, lalu HMI melunak sikapnya, maka tinggal PII saja yang terang-terangan menjadi musuh besar PKI.
Sebagai ilustrasi kerasnya konfrontasi PII dan PKI yang dialami Kadungga adalah peristiwa perayaan HUT PKI yang ke-40. PKI membawa bendera, long march dari Bali ke Jakarta. Pada saat yang sama, 4 Mei PII juga berulang tahun. Kota Surabaya menjadi merah saat itu, semua sudut ada tanda PKI. Mereka juga bikin menara dari bambu tinggi sekali dengan gambar palu arit. Tapi malamnya, Kadungga dan kader-kader PII bergerilya membersihkan semua atribut PKI.
Singkat cerita, aktivitas di PII mengantarkannya berkenalan dengan Adam Malik bahkan bekerja sebagai staf ahli di kementerian luar negeri zaman itu. Tapi itu pun tak lama ia jalani. Kadungga memutuskan untuk kembali menuntut ilmu dan Pakistan menjadi negara tujuan. Tapi setelah bermukim beberapa bulan di negera ini, aktivitas belajar belum bisa ia lakukan. Sebab, kondisi politik dalam negeri Pakistan sedang ricuh dan berimbas pada lembaga-lembaga pendidikan.
Mendapat kenyataan seperti itu, Kadungga mengalihkan pandangannya untuk belajar ke Eropa. Kini Belanda menjadi tujuannya. Di Eropa darah mudanya yang meluap membuat ia terus merintis jalan dakwah. Bahkan sampai-sampai, ia berhasil mendirikan gerakan mahasiswa Islam Indonesia yang bersaing ketat dengan organisasi mahasiswa Indonesia di Eropa. Tak hanya itu, ia juga berhasil mendirikan Young Muslim Asociation in Europe sebuah wadah yang menampung pemuda-pemuda Muslim di Eropa.
Setelah malang melintang akhirnya Kadungga kembali ke Indonesia. Saat kembali, salah satu kegiatannya adalah bekerja untuk dakwah di Dewan Dakwah Islam Indonesia. Kadungga yang sempat menjadi sekretaris pribadi M. Natsir ini memang punya sejarah unik. Tak lama ketika di Indonesia, pemerintahan Orde Baru dengan kegiatan intelijennya yang mencengkeram menjadikan Dewan Dakwah sebagai salah satu musuh utama. Kadungga tak luput dari itu semua.
Menjelang Sidang Umum MPR pada tahun 1974 terjadi penangkapan dan penculikan massal atas aktivis Islam. Menurut Kadungga, otak tragedi ini adalah Ali Moertopo. Kadungga bersama teman-temannya yang lain ditangkap di Bogor. Para aktivis disiksa habis-habisan dalam penangkapan ini. Ada yang disiram air kencing, ada yang dipukuli bahkan sampai ada yang trauma. Untuk menguatkan perjuangan, Kadungga memberikan taushiyah kepada teman-temannya untuk meningkatkan kesabaran dan tawakal, karena Allah selalu bersama mereka.
Waktu berlalu, akhirnya penahanan dilonggarkan. Mereka hanya dikenai tahanan kota dan wajib lapor sepekan sekali. Di saat itulah Kadungga memutuskan untuk berangkat ke Belanda dan mencari suaka politik atas perlakuan Orde Baru terhadap dirinya. Dalam kurun waktu itu pula secara semena-mena pemerintahan Orde Baru mencabut paspornya sebagai bukti warga negara. Padahal pencabutan paspor itu harus melalui pengadilan. Kadungga tidak pernah diadili maupun ditanya, langsung saja dicabut paspornya.
Saat di Eropa untuk kedua kalinya ini, panggilan jihad terdengar dari Afghanistan. Kadungga terhitung orang Indonesia pertama yang datang dari Eropa untuk masuk ke Afghanistan. Di medan jihad itulah Kadungga begitu takjub, berjuang bersama-sama dengan pemuda-pemuda Islam dari seluruh dunia.
Jejak-jejak perjalanannya di Afghanistan pula kini menjadi ujian baru untuk Kadungga. Ia dituduh terlibat sebagai kaki tangan gerakan al Qaidah. Ia juga menyandang julukan penghubung internasional Jamaah Islamiyah. Tapi apakah itu semua membuatnya surut dari jalan dakwah? Tidak.
Kadungga begitu yakin atas takdir Allah. “Tidak ada satu daun pun yang jatuh dari pohon tanpa kehendak Allah. Begitu juga dengan diri saya, tidak seorang pun, bahkan Amerika, yang bisa menyentuh kita tanpa takdir Allah,” tegasnya. Karena itu langkah kaki tak bisa mundur meski setapak dari jalan dakwah.
Karena itu pula, Abdul Wahid Kadungga, meski perawakannya kecil, namanya begitu besar sampai-sampai puluhan intelijen dikerahkan saat ia datang dari Malaysia ke Kalimantan. Sampai-sampai, Amerika sendiri merasa harus melekatkan pandangannya terus menerus pada ustadz yang satu ini. Tapi Kadungga mengatakan, ia tidak akan tunduk apalagi menyerah, karena memang ia tak pernah bersalah. “Apalagi yang saya takuti hanya Allah semata,” tandasnya.
Kisah Mujahid Mungil Melawan Raksasa Media
Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba raksasa koran Indonesia, Kompas menurunkan berita, Abdul
Dengan sebutan sebagai pelaku Bom Bali, ia kerap dikejar-kejar oleh Detasemen Antiteror 88. Takutkah Kadungga terhadap raksasa Kompas? Ternyata tidak! Aktivis Islam bertubuh mungil yang dikenal tegas dan keras ini berontak dan melawan. Kadungga berang, karena pencantuman namanya adalah fitnah.
Tidak sedikitpun Kadungga merasa gentar menghadapi Kompas yang merupakan raksasa media di tanah air. “Saya hanya takut kepada Allah. Di depan Allah, Kompas itu kecil,” katanya mengingatkan.
Suatu gejala baru muncul, seorang yang dituduh teroris malah melawan. Selama ini umat Islam terkesan bersikap defensif menghadapi berbagai pemberitaan maupun opini publik yang menyudutkan. Tidak demikian dengan seorang Kadungga.
Selain memberi pelajaran kepada Kompas, Kadungga bermaksud menyadarkan umat Islam bahwa saat ini umat Islam jadi korban fitnah. Dan teror di belakang semua ini adalah Amerika Serikat dan Yahudi, zionis internasional.
Menurut Kadungga, sekarang adalah era kebangkitan Islam. Ketakutan Amerika dan orang-orang kafir adalah merupakan abad kebangkitan Islam, dan inilah yang ingin mereka redam. Semakin ditindas, maka umat Islam harus semakin bangkit. Umat Islam Indonesia bangkit melawan.
Walhasil, raksasa media yang bernama Kompas pun ketakutan dan buru-buru meralat pemberitaan itu sepekan kemudian, pada edisi 03/12/2005 dengan alasan terdapat kesalahan data yang sangat mengganggu. “…atas kesalahan tersebut, Kompas menyampaikan permohonan maaf,” demikian ralat Kompas.
Meski Kompas sudah meralat, hal itu tidak mengurangi tekad Kadungga untuk memberi pelajaran. Menurut aktivis bertubuh kecil namun bernyali raksasa ini, Kompas menyebut namanya dalam daftar teroris adalah by design. Oleh sebab itu, ketika Kompas menyebut pencantuman namanya sebagai sebuah kekeliruan, Kadungga menolak mentah-mentah, karena koran itu mengenal siapa dirinya.
Sekarang, sang mujahid lintas negara itu telah menutup lembaran amalnya. Semoga semangat jihad dan istiqamahnya di jalan Allah, mengilmami perjuagan kita semua. Mudah-mudahan kita dipertemukan Allah di surga-Nya. Amin.
[muslimdaily.net/voa-islam]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar