Abdul Qahhar Mudzakkar lahir pada tanggal 24 Maret 1921 di Desa Lanipa – Distrik Ponrang, kabupaten Luwu yang terletak di pantai barat Teluk Bone, Sulawesi Selatan. Beliau adalah seorang keturunan Bugis Luwu, dilahirkan sebagai anak kedua dari tiga belas orang bersaudara dan juga sebagai anak laki-laki pertama dari pasangan Malinrang dengan Hajjah Kessa.
Setelah tamat sekolah dasar pada tahun 1934 di Lanipa, Abdul Qahhar melanjutkan ke Standaard School Muhammadiyah di Palopo selama 4 tahun. Sebagai anak laki-laki pertama dari keluarga cukup mampu, Abdul Qahhar oleh orang tuanya pada tahun 1937 dikirim ke Solo – Jawa Tengah, untuk melanjutkan pendidikannya di Sekolah Guru Mu’allimin Muhammadiyah.
Menurut cerita dari teman-teman dan juga orang terdekatnya, disamping cerdas, pemberani dan memiliki sifat-sifat yang unik, sejak masa kecil di sekolah dan di luar sekolah, Abdul Qahhar sudah tampil bakat-bakat kepemimpinannya.
Dalam buku karangannya : BENTUK NEGARA KHILAFAH DALAM ISLAM pada halaman 113, Abdul Qahhar Mudzakkar menguraikan arti namanya :
Abdul artinya : hamba, budak — Qahhar artinya : Tuhan Yang Maha Gagah Perkasa — Mudzakkar artinya jantan, bersifat jantan. Jadi Abdul Qahhar Mudzakkar, berarti Hamba Allah yang bersifat jantan.
Menjelang usia 18 tahun Abdul Qahhar Mudzakkar menikah dengan Siti Walinah Harjo Sudiro binti Abdulla, “puteri solo” berusia dua tahun lebih muda dari padanya dan sangat dicintai. Dari hasil perkawinan pasangan Abdul Qahhar dengan Siti Walinah, mereka dikaruniai oleh Nya enam orang putera dan puteri.
Kemudian untuk memperkenalkan keluarganya kepada kedua orang tua dan keluarga besar di Sulawesi, ia bersama istri, anak dan ibu mertuanya kembali ke Sulawesi dan beberapa saat berada di Palopo. Disamping menjalankan tugas sebagai seorang guru oleh kawan-kawannya Abdul Qahhar dipercaya untuk memimpin organisasi pandu Muhammadiyah yang bernama Hisbul Wathan. Ia menekuni fungsi itu sampai Jepang mendarat pada tahun 1942.
Tatkala pendudukan Jepang. Abdul Qahhar bersama Yusuf Samma berkesempatan bekerja pada Nippon Dohobu di Makasar. Akan tetapi karena “iri hati” atu “kecemburuan” dari pihak-pihak tertentu di dalam pekerjaan ini ia mendapat banyak rintangan. Pada awalnya ia dituduh mencuri emas milik Jepang, akan tetapi setelah melalui pemeriksaan dan penyiksaan yang berat yang dilakukan Jepang ternyata tuduhan itu tidak dapat terbukti. Maka untuk menutupi rasa malu kalangan bangsawan, akhirnya tuduhan berubah dengan dituduh mengadakan permusuhan dengan bangsawan maka Abdul Qahhar dikenakan hukuman adat yang dinamakan ri paopangi tana, yaitu berarti hukuman seumur hidup tidak boleh menginjak Luwu.
Pada bulan Mei 1943 Abdul Qahhar bersama istri dan anak-anaknya berangkat ke Jawa dan tinggal kembali di Solo dan membuka usaha dagang bersama teman-teman yang kebanyakan dari Palopo sebuah perusahaan dengan nama “Usaha Semangat Muda”. Berkat keuletannya serta didampingi istri yang cerdik dan penuh semangat, usaha ini berjalan dengan baik.
Tetapi sebagaimana juga yang direncanakan sejak awal kembali dari Sulawesi yaitu untuk meningkatkan perjuangan melawan penjajahan dan juga untuk memperluas usaha dagangnya, Abdul Qahhar bersama keluarga kemudian berangkat ke Jakarta dan Jawa Barat. Di Bandung dan Batavia ia bergabung dengan Haji Idrus membuka usaha pembakaran kapur.
Di Jakarta Abdul Qahhar berhasil mendirikan “Gerakan Pemuda Indonesia Sulawesi (GEPIS)”, akan tetapi ada juga pemuda Sulawesi lainnya yang mendirikan organisasi Angkatan Pemuda Sulawesi (APIS), maka akhirnya kedua organisasi tersebut dilebur menjadi organisasi Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), yang dilengkapi dengan laskar. Abdul Qahhar diangkat menjadi Sekretaris Umum KRIS dan Komandan Laskar KRIS.
Pada waktu sebagai komandan laskar, Abdul Qahhar banyak bergaul bersama pemuda-pemuda, komandan/anggota laskar pejuang dan tokoh politik lainnya. Dalam buku “Konsepsi Negara Demokrasi Indonesia” halaman 7 diceritakan tentang keterlibatan Abdul Qahhar dalam peristiwa Lapangan Ikada 19 September 1945. Di halaman itu tertulis :
“Di Lapangan Ikada Jakarta, pada tanggal 19 September 1945 pada waktu Bung Karno dan Bung Hatta didesak oleh rakyat untuk berpidato, sekian puluh ribu rakyat penduduk Jakarta dan Barisan Pemuda yang ada di Lapangan Ikada pada waktu itu, tidak seorangpun yang sanggup berdiri di muka mobil Bung Karno untuk melepasakan Bung Karno dan Bung Hatta dari kepungan bayonet tentara Jepang, kecuali Abdul Qahhar Mudzakkar seorang diri dengan sebilah golok di tangan dengan tekad dan nekat mengundurkan tentara Jepang yang sudah penuh membajiri mobil Bung Karno dan Bung Hatta dengan bayonet terhunus”.
Pada masa revolusi fisik, untuk lebih dekat dengan kesatuan pertahanan, Abdul Qahhar kemudian pindah dari Jakarta ke Yogyakarta dimana Markas Besar Tentara berada, yaitu dibawah pimpinan langsung Panglima Besar Jenderal Soedirman. Di kota Yogyakarta tersebut Abdul Qahhar kemudian mendirikan BKI (Batalyon Kesatuan Indonesia) dan ia terpilih sebagai komandannya dengan pangkat pertamnya Mayor. Dalam menjalankan tugas ini, ia didampingi oleh wakil komandannya yaitu Mayor Abu Bakar, seorang bekas PETA.
Pada tanggal 24 Maret 1946 Panglima Besar Jenderal Soedirman memberi perintah dan surat mandat kepada Letnan Kolonel Abdul Qahhar Mudzakkar untuk membentuk devisi Tentara Republik Indonesia (TRI) di Sulawesi. Langkah pertama dalam melaksanakan tugas tersebut, Abdul Qahhar menyusun basis induk kesatuan dan markas staf operasionalnya yang terletak di jalan Trimargono-Yogyakarta. Letnan Kolonel Abdul Qahhar Mudzakkar sebagai komandannya, kapten Andi Mattalata menjadi kepala staf, kapten Usman Jafat staf I, kapten Saleh Lahade staf II, Dungga Staf III dan kapten Abdul Gani staf IV. Satuan resimennya diberi nama Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS) – Resimen Hasanuddin.
Untuk membantu para pejuang di wilayah Indonesia Timur yang sedang mengadakan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Letnan Kolonel Abdul Qahhar sebagai komandan TRIPS merangkap sebagai komandan KGS (Kesatuan Grup Seberang), pada tahun 1946 awal mengirimkan ekspedisi tenaga pejung dari Jawa ke Sulawesi dan juga ke daerah-daerah Indonesia Timur lainnya. Sehingga di Sulawesi pada tahun 1947 sudah terorganisir empat batalyon pejuang yang dipimpin oleh Kaso Abdul Gani, Andi Selle, Andi Sose dan Arief Rate. Di awal tahun 1948 metode pengiriman tidak lagi berombongan tetapi dilakukan perorangan, berdua atau dalam kelompok kecil.
Sesudah Belanda menyerahkan kedaulatannya kepada Republik Indonesia Serikat hasil dari KMB 27 Desember 1949, sebagaimana halnya dengan pemerintahan sipil yang dipimpin oleh Soekarno yang sibuk menertibkan struktur pemerintannya, demikian juga yang terjadi diwadah tentara nasional dipimpin KASAD I, yang mengkoordinir kegiatannya di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) selalu mengadakam reorganisasi dan rasionalisasi anggota-anggotanya.
Atas tuntutan anggota-anggota dari Kesatuan Gerilyawan Sulawesi Selatan (KGSS), Letkol Abdul Qahhar mengusulkan kepada pemerintah agar laskar pejuang kemerdekaan Sulawesi menjadi Brigade Hasanuddin. Tetapi karena pemerintah dipengaruhi dan ditekan oleh pihak tertentu yang telah dikuasai dan didominasi oleh bekas KNIL, usulan tersebut tidak diperhatikan bahkan tidak dilayani dengan baik.
Pada tanggal 30 Maret 1950, bekas serdadu-serdadu penjajah Belanda (KNIL) Sulawesi di bawah pimpinan kapten Andi Azis diterima secara resmi sebagai Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS).
Ketika pada tanggal 5 April 1950 di Makasar – Sulawesi Selatan, terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh para bekas serdadu KNIL di bawah pimpinan A. Azis yang baru beberapa hari diresmikan sebagai APRIS. Maka dengan alasan pemebrontakan tersebut komandan tertinggi tentara/MBAD menempuh jalan dan cara untuk mengirim ekspedisi pasukannya dari Jawa ke Sulawesi. Mereka yang dikirim itu sebagian besar terdiri dari tentara-tentara yang terlibat dalam pemberontakan di Madiun.
Setelah pemberontakan A.Azis yang berlangsung tidak lama dapat diselesaikan, selanjutnya komandan tentara bekas KNIL menyia-nyiakan bahkan memusuhi patriot pejuang kemerdekaan Sulawesi yang tergabung dalam kesatuan KGSS.
Dominasi bekas KNIL di tubuh tentara nasional MBAD pasca wafatnya Panglima Besar Jenderal Soedirman telah menggeser peran Letkol Abdul Qahhar Mudzakkar di Sulawesi khususnya, umumnya di Indonesia Timur dimana beliau sebagai Koordinator Kesatuan Gerilyawan Seberang (KGS) yang meliputi Kalimantan, Bali, Kepulauan Nusatenggara, Sulawesi dan Kepulauan Maluku
.
.
Jadi Korban Bekas KNIL
Penulisan sejarah mengenai pergolakan Abdul Qahhar Mudzakkar telah mengantarkan beberapa anak manusia untuk menjadikan dirinya sebagai pakar atau ahli, diantaranya pakar ilmu sejarah, pakar ilmu politik, antropologi, psychology, ahli strategi perang/kemiliteran atau lainnya. Tetapi juga tidak jarang orang menulis sejarahnya dengan cara memutar balik dan memanipulasi, sekedar untuk memenuhi selera atau pesan sponsor dari penulisnya. Mereka menulis sejarah Abdul Qahhar Mudzakkar hanya dengan tujuan untuk membingunkan orang-orang Indonesia yang mempunyai pemikiran yang sama dengannya, khususnya membingungkan umat Islam. Tujuan penulisan mereka adalah untuk mengelabui orang-orang yang pada masa itu tidak mengerti peristiwa sebenarnya, akan tetapi berusaha mengikuti jejak langkah perjuangan Abdul Qahhar Mudzakkar dkk.
Kisah Abdul Qahhar merupakan bahan thesis, disertasi maupun rujukan untuk membuat suatu tulisan. Akan tetapi terhadap peristiwa pergolakan dan pemikirannya, tidak seorangpun diantara cendikiawan sekuler, yang berkeinginan menggali sejarah perjuangannya secara utuh dan jujur. Tidak satupun diantara mereka yang berusaha mencoba melihat dari sisi lain, bahwa Abdul Qahhar Mudzakkar adalah korban kelicikan, ketidak adilan serta korban dari akal busuk dan pengkhianatan kaki tangan kolonial Belanda.
Barangkali wajar jika sampai terjadi, penulisan sejarah mengenai perjuangan Abdul Qahhar dalam revolusi kemerdekaan Indonesia dimanipulasikan. Karena pada masa sejarah kehidupan Abdul Qahhar, ada juga seorang jenderal yang sangat berkuasa sempat mengeluh mengenai penulisan sejarah perjuangan yang tidak benar: “ Kolonel Supolo, kepala Humas MPRS menguraikan debatnya dengan kolonel Drs. Nugroho pada waktu melengkapi museum ABRI, dimana peran saya tidak ikut digambarkan. Bahkan dalam hal peran di MPRS selaku ketuanya tidak dihadirkan, walaupun ke-empat wakil ketuanya ditampilkan. Katanya kepala pusat sejarah ABRI ini, berterus terang bahwa ia terpaksa berbuat demikian “atas perintah”. (lihat di Nasution, Memenuhi panggilan tugas, jilid 8 )
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dalam menyusun kabinet pemerintahan R.I pertama, negara belum memiliki kelengkapan tentara. Pembentukan kesatuan pertahanan bersenjata bermula dari BKR (Badan Keamanan Rakyat) kemudian berubah menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat), kemudian menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia), setelah itu menjadi Angkatan Perang Republik Indonesia/Serikat (APRI/S) dan pada akhirnya berkembang menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Dalam situasi kesatuan angkatan perang republik secara resmi belum berdiri, situasi ini merupakan suatu kesempatan yang baik bagi bekas serdadu-serdadu KNIL atau Het KNIL ( Het Koninklijk Nederland Indische Leger) yaitu organisasi kesatuan serdadu kerajaan Belanda untuk memanfaatkan. Apalagi dengan KMB yang diakhiri oleh istilah penyerahan kedaulatan, para bekas KNIL dapat secara aman meng”infiltrasi secara resmi” kedalam tubuh kesatuan tentara republik Indonesia. Barangkali menurut anggapan para bekas KNIL, TNI lebih cenderung merupakan singkatan dari Tentara Nederland Indonesia, oleh karena itu wadah tentara nasional harus lebi mengutamakan kepentingan bekas serdadu-serdadu kolonial Belanda Het KNIL.
Situasi Indonesia yang baru saja merdeka, yang juga diidukung oleh hasil dari keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB), pada akirnya berasil mengumpulkan pejuang dan pengkhianat bangsa untuk bersama-sama berada dalam satu wadah. Kebersamaan mereka itu tidak hanya saja didalam pemerintahan sipil saja, akan tetapi juga terutama terjadi dalam instansi yang sangat penting yaitu pada angkatan bersenjata.
Pusat kesatuan tentara Indonesia pada waktu itu membawahi lima devisi, diantaranya teritorial Jawa Barat – divisi Siliwangi komandannya A.H Nasution, teritorial Jawa Tengah – divisi Diponegoro komandannya Gatot Subroto, teritorial Jawa Timur – divisi Brawijaya komandannya Sungkono dan dua teritorial lainnya di Sumatera komandannya adalah Simbolon dan Kawilarang. Dengan membaca nama-nama komandan divisi tersebut, secara jelas dapat diketahui bahwa wadah tentara nasional pada waktu itu telah di dominasi oleh perwira-perwira berlatar belakang pendidikan akademi militer (yang didirikan oleh penjajah Belanda). Sedangkan kekuatan pertahanan untuk wilayah Indonesia bagian timur; dikoordinir oleh Kesatuan Gerilyawan Seberang (KGS) yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Abdul Qahhar Mudzakkar. Wilayah kekuatan pertahanan dan penyerangan KGS meliputi Kalimantan, Bali, Kepulauan Nusatenggara, Sulawesi dan Kepulauan Maluku.
Setelah Jenderal Sudirman, Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia pergi selama-lamanya, bekas serdadu-serdadu penjajah Belanda yang pada awalnya telah menggeser dan melumpuhkan komandan-komandan Laskar di Jawa Barat ( pada umumnya berlatar belakang Kiai/Ulama), selanjutnya berhasil merebut posisi yang sangat menentukan di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Bekas KNIL di MBAD itu, kemudian merasa bebas menggeser para patriot pejuang kemerdekaan. Dan tampil sebagai orang yang paling berjasa dalam dunia kemiliteran di Indonesia.
Let.Kol. Abdul Qahhar, seorang yang pada masa revolusi kemerdekaan bertugas langsung dibawah komando Panglima Besar Jenderal Sudirman, serta tidak melalui pendidikan militer penjajah Belanda. Pada akhirnya, setelah Indonesia mendapat kedaulatan hadiah Belanda (KMB), ia kemudian menjadi korban dari penghianat-penghianat bangsa yang berkumpul dalam wadah tentara nasional. Awalnya ia ditekan karena MBAD telah dikuasai dan didominasi bekas KNIL,“sebagai seorang perwira dari Angkatan Perang tidak dipercayai oleh pimpinan Angkatan Perang sehingga menjadi perwira “nganggur” dan perwira tidak mempunyai “tanggung jawab” (- salinan surat Abdul Qahhar Mudzakkar)
Konferensi Meja Bundar (KMB)
Sesuai dengan keputusan KMB pada tanggal 27 Desember 1949, pemerintahan Belanda menyerahkan kedaulatan kepada bangsa Indonesia. Sebagai akibatnya negara Indonesia yang pada awalnya sesuai dengan UUD 1945 sebagai negara kesatuan, telah berakhir dan berubah menjadi Negara Federal yang bernama Republik Indonesia Serikat (R.I.S) yang merupakan federasi negara-negara BFO dan RI-Yogyakarta.
Sikap Abdul Qahhar Mudzakkar terhadap hasil KMB beliau tulis dalam buku kecil “Konsep Negara demokrasi Indonesia – Koreksi Pemikiran Politik Pemerintahan Soekarno” halaman 16 : ” ….. tindakan khianat golongan Soekarno menjalankan politik kompromi, mengadakan perundingan dengan pihak Belanda pada masa meluas dan memuncaknya semangat perlawanan rakyat diseluruh kepulauan Indonesia, yang dipatahkan sekaligus dengan perjanjian Linggarjati tahun 1947, Perjanjian Renville tahun 1948, yang pada akhirnya dihancur leburkan dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949, yang menghasilkan pemberian kedaulatan hadiah Belanda dengan syarat “tanpa Irian Barat”, yang mempunyai rentetan akibat-akibat buruk seperti yang kita lihat sekarang, maka S.M. Kartosoewirjo seorang politicie berkwalitet tinggi, dan seorang Pemimpin Ulung Islam Revolusioner di Jawa Barat, bangkit mempelopori golongan Pejuang Islam revolusioner Indonesia menentang dan memberi perlawanan tegas kepada pemerintahan R.I Soekarno, serta mengumumkan proklamasi berdirinya Negara Islam Indonesia pada tarich 12 Syawal 1368 H/ 7 Agustus 1949. Proklamasi S.M Kartosoewirjo itu diikuti dan didukung oleh golongan Pejuang Islam Revolusioner di Sulawesi, di Aceh dan di kepulauan Indonesia lainnya, dari barat sampai timur Indonesia”.
Akibat adanya KMB dengan segala keputusannya, tidak hanya mempengaruhi pemerintahan sipil saja, tetapi juga berpengaruh pada permasalahan-permasalahan yang terjadi didalam masalah pertahanan (tentara) negara. Terpaksa harus diadakan peleburan, wadah pejuang-pejuang Republik Indonesia bergabung menjadi satu dengan aparat warisan Belanda KNIL secara mudah tanpa persyaratan dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Sementara (APRIS) atau APRI yang kemudian pada akhirnya APRI/S berubah menjadi TNI.
Abdul Qahhar Mudzakkar termasuk kelompok yang tidak setuju dengan KMB bersama-sama Jenderal Soedirman. Ia tidak menyetujui berlanjutny dominasi ekonomi penjajah; karena itu ketika diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB), ia memerintahkan kepada anggota pasukannya untuk bergerak sebagai protes ketidak setujuan mereka. Peristiwa tersebut yang kemudian dikenal dengan Peristiwa Masamba Affair, yaitu suatu peristiwa yang telah membuktikan kepada dunia bawah wilayah Indonesia bagian Timur tidak sebagaimana menurut keterangan Belanda.
Setelah Mosi Integral M. Natsir
Akibat persetujuan KMB, tentang penyerahan kedaulatan maka bentuk negara Indonesia tidak lagi merupakan negara kesatuan sebagaimana yang dicita-citakan bangsa Indonesia, tetapi berbentuk federal yang kita kenal dengan nama Republik Indonesia Serikat (R.I.S).
Setelah kedaulatan oleh Belanda diserahkan, R.I.S yang belum mencapai umur satu tahun, telah banyak disibukan dengan berbagai persoalan; antara lain : serdadu-serdadu Belanda masih juga belum ditarik mundur dari Indonesia, dibeberapa daerah terjadi pergolakan dengan berbagai alasan dan sebab, dipusat terjadi kegoncangan kabinet, pecahnya dwi tunggal Soekarno-Hatta, masuknya PKI dalam kabinet dan lembaga-lembaga lainnya.
Dalam bukunya yang berjudul “Konsepsi Negara Demokrasi Indonesia” Abdul Qahhar Mudzakkar menyatakan ” karena Undang-undang Dasar 1945 tidak memiliki dasar negara yang kuat, yang dapat mempersatukan golongan suku bangsa Indonesia yang banyak, dengan agama dan kebudayaannya sendiri-sendiri, maka proklamasi 17 Agustus 1945 itu turut menjadi “catur persaingan ideologi” dari masing-masing golongan.
Untuk mencegah dan mengatasi timbulnya suatu keadaan yang tidak diharapkan, pada tanggal 3 April 1950 Moh. Natsir yang pada masa itu sebagai Ketua Umum Masyumi dalam sidang parlemen R.I.S secara gigih mengajukan mosi integral, yang dikenal dengan “Mosi Integral Natsir“.
Dalam mosi integral Natsir itu : mengajurkan kepada pemerintah supaya mengambil inisiatif penyelesaian soal-soal yang hangat sebagai akibat perkembangan politik dengan cara integral dan program tertentu.
Kalau kita baca, naskah Mosi Integral Natsir tersebut sebenarnya sama sekali tidak memuat ajakan untuk kembali ke negara kesatuan. Bahkan, dalam pidatonya Natsir berkali-kali menegaskan bahwa mosinya tidak berhubungan dengan kontroversi tentang negara kesatuan dan negara federal. Natsir menegaskan bahwa pihaknya “menjauhkan diri dari pembicaraan soal unitarisme dan federalisme.” Sebenarnya yang diperjuangkan Natsir melalui mosinya itu adalah “persatuan bangsa,” bukan “negara kesatuan.” Persatuan (integration) menyangkut sikap (kejiwaan) setiap warga negara untuk merasa terikat dalam satu ikatan sebagai satu bangsa, sedangkan negara kesatuan (unitarisme) adalah konsep struktur ketatanegaraan yang biasanya dibedakan dengan negara serikat (federalisme).
Sebagai kelanjutan “mosi integral”, diadakan perundingan antara delegasi R.I.S yang dipimpin oleh Prof. Soepomo dengan delegasi R.I yang dipimpin oleh Abdul Hakim dengan kesepakatan : ” Menyetujui dalam waktu sesingkatnya bersama-sama melaksanakan Negara kesatuan, sebagai jelmaan daripada Republik Indonesia, berdasar Proklamasi 17 Agustus 1945″.
Pada tanggal 15 Agustus 1950 diadakan rapat gabungan DPR dan Senat RIS menetapkan berakhirnya Republik Indonesia Serikat dan menandatangani piagam terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan pada tanggal 17 Agustus 1950 Republik Indonesia secara resmi terbentuk kembali sebagai Negara Kesatuan RI.
Sementara itu di Sulawesi Selatan, sejak penyerahan kedaulatan dari Belanda (pasca KMB), terjadi pergolakan antara KGSS (Kesatuan Gerilyawan Sulawesi Selatan) dengan APRI/S yang didominasi oleh eks serdadu KNIL. Bulan Februari 1950 Staf APRIS yang terdiri dari Kolonel Simatupang, Kolonel A.H. Nasution, dan Kolonel Hidayat menolak mengakui 5 batalyon teritorial Hasanuddin, dimana anggotanya terdiri dari bekas gerilyawan patriot pejuang dari : Bali, kepulauan Nusatenggara, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku yang pada masa revolusi dibawah KGS/Komando Gurp Seberang yang dipimpin oleh Abdul Qahhar Mudzakkar.
Pada saat pemerintah belum memberikan jawaban atas permintaan KGSS untuk diakui sebagai anggota TNI; pada tanggal 30 Maret 1950 A.H Nasution sebagai penguasa MBAD telah menerima dan meresmikan bekas batalyon KNIL di Makassar dibawah pimpinan kapten Andi Azis menjadi bagian APRI/S.
Pada tanggal 5 April 1950, dengan alasan untuk mempertahankan kekuasaan negara boneka Belanda Negara Indonesia Timur N.I.T, komando Andi Azis yang baru diterima menjadi APRI/S melakukan pemberontakan. Dengan alasan itu Nasution mengirim ekspedisi pasukan ke Sulawesi dimana anggota ekspedisinya terdiri dari tentara komunis Jawa ( yang terlibat pemberontakan Madiun 48).
Pasukan ekspedisi yang tergabung dalam batalyon Worang ini, tidak dapat mendarat di Sulawesi, karena mendapat ancaman dari bekas serdadu KNIL yang baru bergabung dalam APRI/S. Justru pemberontakan Andi Azis berhasil dilumpuhkan oleh anggota-anggota KGSS yang sejak awal sudah berada di Sulawesi dan menjaga keamanan rakyat Sulawesi dengan semangat dan disiplin yang tinggi.
Pada tanggal 1 Juli 1950 telah terjadi perdebatan sengit antara Kawilarang (Komandan TT-VII) dengan Abdul Qahhar sebagai Staf MBAD dalam penyelesaian masalah dengan anggota KGSS. Perdebatan itu berujung dengan sikap dan tindakan Abdul Qahhar yang mencabut sendiri tanda pangkat Letnan Kolonel TNI-nya dihadapan Kawilarang sebagai wujud pembelaan kepada KGSS, setelah Kawilarang dengan sewenang-wenang mengeluarkan keputusan untuk melucuti dan membubarkan KGSS. Dan selanjutnya sejak tanggal 2 Juli 1950 Abdul Qahhar Mudzakkar menghilang dan menggabungkan diri dengan teman-teman seperjuangannya dalam organisasi KGSS.
Mengenai peristiwa ini dalam buku Al-Chaidar ” Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia”, dituliskan :
Usul KGSS itu ditolak oleh Kawilarang dalam suatu pertemuan dengan Abdul Qahhar Mudzakkar pada tanggal 1 Juli 1950. Kemudian Kawilarang mengeluarkan pengumuman untuk membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan, dan pada hari yang sama melarang semua kegiatan yang berkaitan dengan pembentukan organisasi gerilya baru, menurut Kawilarang, karena masa integrasi pejuang ke dalam Tentara telah berakhir. Pada Agustus Kawilarang menyatakan, 70% pejuang telah memasuki Tentara, dan hanya 30% yang menolak melakukan demikian, kemudian dia memperingatkan terhadap yang belakangan ini Tentara akan bertindak.Ketika mendengar reaksi Kawilarang atas usul-usul yang dibawanya, Kahar Muzakkar menyatakan mengundurkan diri dari Tentara dan menyerahkan lencananya kepada panglima. Beberapa hari kemudian dia masuk hutan. Dalam kenyataan yang sesungguhnya, dia diculik KGSS, atas prakarsa Andi Sose, walaupun mungkin sekali Andi Sose bertindak demikian berdasarkan perintah, atau setidak-tidaknya dengan persetujuan Abdul Qahhar Mudzakkar diam-diam.Abdul Qahhar Mudzakkar mengintruksikan para pejuang lain untuk mengabaikan larangan yang dikeluarkan oleh Kawilarang tentang KGSS. Oleh karena itu KGSS terus berfungsi walaupun sekarang sebagai organisasi ilegal. Seluruh keadaan menjadi lebih ironis, beberapa bulan ketegangan berkelanjutan dengan pertempuran-pertempuran antara pasukan TNI dengan pasukan Abdul Qahhar Mudzakkar.
Pada tanggal 18 Agustus 1950 (setelah R.I.S menjadi NKRI), dua puluh dua organisasi yang terdiri dari partai politik dan organisasi masa di Sulawesi Selatan menyampaikan suatu resolusi kepada pemerintahan untuk tidak menggunakan kekerasan didalam mencari jalan penyelesaian dengan patriot pejuang kemerdekaan yang tergabung dalam KGSS dibawah pimpinan Abdul Qahhar Mudzakkar. Tetapi komandan-komandan TT-VII beserta stafnya yang berasal dari Menado, selalu berusaha menggagalkan setiap usaha menyelesaikan masalah tuntunan KGSS, sehingga ini menunjukan perwira TNI bekas KNIL menutup kesempatan untuk melakukan perundingan.
Moh Natsir (yang sejak bulan September 1950 sebagai perdana menteri pertama dari NKRI) pada tanggal 10 Oktober 1950, ia membentuk panitia antar departemen yang ditugaskan untuk menyelesaikan masalah gerilyawan di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh Mr. Ma’moen Soemadipradja. Hasil perundingan antara Mr. Ma’moen dengan pihak gerilyawan disepakati bahwa semua gerilyawan akan diterima menjadi Korps Cadangan Nasional (CTN). Pada tanggal 13 November 1950 Kabinet Natsir mengeluarkan keputusan pemerintah bahwa para gerilyawan Sulawesi diterima sebagai anggota TNI.
Korps Cadangan Tentara (CTN)
Pada tanggal 25 Maret 1951, akhirnya tibalah hari yang lama dinanti-nantikan: pembentukan resmi Persiapan Brigade Hasanuddin sebagai bagian dari Korps Cadangan Nasional Tentara Republik. Pada hari ini juga Abdul Qahhar Mudzakkar meninggalkan tempat persembunyiannya. Suatu upacara khusus untuk menyambutnya diadakan di Maros: sebanyak lima sampai enam ribu orang telah berkumpul untuk menyaksikan dia bersama prajurit-prajuritnya memasuki kota pukul tujuh malam hari. Salawati Daud dan Abdul Qahhar Mudzakkar sendiri yang bicara kepada pasukan.
Abdul Qahhar Mudzakkar dalam pidatonya, yang berlangsung kira-kira setengah jam, secara panjang lebar membicarakan tuduhan-tuduhan yang dilemparkan kepadanya bahwa ia terlalu ambisius, ia masuk hutan semata-mata untuk melanjutkan tujuannya, dan ia sengaja melarut-larutkan perundingan agar terjamin pengukuhan pangkatnya sebagai letnan kolonel. Walaupun banyak orang yang percaya, dia dan Saleh Sjahban “haus pangkat dan kedudukan”, disangkalnya tuduhan-tuduhan ini dengan mengemukakan, walaupun kenyataan membuktikan ia memiliki “kursi-kursi besar, meja-meja besar, dan telah menghadapi orang-orang penting “di masa lampau, semuanya ini bukanlah satu-satunya tujuan hidupnya. Saya dicurigai sangat mendambakan pangkat letnan kolonel, tetapi pangkat letnan kolonel ini yang didesakkan kepada saya”, ditegaskannya, sambil menambahkan, bila ada orang yang menginginkan mengambil alih pimpinan Brigade Hasanuddin, mereka dipersilakan maju ke depan dan melakukan keinginan itu; hanya saja dia tidak sudi menyerahkan tugas ini kepada mereka yang telah membakari rumah-rumah rakyat yang tidak berdosa.
Namun amat disayangkan adanya pembentukan Korps Cadangan Nasional pada bulan Maret sama sekali tidak berarti, pejuang-pejuang muslim Abdul Qahhar Mudzakkar telah menjadi prajurit biasa dari Tentara Republik. Penggabungan resminya direncanakan pada bulan Agustus. Tetapi antara Maret dan Agustus 1951 terjadi serangkaian insiden yang mengakibatkan perpecahan baru lagi antara Tentara dan Abdul Qahhar Mudzakkar. Pertentangan baru ini pada akhirnya menuju keretakan terbuka dan tak terdamaikan.
Dalam minggu-minggu sebelum hari yang telah ditetapkan untuk integrasi resmi Korps Cadangan Nasional, pertentangan intern yang pertama di kalangan pengikut-pengikut Abdul Qahhar Mudzakkar terjadi ketika Andi Selle memihak Pemerintah dalam persoalan apakah integrasi Korps Cadangan Nasional Sulawesi Selatan akan dilakukan batalyon demi batalyon atau tidak.
Penggabungan Batalyon Bau Masseppe Andi Selle ke dalam Tentara sebagai Batalyon 719 pada 7 Agustus 1951 hanyalah memperbesar pertentangan antara Abdul Qahhar Mudzakkar dan Tentara, selanjutnya. Namun tidak seluruh Batalyon Bau Masseppe mengikuti komandannya, melainkan sebagian dari padanya dengan Hamid Gali dan Usman Balo sebagai pemimpin-pemimpin utamanya dan tetap setia kepada Abdul Qahhar Mudzakkar.
Setelah terjadi sedikit pertempuran dengan para pengikut Andi Selle mereka mengundurkan diri ke bagian lain Pare-pare dan membentuk batalyon baru, yang dipimpin Hamid Gali. Tidak pula hubungan-hubungan antara Kahar Muzakkar dan Andi Selle putus sama sekali, dan pada waktunya hubungan antara keduanya membaik lagi. Bahar Mattaliu menyebut Andi Selle sebagai salah satu sumber pokok senjata Abdul Qahhar Mudzakkar, dan benar-benar dikatakannya: “Ini berarti, bahan-bahan mentah terus dikirimkan Kahar kepada Andi Selle yang membayarya dengan pelor, senjata berat dan ringan, dan dengan pakaian seragam tentara”.
Dalam menghadapi perjuangan Abdul Qahhar Mudzakkar, Tentara Republik berusaha menghadapinya dengan melakukan serangkaian operasi militer. Terutama sekali pada tahun-tahun mula kerusuhan dengan mengajak kesatuan-kesatuan pejuang yang merasa tidak puas dengan Abdul Qahhar Mudzakkar untuk menyerah. Dan mengenai hal yang akhir ini, Tentara Republik mengambil sedikit keuntungan dari adanya perselisihan antar pejuang sendiri. Pertikaian ini bisa muncul karena sebagian ambisi dan dendam pribadi, sebagian lagi karena perbedaan ideologi mengenai jalan yang harus ditempuh dalam perlawanannya terhadap Pemerintah Republik.
Bertepatan waktunya dengan ketika Pemerintah menganjurkan penyelesaian “politik psikologis”, Abdul Qahhar Mudzakkar memperkuat posisinya. Dalam masa inilah dilakukan pembaharuan hubungan antara dia dan Kartosoewirjo. Hubungan pertama antara mereka telah dilakukan Agustus tahun sebelumnya, ketika Abdul Qahhar Mudzakkar masuk hutan. Pada waktu itu Abdul Qahhar Mudzakkar didesak melalui perantaraan Bukhari, ketika itu wakil ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), dan Abdullah Riau Soshby, salah seorang tampuk pimpinan Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat, untuk membentuk “Komandemen TII” untuk Sulawesi. Kartosoewirjo secara pribadi mengirimkan sepucuk surat kepada Abdul Qahhar Mudzakkar yang menawarkan kepadanya pimpinan Tentara Islam Indonesia di Sulawesi beberapa bulan kemudian.
Secara resmi tawaran ini diterima Abdul Qahhar Mudzakkar pada 20 Januari 1952. Demikianlah ia menjadi panglima Divisi IV Tentara Islam Indonesia, yang juga disebut Divisi Hasanuddin. Syamsul Bachri diangkat menjadi Gubernur Militer Sulawesi Selatan. Dalam sepucuk surat tanggal yang tersebut di atas yang ditulis Abdul Qahhar Mudzakkar dalam menerima pengangkatannya, dinyatakan bahwa ia sendiri merasa berterima kasih dan menjunjung tinggi kepercayaan yang diperlihatkan Kartosoewirjo kepadanya dengan keputusan mengangkatnya menjadi panglima Tentara Islam Indonesia untuk Sulawesi.
Bersamaan dengan itu dinyatakannya, tak dapat sepenuhnya ia mengabdikan diri, karena berbagai keadaan yang mungkin merintanginya dalam setiap tindakan yang diambilnya sebagai panglima Tentara Islam. Selanjutnya dikemukakannya, dari lima batalyon yang dipimpinnya beberapa di antaranya meliputi kelompok bukan Muslim yang dipengaruhi ide-ide Komunis. Dilanjutkannya dengan menyatakan, dia ingin memulai suatu revolusi Islam sejak 16 Agustus 1951, dan segala sesuatunya telah direncanakan bersama komandan-komandan bawahan Saleh Sjahban dan Abdul Fatah, tetapi yang belakangan ini ternyata tidak teguh pendiriannya sehingga rencana itu gagal. Dia dirintangi, katanya, oleh kekuatan yang lebih perkasa dengan pengaruh yang lebih besar dalam masyarakat, yaitu “kaum feodalis dan rakyat banyak”. Mengenai penduduk Islam di Sulawesi Selatan menurut pendapatnya “diperlukan waktu untuk menanamkan dan memupuk semangat Islam yang sejati dalam diri mereka”. Dalam sebuah surat jawaban pada 27 Februari, Kartosoewirjo mendesak Abdul Qahhar Mudzakkar melakukan segala upaya untuk menjadikan rakyat “bersemangat Islam” dan “bersemangat Negara Islam”, serta melanjutkan melakukan apa saja yang dianjurkan syariat Islam di masa perang.
Walaupun ada pengangkatannya sebagai panglima daerah Tentara Islam Indonesia Abdul Qahhar Mudzakkar untuk sementara tidak mau menggunakan nama ini bagi pasukan-pasukannya. Pada bulan Maret 1952 sesungguhnya pasukannya diberinya nama Tentara Kemerdekaan Rakyat (TKR). Baru pada 7 Agustus 1953, tepat empat tahun sesudah proklamasi Negara Islam Kartosoewirjo, Abdul Qahhar Mudzakkar mempermaklumkan bahwa daerah Sulawesi dan daerah-daerah sekitarnya (yaitu Indonesia Timur lainnya, termasuk Irian Barat) menyatakan bagian dari Negara Islam Indonesia. Bersamaan dengan ini ia menamakan pasukannya Tentara Islam Indonesia.
Bulan Agustus 1953 merupakan awal peristiwa penting dan bersejarah bagi kehidupan patriot pejuang Sulawesi dan Abdul Qahhar Mudzakkar sendiri. Setelah melalui perjalanan yang panjang, dikhianati ole kawan maupun lawan dan terjadi kristalisasi kepentingan-kepentingan para pendukung perjuangan. Tiga tahun lamanya pimpinan tertinggi patriot pejuang KGSS bertafakur-berichtiar dan bermusyawarah bersama sebelum memutuskan arah perjuangan selanjutnya.
Kalau pada mulanya mereka hanya menyelematkan nasib gerilyawan pejuang kemerdekaan dari pengkhianatan yang dilakukan oleh komandan TNI bekas KNIL, membela hak-hak dan membela nasib saudara/kawan, terutama nasib para pejuang dari daerah-daerah. Memperjuangkan nasib rakyat Sulawesi yang menjadi korban karena disia-siakan serta ditelantarkan oleh pemerintah akibat dari kekuatan militer yang berada ditangan para bekas KNIL. Maka sejak bulan Agustus 1953 daratan Sulawesi dinyatakan sebagai daerah de facto NII. Dimana pejuang Islam Revolusioner menegakkan pemerintahan Islam yang menjalankan hukum Islam bedasarkan Al-Qur’an dan Hadist Shahih.
Abdul Qahhar Mudzakkar memilih mengkonsentrasikan diri dalam perjuangan sebagai seorang muslim, menjalani kehidupan sebagai hamba Allah mengikuti jejak perjuangan yang dicontohkan oleh Nabi Besar Muhammad SAW dalam menjalankan risalah agama di bumi ini. Mereka yang bersama dengan Abdul Qahhar, pada akhirnya menemukan, bahwa tidak ada jalan lain dan tiada pilihan lain, bagi penganut agama Islam, harus menjadikan Al-Qur’an dan Hadist sebagai pegangan hidup yang utuh. Tidak ada keraguan, tidak ada ketakutan, dan juga tidak ada perasaan derita dalam perjalanan menegakan Ad-Dien.
Ketika zamannya Abdul Qahhar Mudzakkar, rakyat Sulawesi Selatan digolongkan dalam dua golongan, pertama pejuang yang terdiri dari rakyat/masyarakat yang tidak dibedakan apakah mereka berasal dari aristokrat atau warga biasa. Dimana salah seorang dari anggota keluarganya yang kadang-kadang adalah kakek/nenek, ayah/ibu, kakak, adik, mantu, ipar atau mertua mereka dlsb yang memang sejak awal benci dan melawan penindasan penjajah Belanda, mereka itu mengikat diri dalam suatu kesatuan untuk berjuang melawan penjajahan, karena itu mereka dinamakan patriot atau pejuang. Sedangkan yang lainnya yaitu mereka yang berkhianat dan bekerja sama dengan Belanda, mereka ini mengkhianati bangsa dan negaranya sendiri, sebagai KNIL. Sedangkan golongan lain daripada itu, adalah yang tidak menjadi perhitungan karena mereka tidak memiliki sifat-sifat dan ciri-ciri masyarakat Sulawesi yang dikenal akan kejujuran, ketegasan dan keberaniannya.
Perlawanan terhadap pemerintahan Soekarno tercatat sebagai perlawanan terpanjang dalam sejarah TNI di Sulawesi. Sebenarnya ia menaruh harapan yang sangat besar pada Soekarno. Ia berharap Soekarno mengawal Indonesia menjadi sebuah negara berdasarkan Islam, yang akan mengantarkannya pada kebesaran.
Dalam sebuah suratnya untuk Soekarno, ia mengutarakan hal tersebut. “Bung Karno yang saja muliakan. Alangkah bahagia dan Agungnja Bangsa Kita dibawah Pimpinan Bung Karno, jika sekarang dan sekarang djuga Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Islam, Pemimpin Besar Bangsa Indonesia, tampil ke muka menjeru Masjarakat Dunia yang sedang dipertakuti Perang Dunia III, dipertakuti kekuasaan Nuklir, kembali kedjalan damai dan perdamaian jang ditundjukkan oleh Tuhan dalam segala Adjarannja jang ada di dalam kitab sutji Al Qur’an….”
Tapi sayang, seruan Kahar Muzakkar seperti gaung di dalam sumur. Harap tak bertemu, malah petaka yang dituai. Kahar Muzakkar menjemput ajalnya di tangan tentara Divisi Siliwangi yang dikirim khusus menghabisi gerakannya. Kematiannya semakin menambah panjang daftar para pejuang yang dikhianati oleh sejarah bangsanya sendiri. (ref/sabili)
Piagam Makalua
Dalam konperensi para pimpinan kaum gerilyawan sebelum dinyatakan Sulawesi sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII), oleh Kahar Muzakkar sebetulnya telah disusun suatu konstitusi Negara Republik Islam Indonesia (NRII), atau, disebut juga Republik Islam Indonesia (RII). Konstitusi ini dikenal luas belakangan sebagai Piagam Makalua, menurut nama tempat konperensi penyusunan tersebut dilangsungkan, di Makalua.
Piagam Makalua adalah salah satu dokumen yang masih ada, yang dapat memberikan setidak-tidaknya sekadar pandangan mengenai sifat gerakan Kahar Muzakkar. Satu pamflet lain yang ditulis Kahar Muzakkar sendiri berjudulTjatatan Bathin Pedjoang Islam Revolusioner. Dokumen-dokumen ini pertama-tama membuktikan, dibandingkan dengan gerakan Darul Islam di Jawa Barat, Kahar Muzakkar lebih berat menekankan pada organisasi sosial dan ekonomi negara. Dokumen-dokumen Darul Islam Sulawesi memuat lebih banyak, dan lebih teliti mengenai pasal-pasal yang mengatur kehidupan sosial dan ekonomi.
Bukti kedua yang timbul dari bahan-bahan ini adalah bahwa Darul Islam pimpinan Kahar Muzakkar bertujuan menciptakan ragam masyarakat sama derajat, dan dalam beberapa hal masyarakat puritan. Ingin menghilangkan semua sisa norma sosial tradisional, membayangkan landreform yang sederhana, dan bertujuan melenyapkan perbedaan-perbedaan dalam kekayaan pribadi pada umumnya. Tetapi kekurangan pengalaman dan bimbingan yang tepat menjadikan sebagian besar peraturan yang bermaksud baik ini jadi tak berarto di dalam prakteknya.
Kahar Muzakkar berusaha melenyapkan praktek-praktek tradisional di Sulawesi Selatan dengan menanggulangi jebakan-jebakan luarnya. Demikianlah Piagam Makalua berusaha menghapuskan penggunaan gelar atau kehormatan sengaja atau tidak sengaja. Sesuai dengan itu pengunaan gelar-gelar seperti Andi, Daeng, Gede-Bagus, Tengku, dan Radendilarang. Dalam kegiatannya untuk menegakkan persamaan, dia juga melarang penggunaan gelar khas Islam seperti Haji, demikian pula kata-kata umum yang digunakan untuk menghormat, seperti Bapak atau Ibu. Kata-kata ini juga dicap feodal.
Selanjutnya Piagam Makalua menyatakan perang terhadap semua orang turunan bangsawan atau aristokrat yang tidak mau membuang gelarnya, demikian pula terhadap kelompok-kelompok mistik fanatik. Sebagian Piagam Makalua ditujukan pada pengaturan perkawinan. Beberapa ketentuanyang relevan sangat jelas dan mudah dipahami.
Demikianlah piagam ini menentukan setiap orang yang melanggar hukum Islam tentang pergaulan sosial dan tentang hubungan-hubungan antara kedua jenis kelamin untuk dituntut. Lalu terdapat peraturan-peraturan yang dibuat untuk membatasi biaya perkawinan. Sebaliknya, peraturan-peraturan yang lain lebih menimbulkan kesan aneh bila dibaca permulaan. Begitulah, mereka yang menentang poligami akan dituntut dan tak satu pun usul perkawinan boleh ditolak kecuali pelamar adalah anak-anak, impoten, penderita penyakit menular, atau keji wataknya
Bagian piagam ini yang mengatur cara hidup dan hak-hak milik para Mujahidin (pejuang dalam jalan Allah) dan keluarganya dalam proses revolusi, membuktikan sejelas-jelasnya akan cita-cita persamaan kaum pemberontak. Pembelian dan pemilikan ternak dan tanah, demikian pula kedai, pabrik, kendaraan sewaan, perahu layar, dan sebagainya dilarang, kecuali dengan izin organisasi revolusioner. Pasal ini kemudian memungkinkan titik awal pelaksanaan landreform yang sederhana. Cara pelaksanaannya kemudian dinyatakan lebih terperinci oleh Kahar Muzakkar.
Bagian lain dari bab yang sama membicarakan pemilikan harta benda pribadi oleh Pejuang-pejuang Islam revolusioner dan keluarganya. Demikianlah mereka dilarang memiliki atau memakai emas dan permata, mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan mahal seperti wol atau sutera, menggunakan minyak rambut, pemerah bibir atau bedak, dan memakan makanan atau minuman yang dibeli di kota yang dikuasai musuh, seperti susu, coklat, mentega, keju, daging atau ikan kalengan, biskuit, gandum, gula tebu, dan teh. Bila barang-barang ini dengan sah telah dalam penguasaan pemilik yang sekarang, maka organisasi revolusioner akan membeli atau meminjamnya: bila sebaliknya barang-barang ini diperoleh melalui penipuan moral, maka barang ini akan disita.
Ketika mendengar keluhan-keluhan rakyat dan menyaksikan krisis moral dan kecenderungan anak buahnya terhadap kesenangan dan hidup mewah, segera Kahar Muzakkar menempuh gerakan sosialisme primitif. Gerakannya mulai 1 Maret 1955, dan direncanakan berlangsung enam bulan, dan selama masa ini prajurit-prajurit Kahar Muzakkar dan keluarga mereka harus menyerahkan semua milik yang dianggap Kahar Muzakkar bersifat mewah atau berlebihan. Emas dan intan gosokan harus dipinjamkan kepada pemerintah militer, yang akan mengubah barang-barang ini menjadi uang tunai melalui pedagang-pedagang terpercaya di kota-kota.
Dengan uang yang terkumpul lewat cara ini akan dibeli senjata dan keperluan yang lain-lain. Semua orang yang menyerahkan emas dan intannya akan diberi ganti rugi segera setelah keadaan menjadi stabil. Peraturan ini juga berlaku bagi arloji tangan, yang hanya diperkenankan untuk keperluan militer, lampu gas, dan radio, yang hanya diperkenankan terdapat di bangunan-bangunan militer atau pemerintah. Selanjutnya ditetapkan, satu keluarga tidak boleh menyimpan lebih dari Rp 30 sebulannya. Sementara itu pakaian prajurit dan keluarganya juga mengalami pembatasan-pembatasan yang keras, dan Kahar Muzakkar mendesak mereka untuk menyerahkan semua pakaian yang berlebih dari jumlah maksimal yang ditentukan kepada rakyat yang lebih membutuhkannya, atau kalau tidak menjualnya kepada pemerintah bentukannya
Dipatuhinya secara ketat peraturan-peraturan ini tampaknya menimbulkan akses-akses tertentu. Diisyaratkan pula, tak seorang pun yang tahu apakah senjata dan kebutuhan perang yang lain sesungguhnya dibeli dengan hasil-hasil dari barang-barang yang diserahkan rakyat tadi.
Pada tahun itu pula ketika direncanakan akan berlangsung revolusi moral, diselenggarakan sebuah konperensi oleh Bahar Mattaliu di Wanua Waru yang belakangan berhasil menyusun Program Islam Revolusioner. Salah satu persoalan yang disetujui di sini adalah poligami harus dipropagandakan. Konperensi juga dihadiri seorang wakil gerakan Darul Islam pimpinan Daud Beureuh di Aceh. Dalam usahanya memberikan ini kepada gagasannya, Kahar Muzakkar mulai mendirikan poliklinik-poliklinik, sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit, dan akademi ilmu sastra. Agar akademi ini memperoleh bahan-bahan yang diperlukannya, pasukannya menggedor perpustakaan di Majene, dan menurut laporan ada sekitar 2.500 buku judul lenyap. Kemudian gerombolan Kahar melakukan penculikan para tenaga medis untuk dipaksa bekerja di poliklinik-polikliniknya
Sesungguhnya, Kahar Muzakkar adalah seorang muslim yang saleh. Meski ada kalanya kalangan non-muslim yang menjadi korban serangan gerombolannya, dan hal ini biasanya banyak dipersoalkan, tampaknya orang yang bersangkutan hanya dibunuh bila mereka melawan para pemberontak dan menolak memberikan makanan dan informasi kepada mereka. Pada umumnya orang-orang sipil, muslim dan non-muslim dipandang sama, diperlakukannya dengan baik. Demikianlah dilaporkan, bahwa gerombolan-gerombolan di bawah pimpinan Kahar Muzakar masih menghormati hak-hak kemanusiaan, dan dilaporkan pula, “…yang menjadi kenyataan ialah gerombolan-gerombolan melakukan tekanan pada orang-orang muslim agar mematuhi suruhan Tuhan dan sembahyang lima kali sehari …”
Saat-saat Terakhir
Pada tahun 1957 Kaso Abdul Gani sebagai seorang kepercayaan NII/TII Sulawesi Selatan yang berkedudukan di luar negeri, meresmikan pembentukan Pemegang Kuasa Organisasi (PKO) di luar negeri. Setahun kemudian Syamsul Bachri pada waktu itu menjabat selaku penglima Divisi I/Divisi Hasanuddin, oleh Abdul Qahhar Mudzakkar ditugaskan juga untuk keluar negeri. Disamping bertugas untuk mendampingi Kaso Abdul Gani di PKO, ia juga diberi kepercayaan untuk mengemban tugas-tugas khusus.
Ide Abdul Qahhar Mudzakkar untuk mengirim belajar putera-puteri Sulawesi keluar negeri, telah membuktikan bahwa Qahhar Mudzakkar memiliki cita-cita dan berusaha agar tidak terputus mata rantai perjuangan yang sedang dilakukannya waktu itu. Dan diantara yang telah dikirim keluar negeri untuk belajar ialah tiga anak kandungnya sendiri (anak-anak dari istri keduanya/ Corry van Stenus).
Mengenai masalah penugasan Syamsul Bachri keluar negeri, bukanya tidak mungkin Abdul Qahhar Mudzakkar juga berfikir akan altenatif, yaitu bagaimana jika seandainya terjadi sesuatu yang menimpa pada dirinya. Kemungkinan ia memiliki harapan bahwa perjuangan dapat dilanjutkan dibawah pimpinan seorang ahli perang sekaliber Syamsul Bachri. Oleh karenanya pada waktu itu dalam situasi yang masih memungkinkan, diantara mereka selaku pimpinan perjuangan dengan berat harus berpisah.
Dua hari sebelum keberangkatan Syamsul Bachri untuk melaksanakan tugasnya keluar negeri, Andi Masse Jaya menemui Syamsul Bachri di Suasua-Sulawesi Tenggara, yaitu daerah dimana Syamsul Bachri menjalankan tugasnya selaku komandan batalyon 40.00. Dalam pertemuan tersebut, Andi Masse menitikan air mata haru atas rencana kepergian tugas Syamsul Bachri dan dengan sedih ia menyatakan :
“Apa yang akan terjadi pada diri kami, setelah saudara berangkat keluar negeri? Saudara adalah seorang yang menjadi tumpuan kekuatan dalam kesatuan perjuangan, tempat dimana dapat mendiskusikan sesuatu yang dibutuhkan”.
Cease Fire Yang Menuntut Banyak Korban
Akhir 1961 sampai menjelang 1962, sekalipun banyak komandan pasukan ditugaskan keluar dan juga banyak yang keluar atas kehendak sendiri, namun kekuatan dan pertahanan mujahid NII/TII tidak berkurang, bahkan daya tempur mereka semakin meninggi. Hal ini terbukti serta terlihat ketika pihak tentara dibawah komando bekas KNIL memerintahkan kepada pasukannya melakukan operasi untuk menghancurkan mereka.
Operasi yang mula-mula dilakukan terhadap mereka adalah operasi Guntur yang dipimpin oleh Andi Sose selaku komandan dan Mayor Majid Yunus sebagai kepala staf. Pada akhir operasi Guntur, meskipun tidak dikatakan gagal, tetapi dapat dinyatakan sebagai suatu operasi yang tidak memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan oleh para komandan bekas KNIL. Oleh karena itu kemudian dilanjutkan dengan operasi Kilat, operasi ini dipimpin sendiri oleh Deputi wilayah Indonesia Timur, namun rupanya operasi kilat ini juga tidak banyak memberikan hasil.
Pada waktu itu NII/TII sedang menguasasi keadaan dan telah memperluas pengaruhnya, dimana-mana rakyat memberi dukungan yang kuat dan sepenuhnya. Disaping itu juga terdapat kekuatan yang tersembunyi, yaitu mujahid yang menyusup dan berada dalam tubuh TNI sendiri. Sehingga semua itu telah membuat pasukan dibawah komando Yusuf dalam keadaan panik karena melihat ada bahaya yang setiap saat mengancam. Dalam situasi demikian, Abdul Qahhar Mudzakkar mengirim utusannya kepada Presiden Soekarno agar penyelesaian masalah di Sulawesi Selatan dan Tenggara diselesaikan secara persaudaraan dan tidak menggunakan kekerasan secara militer. Soekarno menerima usulan tersebut, melanjutkan permasalahannya kapada Jenderal Nasution sebagai penguasa Angkatan Darat.
Tidak beberapa kemudian terjadilah “cease fire” diantara dua kekuatan bersenjata. Pada tanggal 12 November 1961, Abdul Qahhar Mudzakkar mengeluarkan pernyataan cease fire, yang dilakukan dalam jamuan makan di pos komando (posko) Kodam XIV di Bone.
Selama cease fire, ternyata Yusuf cs melakukan tindakan politik adu domba diantara sesama TII terutama terhadap para pimpinannya serta bujuk rayu kepada para komandan gerilyawan dngan harta, kemewahan dan pangkat serta janji -janji jabatan yang menggiurkan. Akhirnya disebabkan karena tingkah polah Yusuf, kemudian Abdul Qahhar Mudzakkar membatalkan gencatan senjata dan memerintahkan kepada seluruh gerilyawan untuk kembali kepada posnya masing-masing.
Pembatalan gencatan senjata yang dilakukan Abdul Qahhar, segera dibalas oleh Yusuf, dengan mengadakan serangan-serangan. Operasi tersebut mereka namankan sebagai Operasi Tumpas. Dan yang kemudian berlanjut dengan pertempuran-pertempuran yang tidak henti-hentinya, sampai berakhir pada tanggal 3 Februari 1965.
Akhir Jihad Seorang Mujahid
Bertepatan dengan hari raya Idhul Fitri, pada 1 Syawal atau tanggal 13 Februari 1965, tiga buah peluru yang ditembakan oleh seorang prajurit yang patuh mendengar perintah atasannya telah menembus dada Abdul Qahhar Mudzakkar.
Pada hari berbahagia bagi ummat Islam diseluruh dunia, telah Syahid seorang hamba Allah yang bernama Abdul Qahhar Mudzakkar. Peluru yang membunuh Abdul Qahhar Mudzakkar itu, adalah peluru prajurit yang taat pada komandannya, sekalipun komandan tertingginya itu adalah bekas serdadu penjajah KNIL, yang tidak mampu menerima jika ajaran Islam menjadi berjaya di negeri-Nya.
Abdul Qahhar Mudzakkar sebagai salah seorang diantara hamba Allah yang berusaha untuk mentaati perintah-Nya, takut kepada siksa-Nya dan taqwa kepada-Nya. Semua yang telah dilakukan dan dijalaninya insya Allah adalah sarana untuk menang dan beruntung dihari mendatang.
Abdullah Ashal dalam wawancara yang ditulis di majalah Hidayatullah edisi 09/th XII Januari 2001, beliau menyatakan :
” Bapak meninggal tanggal 3 Februari 1965, bertepatan dengan hari lebaran. Saya sudah berumur 21 tahun. Mayatnya diangkat dari sungai Lasolo, memakai helikopter, tanggal 5 Februari, hari Jum’at, dibawa ke Makassar. Sya tinggal di Jakarta, kemudian menuju ke Makassar bersama dengan Mayor Jenderal Moersid (perwira dari Mabes AD). Pak Moersid ini teman Bapak sewaktu tahun 1950-an. Saya lalu menuju kerumah Bapak Ali Abdullah. Setelah Sholat Jum’at saya diantar ke rumah Bapak Andi Patawali. Disana saya memperoleh informasi bahwa Bapak ada di RS Pelomonia. Datang rombongan CPM yang mencari anak Qahhar. Saya ditunjuk, dibawa ke kantor CPM Kodam XIV/Hasanuddin. Disana ternyata telah berkumpul kakak saya Siti Farida, ipar Andi Sumange Patman dan paman saya Amir Tambas. Kami berempat kemudian diberi kesempatan untuk melihat mayat bapak di RS Pelomonia. Benar saat itu mayatnya sudah telanjang. Lukanya ada di bagian dada kalau tidak salah ada 3 luka bekas peluru. Saat itu kami yakin bahwa itu memang Bapak, mirip ketika saya melihatnya tahun 1961. Kami kemudian dihadapkan ke Kolonel Solihin GP, diberi nasehat bahwa Qahhar sudah meninggal. You anak-anaknya ngak usah ikut-ikutan, kalu sekolah ya sekolah saja”.
Sesungguhnya Mujahid tak pernah mati….
********
Catatan : Sebagian besar tulisan ini diambil dari buku “Profil Abdul Qahhar Mudzakkar : Patriot Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia dan Syahid NII/TII, Erli Aqamuz (Siti Maesaroh), Yayasan Al-Abrar, Rotterdam-Holland, 2001. Cetakan pertama di terbitkan oleh Yayasan Al-Abrar Ciputat Tangerang Maret 2007.
Erli Aqamuz (Siti Maesaroh) adalah putri bungsu dari Asy-Syahid Abdul Qahhar Mudzakkar dengan Hajjah Erlina Anwar (alm). Lahir pada tanggal 15 April 1949 di kota Solo. Menikah dengan Abdul Wahid Kadungga seorang aktivis Islampendiri Young Muslim Asociation in Europe sebuah wadah yang menampung pemuda-pemuda Muslim di Eropa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar